The First : Tiga Puluh Tujuh

26 3 4
                                    

Kenapa harus lo yang ngerasain ini semua. Seharusnya dari awal kita gak pernah ketemu, Ra.

-Arfan Raffasya

***

Duar!

Jam rasanya berdetak lebih lambat daripada sebelumnya. Gilang melepaskan pelurunya kepada seseorang tepat berada di depannya. Semua orang terdiam, tidak bisa bergerak dan mengatakan apa-apa. Sebuah kejadian mengenaskan pun terjadi detik ini.

Arfan bergerak cepat menutupi tubuh Zahra yang terduduk, Arfan menempatkan dirinya posisi jongkok di depan Zahra. Namun, takdir tidak berpihak kepadanya.

Zahra lah yang terkena tembakan sadis dari Gilang tersebut. Peluru tersebut melewati leher Arfan dan mengenai bagian perut Zahra. Kinilah ia yang masih terduduk di kursi yang tangannya diikat. Peluru tersebut sukses menerobos perutnya dan saat ini mengeluarkan darah yang perlahan kian deras.

"Gak, gak." Suara Arfan melemah, matanya melotot. Seketika ia langsung melepaskan ikatan tangan Zahra dan menarik Zahra ke pangkuannya.

Fajar pun berlari dengan cepat menuju Zahra dan Arfan. Ia bersumpah akan membuat Gilang dan Dio mendapatkan balasan dari semua ini.

Dengan cepat Fajar mengambil kayu besar yang berada di sampingnya dan berlari mengejar Gilang dan Dio yang ingin kabur. Namun, kaki Fajar lebih cepat berlari dan menghantamkan kayu besar itu kepada Gilang dan Dio di waktu bersamaan. Mereka berdua pun terjatuh dan pingsan tak sadarkan diri.

"Mampus lo, anjing," batin Fajar berkeringat.

Ia pun kembali mendekati Zahra dan Arfan. "Gue udah panggil Ambulan dan Polisi untuk dateng kesini, udah gue shareloc juga."

Namun, Arfan telah hancur saat ini juga. Semestanya, Zahra sudah tidak berdaya sekarang. Apa yang harus Arfan lakukan?

Zahra meringis kesakitan. Ia sedang memegang perutnya yang saat ini terus mengeluarkan cairan merah segar. Ia telah pasrah jika Tuhan ingin menjemputnya, namun ia tidak mau jika harus berpisah dengan lelaki yang sedang memangkunya saat ini.

Tangannya tergerak meraih pipi Arfan yang hangat itu. Perlahan ia mengelus pipi Arfan dan tersenyum menatap matanya.

"Fan, gue gapapa kok." Senyum Zahra sangat lebar yang membuat Arfan semakin takut hal terburuk yang akan terjadi.

Arfan semakin menangis, air matanya sukses merobohkan dinding pertahanan Arfan. "Gak, gak. Tolong, Ra jangan tinggalin gue. Tolong, lo harus bertahan, Ra. Gue lemah kalo liat lo begini."

"MANA AMBULANNYA, KENAPA GAK DATENG-DATENG?!" teriak Arfan.

"Sabar, Fan. Sebentar lagi dateng." ucap Arfan menenangkan Arfan.

"Tuhan, tolong jangan ambil Zahra. Gue sayang banget sama dia, kalau perlu ambil nyawa gue aja, jangan Zahra," batin Arfan yang tak kuasa melihat Zahra kesakitan seperti ini.

Semesta terlalu kejam kepada Arfan dan Zahra. Disaat mereka ingin menyatu, mengapa semesta malah ingin memisahkan mereka? Bukankah jika dari awal mereka tidak bertemu itu akan lebih baik?

"Fan, gue mau ngomong." Suara Zahra melirih.

"Iya silahkan, Ra. Gue akan selalu dengerin apapun itu." Arfan mengelus rambut hitam Zahra dengan air mata yang keluar dari kedua matany itu.

"Gue minta maaf, ya? Gue minta maaf untuk seluruh apapun kesalahan yang gue lakuin ke lo. Maaf untuk semuanya dan makasih karena telah hadir di hidup gue," kata Zahra tersenyum tulus.

The FirstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang