The First : Sepuluh

1K 54 3
                                    

"Pa, Kania udah besar, Kania ga mau di kekang, kania mau hidup bebas, pa kayak temen-temen Kania".

"Kania bosen, pa. Papa dan mama selalu ngelarang Kania buat kemana-mana, padahal Kania udah besar, pa. Harusnya papa ngerti".

"Papa itu...."

Plak.

Kali ini yang menampar pipi Kania yang cukup keras adalah Laudya, mamanya. Laudya tidak mengerti, mengapa anaknya sangat kurang ajar dan seperti tidak disekolahkan saja.

Mungkin sifat Kania yang seperti ini dikarenakan Laudya dan David yang selalu memanjakan Kania, selalu memberinya barang-barang mahal dan selalu memberinya uang yang padahal uang itu selalu dihambur-hamburkannya untuk hal yang tidak penting.

Kania, ya Kania Renaya Putri. Dia adalah adik perempuan Arfan, seorang adik yang sebenarnya sangat Arfan sayangi, dulu. Semenjak ia selalu dimanjakan, dan membuat sifatnya berubah 180 derajat, rasa sayang Arfan kepada Kania berubah, walaupun masih ada.

"Papa dan mama jahat!" Kania memegang pipinya dan langsung berlari menuju kamarnya yang berada di lantai dua disamping kamar Arfan.

Arfan sebenarnya melihat kejadian itu dari lantai atas, tetapi pada saat Kania ingin naik, ia pun langsung masuk ke kamarnya.

"Ini gara-gara kamu terlalu memanjakannya!" kata David memarahi Laudya.

"Mama? Papa juga yang memanjakan dia!"

"Sudahlah, kita sama-sama salah!" sambung Laudya dan duduk di sofa untuk menenangkan diri.

"Lain kali, kalau Kania ingin meminta membelikan sesuatu, jangan dikasih," perintah David dan dibalas anggukan oleh Laudya.

Di kamar, Arfan hanya melamun di sofa yang ada di kamarnya, ia masih terpikir atas apa yang terjadi barusan.

Mengapa keluarganya seperti ini?

Apakah karena uang yang merenggut kebahagiaan keluarganya?

Kapan keluarganya harmonis seperti dulu? Saat mereka belum bekerja di perusahaan itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu berkumpul di kepala Arfan yang membuatnya sukses terdiam seribu bahasa.

"Gue ga tahan kalo kek gini terus."

"Gue mau minggat aja," batin Arfan dan langsung mengemas beberapa baju dan dimasukkannya dalam tas.

Besok adalah hari minggu, jadi Arfan berpikir tak apa ia keluar rumah untuk sekali ini saja agar pikirannya kembali tenang, tidak lagi memikirkan keluarganya yang egois.

Setelah mengemas dan memasukkan beberapa baju di tasnya, ia pun menggendong tas yang berwarna biru tua itu di punggungnya dan keluar diam-diam dari balkon kamarnya menuju ke bawah. Walaupun tinggi, tetap saja Arfan mempunyai ide untuk turun ke bawah.

Hampir saja terjatuh, Arfan pun berhasil turun dari kamar dan keluar dari rumah yang menurutnya seperti sebuah bencana baginya.

Jika sedang dalam keadaan seperti ini, ia pasti selalu datang ke rumah kakeknya. Entah mengapa, saat ia berada di rumah kakeknya, ia merasa nyaman dan tentram, yang ia tak dapatkan di rumahnya itu.

Ia melajukan motornya dengan kecepatan kencang, karena ia ingin sekali bertemu kakeknya itu, dan mengadu dengan semua apa yang dia rasakan.

Setelah beberapa lama, ia pun sampai di rumah kakeknya, ia diliputi dengan rasa senang.

"Assalamualaikum, kek."

Belum ada sahutan.

"Kakek! Assalamualaikum" teriak Arfan yang agak kencang dan membuat pintu rumah kakeknya ada yang membuka.

The FirstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang