Hari ini kami kembali masuk kelas setelah meliburkan diri kemarin karena paksaan Kak Jungkook. Sebetulnya aku tidak ingin membolos—dan untuk pertama kalinya aku membolos—tapi, ketika aku dihadapkan dengan tatapan mata Kak Jungkook yang memohon dan berkaca-kaca seperti itu membuatku tidak tahan dan lekas mengiyakan.
Memang dampaknya seburuk dan separah itu. Aku menggerutui sikapnya yang bisa membujuk secara persuasif dan mengikis kewarasan ku perlahan-lahan.
Jimin jelas murka mendengar permintaan ku untuk tidak datang ke sekolah pertama kalinya. Dia tidak mau mendengar segala bentuk alasanku, sebelum pada akhirnya Jungkook yang berbicara. Entah apa yang mereka perbincangkan hingga Jimin menyetujuinya. Ini membuatku bingung.
Ketika aku bertanya perihal obrolan mereka, Kak Jungkook tidak menanggapiku. Dia hanya mengatakan bahwa aku diperbolehkan membolos untuk seharian menemani kesedihannya dirumah ku. Ah, sungguh sial sekali.
"Ck! Untung saja Yumi mau meminjamiku catatan mata pelajaran kemarin." Aku berujar saat kami berjalan bersisian melintasi lorong sekolah.
Aku tidak mendengar gubrisan apapun. Maka, kepalaku memutar untuk melihatnya—Kak Jungkook yang sedang fokus dengan ponsel dalam genggamannya. Kulihat wajahnya tampak mengeras, ekspresi seperti itu kudapati saat dia sedang marah.
"Kenapa?" Aku menghentikan langkah begitu dia sudah berada di belakangku sejak kapan. Lekas aku mendekat. "Apa ada sesuatu yang terjadi?"
Ada lima detik keheningan begitu kalimatku terlontar, kemudian helaan napas gelisah Kak Jungkook disertai dengan usapan wajah frustasinya.
Dia lantas melengos, menjilat bibirnya dan menukas, "Bajingan itu memintaku untuk mendampingi anak istri barunya yang masuk sekolah kesini."
Aku tidak mampu menyembunyikan rasa terkejutku. Perempuan yang menjadi adik tiri Kak Jungkook itu tampak misterius di pertemuan pertama kami kala itu. Kalimat akhir yang menjadi pemisah diantara kami sebelum Kak Jungkook menyeretku pulang, untuk selang waktu yang lama berputar-putar dan merecoki isi otakku.
"Dia ... sekolah disini?" Aku bertanya skeptis. "Tapi kenapa aku tidak tau?"
"Dia pindahan. Dia baru masuk kesini saat kita membolos kemarin." Kak Jungkook menyahut cepat dengan nada tidak bersahabat. Kulihat dia mengacak-acak resah surainya yang sudah ditata menjadi kacau. "Dasar merepotkan."
Setelah berungkap begitu, Kak Jungkook melanjutkan langkahnya yang tertunda. Membuatku lekas mengekori dan meliriknya diam-diam melalui ekor mataku tanpa menuangkan komentar yang berlebih.
"Aku tidak akan menurutinya," tiba-tiba dia berkata begitu. Menyentak lamunanku dan kutatap dia lagi saat suaranya kembali terdengar, "Aku sudah memutuskan bentuk ikatan apapun dengannya."
Dia sedang tidak dalam keadaan yang baik. Aku dapat menerkanya hanya dengan menangkap pancaran iris Kak Jungkook yang berkilat-kilat. Jadi, aku hanya membisu. Merapatkan bibir sebab bingung ingin berungkap seperti apa.
Tanpa sadar kami sudah sampai di depan kelasku.
Kuremat tali ranselku dan lekas melangkah cepat. Aku melirik Kak Jungkook, berkata, "Ya sudah. Aku masuk dulu. Jangan bolos lagi, Kak."
Dia lantas mendengus, mengusap suraiku dan berkata, "Aku tidak bisa memastikan itu."
"Kumohon jangan bolos lagi!"
"Iya-iya. Sudah, sana! Masuk."
Aku lantas masuk setelah memberikan lambaian perpisahan padanya. Tungkaiku bergerak melangkah menuju tempatku duduk dengan Yumi.
"Kemarin bagaimana bisa kau membolos untuk pertama kalinya?"
Baru saja aku melepaskan beban ransel yang bertengger di pundakku, Yumi lekas mengajukan pertanyaan demikian. Bahkan aku belum sempat duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderfall
FanfictionKeberadaannya membelenggu kebebasan, menyerang kewarasan, membuatnya sinting secara bersamaan; definisi yang tepat untuk mendeskripsikan eksistensi Shin Jungkook. Seorang pemuda yang dipersilahkan untuk ikut campur mengambil alih separuh diri Jiyeon...