Aku tidak tahu apa yang membentur kepala Kak Jungkook saat berada dalam janin Ibunya. Sebab, segila apapun manusia di permukaan bumi ini, maka Kak Jungkook lebih gila dari itu. Sinting. Kelewat sinting.
Bahkan aku sendiri saja sulit untuk mendefinisikan dirinya sendiri.
Sebagai makhluk hidup yang bernapas, diberi akal sehat, dan beraktivitas seperti orang normal lainnya, Kak Jungkook memang berada dalam titik itu. Hanya saja, kegilaannya untuk tidak membiarkanku di kamar sendirian mengganti seragam sekolah—apakah dia masih bisa disebut orang normal lagi?
Hah.
Aku hanya dapat menghela napas, menekan emosi dengan geligi yang mengetat, memejamkan mata sejemang—kendati sempat berharap ketika kelopak mataku terbuka, Kak Jungkook akan mendarat di planet lain kecuali bumi sebab aku baru saja mendoakannya agar menyingkir sejauh mungkin. Ck. Hanya sebentar, kok. Tidak sampai beberapa menit untuk menghabiskan waktu mengganti baju saja.
Tapi, ya, apa yang kuharapkan? Harapan konyol yang akan selalu betah menjadi harapan.
"Kalau begini aku tidak jadi pergi."
Maka, tepat setelah aku bersuara demikian, Kak Jungkook berhenti memainkan game di smartphone-nya. Melirikku dengan mata terbuka lebar, seakan-akan aku baru saja mendeklarasikan sesuatu yang akan membuatnya terancam—mati, mungkin?—detik itu juga. Sempat aku menahan napas, menerka-nerka dalam kepala apalagi yang akan dia lontarkan sebagai bentuk protesan.
"Apa? Bagaimana bisa kau berkata begitu?"
Oh, lihat bagaimana dengan santainya Kak Jungkook mengucapkan kalimat barusan. Haha. Aku tertawa kaku, lalu mengubah ekspresiku dengan cepat menjadi sedatar marmer. Memberikannya sorotan tajam dari irisku—yang mungkin dalam serial animasi akan mengeluarkan sebuah laser yang bisa melelehkan entitasnya. Sekali lagi, aku mengatur napas. Meraba dada dengan menganggukkan kepala.
Aku tidak peduli. Kendati dia satu tahun lebih tua dariku, persetan dengan sopan santun jika sikapnya kekanak-kanakan begini.
"Ah, ayolah." Aku berdecak jengah. Menggaruk kepala yang mendadak gatal—walau baru saja kemarin aku menghabiskan waktu satu setengah jam untuk keramas, membersihkan kulit kepala, sepertinya golongan ketombe hadir dengan cepat untuk hidup di sana hanya karena sikap pemuda Shin ini. "Kalau kau ingin aku pergi, dengan penuh kehormatan aku memintamu untuk keluar sebentar. Menunggu ku ganti baju disana," pintaku sopan.
Oke. Mari kita tunggu kilahan seperti apa lagi yang akan dia udarakan.
Entah apa maksud decihannya itu, yang sukses menyerang emosiku. Menghantam pergejolakan dalam dada sedari tadi hingga kekacauan kini bersemayam, dan satu ide gila memborbardir pikiranku tentang menendang bokong atau barangkali miliknya itu yang sering dia mainkan sendiri agar hobinya hancur.
Ya, Kak Jungkook menyebutnya sebuah hobi.
Kak Jungkook mulai membawa kakinya tegak, melirikku agak lama dengan tatapan yang berkilat-kilat dan sama sekali tidak membuatku gentar—tetap berkacak pinggang dan turut membalas sorotan, dia mulai melangkahkan kaki yang sengaja dihentakkan. Seperti orang kesal pada umumnya. Meninggalkan ku dalam keterkejutan setelah satu debuman dari pintu kamar yang dibanting keras oleh tenaga Hulk-nya.
Sialan. Untung saja aku tidak meninggal dunia.
Sementara mengatur detakan jantung yang masih saja beriuh keras, aku melantunkan umpatan dan sebuah asa agar pemuda Shin ini tetap berumur panjang, di dalam hati. Berkomat-kamit akan sikapnya yang kerapkali membuat emosiku tidak stabil.
"Si gila itu," kepalaku tiba-tiba pening. Rasa nyeri membuat niatku urung untuk pergi menginap di rumah Kak Jungkook. Tapi, sekali lagi, menolak bukanlah sebuah pilihan yang baik. "Dia akan membunuhku jika sampai menolaknya saat ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderfall
FanfictionKeberadaannya membelenggu kebebasan, menyerang kewarasan, membuatnya sinting secara bersamaan; definisi yang tepat untuk mendeskripsikan eksistensi Shin Jungkook. Seorang pemuda yang dipersilahkan untuk ikut campur mengambil alih separuh diri Jiyeon...