"Shin Jungkook!"
Aksen berat itu menggema disepanjang langkah Shin Jungkook yang tergesa kendati mulutnya ingin membalas carut marut yang pria itu gaungkan.
Tuan Shin adalah pelakunya.
Ia adalah seorang iblis; menurut Jungkook, yang memaksanya menjadi pembangkang, bebal, dan apatis akan eksistensinya sebagai sosok sang ayah. Bahkan memejamkan mata sekalipun untuk meredam rasa geram tidak membuahkan hasil. Hatinya diliputi kabut amarah serta rasa benci yang membludak.
"Kau memang keras kepala seperti Ibumu!"
Kalimat yang berhasil membuat langkah kaki yang semula lebar menjadi terjeda. Ia baru saja tersentak, dengan refleks meremat kuat satu tali ransel yang menggantung di pundak kanannya.
Tentu saja. Jika menyinggung perihal perempuan yang sudah melahirkannya, Jungkook akan bertindak. Sekalipun bahwa sang pelaku adalah Ayahnya, tidak ada alasan bagi Jungkook untuk takut.
Ia membalikkan badan, ekspresinya terlihat lebih gelap dari biasanya. Pandangan itu lurus jatuh pada tiga figur yang berdiri dihadapannya.
Menarik pasokan udara untuk melepas rasa sesak di dada, ia berujar, "Bisakah kau berhenti memaksaku untuk menganggap perempuan itu sebagai saudaraku?"
Terlepas bagaimana tatapan berapi Jungkook yang ditujukan untuknya, jujur saja Tuan Shin tercekat. "Apa katamu?" balasnya.
Ketenangan dan kedamaian hidupnya terganggu, dan penyebab dari itu semua adalah presensi pria paruh baya yang berumur setengah abad itu. Sang Ayah yang tidak akan pernah menjadi panutan bagi Jungkook; putranya sendiri.
"Sudah ku peringatkan sebelumnya, aku benci punya saudara. Dan faktanya aku memang tidak mempunyai saudara." Jungkook menukas dengan lantang, mengabaikan keterkejutan dua wanita yang berdiri disamping Tuan Shin.
Menghembuskan napas dengan satu kali sentakan, Tuan Shin membalas, "Sampai kapan kau terus menjadi pembangkang seperti ini?"
"Hm, entahlah," Jungkook berujar dingin. "Mungkin sampai kalian enyah dari sini." Bersamaan dengan argumennya, ia kembali melangkah menjauh keluar dari pelataran yang menghantarkan getaran panas di sekujur tubuhnya.
"Keparat!"
Teriakan itu bagaikan hembusan angin yang bertiup melewatinya.
"Ah, aku lupa." Suara Jungkook mengudara lagi, pun pijakannya ikut terhenti. Tanpa menoleh, tone beratnya kembali menguar seiring dengan punggung tegapnya yang menghilang dibalik daun pintu rumah.
"Dan juga berhentilah memaksaku untuk berangkat sekolah bersama Haerin. Aku tidak sudi!"
Penolakan yang cukup tegas, hingga mampu membuat gigi Haerin bergemeletuk seraya sepasang irisnya memandang tajam jauh ke depan.
Tepat pada gerangan Shin Jungkook.
***
Ia dengan sabar menunggu panggilannya tersambung. Satu kali, dua kali, dan untuk ketiga kalinya Jungkook tersenyum sumringah kala mendengar vokal lembut dari seberang menyambut gendang telinganya.
"Halo?"
Sudut-sudut bibirnya semakin melengkung naik. "Ibu."
"Eh?" Ada keterkejutan yang datang dari intonasi itu. "Ah, ini Jungkook?"
"Mmm." Kepalanya dengan sontak mengangguk. Lantas Jungkook melanjutkan, "Bagaimana kabarmu, Ibu?"
"Ya ampun, Sayang. Sudah lama sekali kau tidak menghubungi ku." Nada itu terdengar antusias menyambut indera pendengarannya, sedikit membuat Jungkook tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderfall
FanfictionKeberadaannya membelenggu kebebasan, menyerang kewarasan, membuatnya sinting secara bersamaan; definisi yang tepat untuk mendeskripsikan eksistensi Shin Jungkook. Seorang pemuda yang dipersilahkan untuk ikut campur mengambil alih separuh diri Jiyeon...