mulai janggal

166 11 2
                                    

Diantara musik yang diputar dan hujan lebat yang turun pada pertengahan siang hari membasahi bumi, hati dan pikiran Jiyeon berperang hebat. Sorot matanya kosong, memandang keluar jendela, menatap dedaunan yang disiram oleh semesta. Sementara sudut-sudut bibirnya menekuk, membentuk lengkungan ke bawah—moodnya sedang buruk.

Bibirnya menciptakan celah, membuang napas berat disana. Jiyeon lebih memilih memejamkan mata, menahan nyeri perut karena ini hari pertamanya. Sendirian dirumah dan membiarkan dirinya ditenggelamkan oleh rasa bosan luar biasa.

Di ruang tengah—tepat di atas sofa, ia membiarkan tubuhnya beristirahat. Ingin membuat cokelat panas tapi rasa malas lebih menguasainya, sehingga ia mengurungkan niat. Defensif dengan semesta yang dikatupkan, dan bunyi musik dari ponselnya mulai tak diindahkan sebab kalah dari suara bising rintikan hujan diluar.

Memasuki hari ketiga dimana ia di manjakan karena libur sekolah, berbanding terbalik dengan Shin Jungkook. Pemuda Shin itu berperang dengan soal-soal yang rumit, membuat kepalanya sakit, pun pening menyambangi.

Dalam durasi itu pula mereka tidak bertukar pesan, atau saling berkabar satu sama lain lantaran Jiyeon tidak ingin mengganggu waktunya belajar.

Menghabiskan hampir 2 jam lamanya, bunga tidur sudah menggerogoti Jiyeon di alam bawah sadar, lantas harus hancur ketika ia mendengar bunyi bell pintu rumah. Sontak Jiyeon terkejut, terduduk dengan tatapan yang linglung sarat akan kebingungan.

Jemarinya mengusap mata, membuat pandangannya memburam. Sambil tergopoh-gopoh, ia lekas bangkit setelah mematikan musik yang dimainkan percuma. Mengamati jam dari ponsel miliknya.

Ini baru menunjukkan pukul 2 siang hari, lantas gerangan siapa yang datang? Jelas bukan Jungkook, sebab kelasnya selesai pada pukul 4 sore. Apalagi Jimin, pria itu cenderung pulang ke rumah ketika tengah malam sudah menyingsing.

Lantas Jiyeon membawa tungkainya melangkah menuju sumber suara. Beberapakali hampir limbung disela perjalanan karena kesadarannya belum sepenuhnya pulih.

Ia memutar kunci rumah pada cylinder, menarik gagang dan membiarkan daun pintu terbuka.

"Siapa?"

Total Jiyeon tercekat, pikiran yang sebelumnya mumet lekas meluap seketika. Ia terpengarah kala menangkap eksistensi gadis dengan rambut yang dikuncir kuda kini hadir di depan matanya.

"H-haerin?"

"Hai, Ji." Perempuan Shin itu melambaikan tangan, memberikan sapaan. Kepalanya sedikit melongok ke belakang tubuh Jiyeon sebelum tersenyum ramah. "Boleh aku masuk?"

"Oh!" Jiyeon tersadar, ia mengerjapkan matanya cepat dan mengangguk kikuk. Menepikan tubuhnya dan memberi ruang Haerin saat dipersilahkan untuk masuk.

Jiyeon tidak diberi opsi lain selain mengekor, ia tidak mungkin tidak menyambut tamu yang datang ke rumah kendati Haerin adalah perempuan yang berada di list pertama sebagai entitas yang harus dihindarinya.

Matanya melirik liar, tapi membiarkan Haerin melangkah menuju sofa ruang tamu, duduk disana dengan tangan yang terlentang diatas sandarannya.

"Kau sendirian dirumah, Ji?"

Lawan bicaranya tak langsung menggubris, Jiyeon lantas duduk berseberangan dengan Haerin, kemudian mengangguk. "Mungkin?" tukasnya skeptis, memberikan kekehan hambar disela kalimatnya yang terjeda. "Aku tidak tau hari ini Kak Jimin pulang telat atau tidak, ya ... untuk sekarang aku sendirian."

Hal pertama yang muncul dibenak Jiyeon tatkala melihat ekspresi wajah Haerin yang tersenyum sumringah adalah ketegangan. Ya, ketegangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya sampai membuat kedua telapak tangannya basah karena keringat.

WonderfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang