Shin Jungkook; pemuda itu menarik pergelangan tangan ringkih kekasihnya dan masuk ke dalam rumah dengan pencahayaan yang remang-remang. Menuntun setiap langkah Jiyeon, kemudian berhenti di anak tangga ke empat saat siluet dari tubuh Haerin menyambut keduanya di lantai dua.
"Jiyeon?" Perempuan itu lebih tertarik untuk menyebut nama Jiyeon ketimbang saudara tirinya. Haerin lantas membingkai senyum. "Kau juga datang kemari?" lanjutnya.
Sepasang tungkainya melangkah menurun, berniat melihat Jiyeon dari jarak pandang yang dekat dan lebih jelas. Sebab, pencahayaan yang redup membuat penglihatannya terasa samar dan buram. Inginnya begitu, tetapi ketika menyisakan tiga anak tangga ia terpaksa menghentikan pergerakan.
Kemudian mendengus, Haerin mendelik saat berujar, "Apa-apaan dengan aksimu itu?"
Perkataan yang ditujukan untuk Jungkook, tentu saja. Pemuda Shin itu dengan sigap berdiri di depan Jiyeon, secara tidak langsung menghadang subjek Haerin yang mengancam mereka—menurutnya.
Obsidian legam yang menjurus pada satu titik dimana Haerin bersedekap dada. Jungkook tertawa penuh ejekan, melengoskan wajah. Haerin benar-benar berhasil membuat amarahnya memuncak hingga ke ubun-ubun. Menjadikannya paranoia.
"Menyingkirlah," ia memberikan titahan penuh ultimatum. Semakin mempererat genggamannya pada tangan Jiyeon.
Lantas, Jungkook membawa kakinya bergerak, lanjut menaiki anak tangga.
Pun Jiyeon tak banyak berkomentar, sebab ia tidak ingin terlibat dalam situasi yang krusial ini. Mengapit kinerja paru-parunya hingga ia nyaris kesulitan meraup pasokan udara.
Tapi, jelas Haerin tidak akan membiarkan mereka enyah dengan mudah. Satu tangan perempuan itu mencekal pergelangan tangan Jiyeon, membuat gadis dengan surai yang disanggul itu berjengit kaget. Tatapannya jatuh pada tangan Haerin yang menggenggam lengannya.
Menyadari gerakan mereka dijegal, sontak membuat Jungkook geram. Hampir saja ia menghempaskan tangan Haerin dengan kasar karena sudah berhasil mengundang angkaranya membumbung teramat tinggi.
Namun, sepersekian detik berikutnya, Haerin melepaskan cengkeramannya dari Jiyeon. Memutus tautan, tapi mematri senyum yang mengolok-olok emosi Jungkook.
Perempuan itu—Jungkook ingin meluapkan carut-marutnya tepat di depan wajah bengis yang memuakkan milik Haerin.
"Jangan banyak tingkah jika kau ingin aku menemanimu disini." Pemuda Shin itu memandang dongkol ke arah punggung kecil Haerin yang menjauhi mereka.
Sembari menyusuri sisa anak tangga terakhir, Haerin lantas meresponsnya dengan dengusan—ekspresi rasa jijik secara verbal tepat ketika ia mendengar penuturan Jungkook seperti ancaman untuknya.
"Kau yang seharusnya jangan banyak tingkah seakan aku membutuhkanmu untuk tinggal dan menemaniku disini, jika kau tidak ingin Ayah memutus kartu kredit milikmu."
Keparat.
Kata-kata yang keluar barusan menampar telak Jungkook. Benar. Jika saja Ayahnya tidak melayangkan ancaman dengan memutus akses kartu kredit miliknya, Jungkook tidak akan pernah menginjakkan tungkainya—apalagi membawa Jiyeon, untuk menginap di rumah yang meninggalkan kesan buruk sepanjang ia hidup.
Maka, tanpa untaian frasa yang hanya akan membuat dialog diantara mereka berlangsung kelewat alot, Jungkook memilih mengalah dan meninggalkan Haerin yang tersenyum pongah; penuh kemenangan.
***
Ia terbangun pada pukul tiga dini hari lantaran kerongkongannya begitu tandus. Karena percekcokan kecil yang terjadi diantaranya dan Haerin, Jungkook jadi melupakan kebiasaannya untuk membawa segelas minuman ke dalam kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderfall
Fiksi PenggemarKeberadaannya membelenggu kebebasan, menyerang kewarasan, membuatnya sinting secara bersamaan; definisi yang tepat untuk mendeskripsikan eksistensi Shin Jungkook. Seorang pemuda yang dipersilahkan untuk ikut campur mengambil alih separuh diri Jiyeon...