Ini terlalu mencekam sampai-sampai Yeonjun tidak dapat menarik pasokan oksigen untuk kebutuhan paru-paru agar peredaran darahnya berjalan dengan lancar. Bola matanya bergulir gelisah sedari sepersekian detik yang sudah terlewatkan secara cuma-cuma. Menilik Jiyeon, kemudian beralih pada presensi Haerin yang membisu namun tatapannya begitu lekat tertuju ke arah Jiyeon.
Apa yang terjadi?
Yeonjun jadi mempertanyakan keadaannya yang terjebak diantara dua gadis yang larut dalam pikiran masing-masing dan saling berkesinambungan satu sama lain. Terlalu ganjil, perasaan tidak mengenakkan mulai mengerubungi dirinya.
Lantas, satu tarikan napas ia hembuskan dengan kasar. Membingkai senyum asimetris, ia datang kemari untuk belajar kelompok lantaran pada saat pembagian, takdir mempertemukannya dengan Jiyeon dan Haerin—si anak pindahan.
"Kalian ..." Yeonjun mengulum bibir, memungkas pelan, "... ada masalah?"
Kendati perasaan tidak nyaman masih hinggap memenuhi relung batin, Yeonjun tetap memberanikan diri untuk bertanya demikian demi membebaskannya dari situasi yang terlalu eksentrik ini.
Tidak ada respons atas pertanyaan yang mengudara, membuat Yeonjun terkekeh sumbang. Ia baru saja diabaikan, dan keadaan justru berubah semakin canggung.
Diusapnya tengkuk demi mengusir rasa kalut. Yeonjun memutuskan untuk bangkit, terlalu lama duduk di atas kursi cafe membuat pantatnya kebas. Pun ia sudah menahan diri sedari tadi.
"Aku ke toilet dulu sebentar."
Daripada membuang-buang waktu dan energi secara percuma seraya menyaksikan kedua gadis itu yang terbisu, lebih baik Yeonjun memungut durasi yang tersisa untuk menekur di dalam pelataran yang berbeda.
***
Berulangkali aku merutuk sebab memberikan Yeonjun impresi yang buruk hingga sekarang pemuda itu membiarkanku terjebak bersama Haerin. Aku ingin mengurangi komunikasi dengannya lantaran gadis ini berhasil membuat tingkat kewaspadaan ku meningkat, tapi sekarang aku harus menertawakan bagaimana nasib membawaku berakhir untuk dipertemukan sekali lagi dengannya secara langsung.
Aku berjengit kaget saat sentuhan lembut menyapa punggung tanganku. Spontanitas yang bekerja dengan cepat, ku tepis tangannya tanpa sadar. Aku dapat melihat gurat wajah Haerin yang tergelonjak, ia terpengarah menghadapku.
"M-maaf, Haerin. A-aku ... aku tidak bermaksud—"
Bibirku kelu berungkap, aku gelagapan. Tapi, manikku menangkap Haerin yang tersenyum tipis seraya mengangguk.
Dia ... tidak marah 'kan?
"Santai saja, Ji. Aku bermaksud untuk menyuruhmu untuk menyentuh makanan dan minuman yang sudah dipesan. Kau sama sekali belum menyentuhnya dari tadi."
Ah, benar.
Kami sekarang di cafe, aku hampir lupa. Aku hanya tertawa lirih membenarkan. Memperbaiki posisi dudukku yang tidak nyaman, lantas aku mulai menyeruput Blueberry Latte yang belum terjamah sejak disajikan.
"Ji," panggilan Haerin menyita perhatianku. Dia menimpal, "Aku tidak tau apa yang Jungkook katakan tentang diriku padamu, tapi aku bisa melihat kalau kau menghindari ku sekarang."
Dia menyadarinya?
"Bisakah kau bersikap biasa saja?" Air mukanya berubah murung, Haerin tertunduk kala menukas, "Aku merasa tidak enak melihat Yeonjun yang gelisah karena kita."
Semua penuturan dari Haerin seperti menamparku dengan telak. Dia benar, sikapku yang menghindarinya terlalu mencolok bahkan Yeonjun merasakan hal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderfall
FanfictionKeberadaannya membelenggu kebebasan, menyerang kewarasan, membuatnya sinting secara bersamaan; definisi yang tepat untuk mendeskripsikan eksistensi Shin Jungkook. Seorang pemuda yang dipersilahkan untuk ikut campur mengambil alih separuh diri Jiyeon...