Kak Jungkook tidak menuangkan banyak kata disaat kami menikmati angin segar di tepian tembok rooftop gedung sekolah. Dia hanya sibuk mengunyah roti yang tinggal seperempat dengan tatapan menghunus lurus ke depan. Aku tidak bisa menebak isi kepalanya yang tengah bercokol sekarang, sebab raut wajahnya kelewat datar untuk dapat kuterka dan kubaca dengan seksama.
Akhir-akhir ini dia memang banyak pikiran. Aku memaklumi sikapnya yang demikian. Pun aku tidak berminat untuk menambah beban benaknya.
"Dia satu kelas denganmu?"
Tiba-tiba suara beratnya terdengar di sampingku, membuatku mendongak menatapnya. Kak Jungkook menunduk, menatap dan menunggu jawaban dariku.
Kuanggukkan kepalaku membenarkan. "Iya," tukasku singkat.
Sejemang hening merangsak lagi, menyelimuti kami yang berkontemplasi.
Lee Haerin atau Shin Haerin; gadis itu sangat asing. Aku cukup tau diri untuk tidak menebak-nebak melalui persepsi kepalaku yang dipenuhi dengan stigma negatif, tapi tidak dapat ku elakkan bahwa entitasnya cukup diwaspadai.
Saat aku menerka-nerka, kurasakan rangkulan tangan Kak Jungkook pada bahuku. Disusul kemudian kepalanya jatuh di atas kepalaku. Entah kapan roti dalam genggamannya lenyap—sepertinya sudah dia santap, sementara milikku masih tersisa setengahnya.
Aku memberikan satu gigitan padanya yang lekas di sambut antusias—sepertinya dia masih lapar.
"Kalau masih lapar, ayo kita ke kantin," ajakku sembari menggigit roti yang masih bersisa sedikit.
"Tidak. Dan omong-omong, aku ingin bertanya." Kak Jungkook membawaku berhadapan dengannya. Baiklah, ini dia sesi interogasi. "Bagaimana bisa kau dekat dengannya?"
Aku mengedip lembut, tetap menghabiskan roti milikku. Lalu disela kunyahan terakhir, aku menjawab, "Dia tiba-tiba saja menyapa kami dan—ya ... kau tau?" Kukedikkan bahuku. "Basa-basi, lalu dia bertanya apakah boleh ikut makan dengan kami atau tidak. Tentu saja kami memperbolehkannya."
"Kenapa?" Ada garis wajah tidak suka yang hadir pada figur Kak Jungkook.
"Dia sepertinya cukup baik, Shin." Sungguh, aku masih skeptis dengannya tapi entah kenapa pernyataanku bertolak belakang dengan seluruh pradugaku.
"Kau tidak bisa menilainya sebagai orang baik hanya karena kejadian beberapa menit lalu yang terlewati. Kalian bahkan belum dekat satu sama lain. Bagaimana bisa kau menilainya begitu?"
"Ini hanya dugaan sementaraku saja," aku masih bersikeras membela diri agar tidak terlihat salah disini.
Ku dengar helaan napas darinya, lantas aku memutus pandangan.
"Terserah. Aku tidak akan melarangmu untuk dekat dengannya. Tapi, aku memperingatimu untuk hati-hati padanya. Mengerti?"
Kurotasikan irisku dengan malas. "Baiklah, Shin." Aku lantas berjalan menjauhinya, mendekat menuju tong sampah yang terletak di sudut pintu rooftop. Membuang bungkusan roti dalam genggamanku sembari menggerutu, "Gara-gara kau aku jadi meninggalkan Yumi dan tidak jadi makan—"
"Kau bilang apa?"
Aku total bergidik. Kurasakan kedua lengannya perlahan-lahan melingkari pinggangku dari belakang. Napasku tertahan saat dia menyingkirkan helaian rambutku, dan mengumpulkannya menjadi satu lalu membuatnya tersampir ke sebelah kiri hingga dia leluasa menciumi leherku.
"Hentikan," aku mendesis. Melirik kesana-kemari karena takut dipergoki. "Bagaimana jika ada seseorang yang datang? Atau jangan-jangan disini ada CCTV?"
Kak Jungkook bergeming, tidak menggubris sama sekali. Pun aku hanya diam, walau sekarang jantungku ketar-ketir karena takut ada eksistensi lain disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderfall
FanfictionKeberadaannya membelenggu kebebasan, menyerang kewarasan, membuatnya sinting secara bersamaan; definisi yang tepat untuk mendeskripsikan eksistensi Shin Jungkook. Seorang pemuda yang dipersilahkan untuk ikut campur mengambil alih separuh diri Jiyeon...