Sepasang mata keduanya fokus dalam diam membaca deretan pesan yang dikirimkan oleh sang ayah—Tuan Shin. Jungkook hanya memberikan kekehan pelan ketika selesai, satu sudut bibirnya terangkat membentuk seringai.
Sepertinya, persyaratan yang ia ajukan terlalu sulit untuk dikabulkan.
Jiyeon melempar lirikan kepada kekasihnya yang memberikan respons pongah. Tertumpu dibelakang sofa tempat Jungkook duduk seraya melepaskan penat dirumahnya tepat pada pukul enam—senja hari. Pun ia ikut penasaran dengan isi pesan masuk untuk pemuda Shin itu.
Ia merebut benda pipihnya, lantas berdiri lantaran merasa lelah karena membungkuk. Mendudukkan diri di sisi sofa yang kosong. Kembali mengeja—dalam kebisuan, tiap kata yang masuk ke dalam penglihatannya.
"Kau menyuruh Ayahmu untuk memindahkan Haerin?" Tanpa melepaskan atensinya, Jiyeon bertanya.
Ada erangan panjang yang terdengar kala Jungkook melakukan peregangan pada otot-ototnya, ia menghadap ke langit-langit ruangan yang menjadi pusat perhatiannya.
Satu lengannya bergerak menutupi sumber tilikan. Pun memberikan anggukan, menimpal ringan, "Ya, aku benar-benar tidak suka dia berada di satu sekolah yang sama dengan kita. Apalagi mengingat dia satu kelas denganmu."
Setelah selesai, Jiyeon meletakkan telepon genggam itu ke atas meja. Menyorot ke arah Jungkook yang dirundung tidak bertenaga.
Ini kelewat runyam dan terlalu rumit. Jiyeon membuat kesimpulan, Tuan Shin tidak bisa memenuhi keinginan Jungkook lantaran ujian kenaikan kelas tinggal beberapa bulan lagi. Jika Haerin tetap dipaksa untuk bermigrasi, ada kemungkinan materi ujian yang sudah mereka pelajari di SMA Cheongjun dan sekolah lain yang menjadi tujuan Haerin pindah itu berbeda. Secara substansi, apa yang Haerin pelajari selama ini menjadi sebuah omong kosong.
"Ingin ku buatkan sesuatu?" Jiyeon mengusulkan makanan atau minuman yang mungkin akan menjernihkan pikiran lawan bicaranya.
Ada gelengan kepala yang muncul sebagai jawaban. Pun Jungkook bersitatap dengan paras gadisnya yang jauh lebih segar jika mereka dibandingkan.
"Sesekali menginap ditempatku bagaimana, Ji?"
"Huh?"
Tawaran yang begitu mendadak terlintas di benak Jungkook. Melihat Jiyeon terperangah seketika, ia menukas lagi, "Ayolah, hanya untuk malam ini," ujarnya membujuk secara persuasif.
Jiyeon tidak dapat mengontrol ekspresinya. Untuk sejemang, dahi itu berkerut—membentuk lipatan yang kentara akan linglung.
Maniknya refleks melirik jam yang tergantung apik di dinding, menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Ada sekitar setengah jam lagi Jimin pulang ke rumah.
Ia menimbang cukup lama, kalut dalam pikirannya yang kusut. Dan Jungkook hanya mengulum senyum melihatnya.
"Apa yang membuatmu berpikir begitu lama?" Dimiringkannya kepalanya saat mengutarakan pertanyaan itu.
Lantas pemuda Shin itu menegakkan tubuh, mengambil ponselnya kembali, lalu menyambar ransel untuk disampirkan di sebelah pundak kanannya. Segera meraih pergelangan tangan Jiyeon yang ringkih.
"Tunggu! Aku belum mengatakan kalau aku setuju." Si gadis melayangkan protes. Menahan bobot tubuhnya yang akan ditarik.
"Aku tidak menerima penolakan." Dengan absolut, Jungkook memberikan jawaban.
Lantas Jiyeon hanya menggulirkan irisnya jengah. Menahan sekali lagi tarikan Jungkook, menyentak dengan pelan.
"Sebentar, aku harus bersiap-siap," tuturnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderfall
Fiksi PenggemarKeberadaannya membelenggu kebebasan, menyerang kewarasan, membuatnya sinting secara bersamaan; definisi yang tepat untuk mendeskripsikan eksistensi Shin Jungkook. Seorang pemuda yang dipersilahkan untuk ikut campur mengambil alih separuh diri Jiyeon...