Aku bergeming tatkala Kak Jungkook semakin berani beringsut mendekat, membaui aroma tubuhku dengan indra penciumannya. Ini agak menggelitik, mengocok perutku sebab kecupan-kecupan basah juga ditinggalkannya dengan sengaja.
"Jangan meninggalkan tanda," aku menginterupsi kegiatannya. Lihatlah dia, wajahnya dipasang sepolos mungkin padahal sekarang aku merasa ditelanjangi oleh obsidian legamnya. "A-apa?" Dengan gugup aku bertanya.
Tidak ada balasan, bibirnya kembali menginvasi area leherku. Kudongakkan kepalaku dengan sengaja, membiarkannya bergerak leluasa disana. Jemariku menari-nari, memberikan usapan ringan pada surainya yang halus.
Kak Jungkook semakin beringas, posisi kami yang semula hanyalah sebatas berpelukan. Sekarang dia menindihku. Aku merasakan deru napas kami yang saling beradu. Hawa panas menyertai kami dan aku sedikit agak pusing. Bukan karena aku sakit, melainkan perasaan gugup dan gelisah turut hadir.
Karena aku membiarkan Kak Jungkook terus bertingkah nakal, kurang ajar, dan dominan. Dia bergerak dengan leluasa, sementara pergerakan ku disabotase dengan paksa oleh kekuatannya.
"Aku bersyukur tidak ada Jimin." Kurasakan basah pada belah pipi kiriku kala dia mendaratkan kecupan. Senyumnya teramat jenaka. "Kalau tidak, mungkin dia akan menghancurkan keperjakaanku saat melihat kita sekarang."
Aku sedikit terpingkal saat mendengar guyonannya. Tapi, hanya berlangsung sesaat sebab bibirnya membungkam itu semua.
Kami berpagutan, dengan Kak Jungkook yang memimpin permainan—selalu seperti itu sebab aku tidak bisa mengimbanginya. Dia seperti memaksaku untuk melebur bersamanya, memaksaku menyelami gejolak rasa.
Lututku gemetar, kehabisan udara di dalam paru-paru, kehabisan logika di dalam kepala. Tidak, aku tidak bisa berpikir dengan jernih karena bunyi decapan yang menarik paksa kewarasanku.
Kudorong dada bidangnya, melepas cumbuan yang berlangsung. Lekas aku meraup pasokan oksigen dengan serakah agar paru-paru dalam tubuhku tidak berhenti bekerja.
Kepalaku berpaling ketika ciuman-ciuman basahnya berlabuh pada kupingku. Spontan aku mengeluarkan desahan halus. Kak Jungkook seperti tidak menyerah untuk mengeksploitasi sekujur tubuhku. Berawal dari leher, lalu turun ke dada—
"Kak?!" Aku terperanjat saat dia berusaha menyingkap gaun tidurku.
Wajahnya mendekat, mensejajarkan posisi dihadapanku. Mataku terpejam lantaran dia melabuhkan kecupan disana secara bergantian.
Kemudian dia meraih tanganku, mengecupnya dengan sensual. "Aku tidak akan bertindak lebih jauh."
***
Waktu terus berputar pada rotasi, kedua jarum jamnya memiliki korelasi. Ketika jarum pendek terhenti tepat diantara angka sebelas dan dua belas malam, sementara jarum panjang memilih singgah diantara angka enam dan tujuh, hiruk-pikuk kota metropolitan Seoul tidak akan berhenti. Tidak ada malam yang sunyi, ataupun bunyi suara jangkrik yang bersahutan.
Deru napas Jiyeon memburu saat Jungkook melancarkan aksi. Memberikan sentuhan-sentuhan dibawah sana yang merangsangnya.
Tanpa sadar bibirnya melepaskan desahan. Jungkook hanya tersenyum ketika memandangi paras gadisnya yang tak karuan. Surai acak-acakan, rona kemerahan menggoda yang menghiasi kedua belah pipinya, pun labium yang total membengkak karena ia melahapnya penuh kabut nafsu.
"Uh ..." Desahan tertahan lepas dari Jiyeon. Maniknya sayu termakan oleh gairah. "Ini sudah malam. Hen-hentikan—ngh!"
Jemari pemuda Shin itu menekan kelamin Jiyeon yang masih mengenakan underwear. Semakin menyingkap gaun tidur si gadis hingga batas dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderfall
أدب الهواةKeberadaannya membelenggu kebebasan, menyerang kewarasan, membuatnya sinting secara bersamaan; definisi yang tepat untuk mendeskripsikan eksistensi Shin Jungkook. Seorang pemuda yang dipersilahkan untuk ikut campur mengambil alih separuh diri Jiyeon...