Pagi yang diawali dengan atmosfir mencekam; mencekik, membuat tenggorokanku seperti baru saja mengalami kemarau panjang. Aku bagaikan terjepit dalam situasi yang tidak mendatangkan peruntungan untukku.
Pusat dari semua ketidaknyamanan ini adalah Shin Haerin. Ini agaknya mengejutkan, mengingat aku dan Haerin belum membangun relasi pertemanan yang cukup akrab, tapi kedatangannya ke rumahku di pagi-pagi buta perlu diapresiasi karena dia punya nyali yang besar.
Tapi terlepas bagaimana aku memberikannya pujian, darimana dia tau alamat rumahku?
Itu menjadi pertanyaan yang besar dan bercokol sekarang, sedikit mengganggu kefokusanku untuk menikmati hari libur. Apalagi sekarang—
Kepalaku otomatis berputar ke kiri. Aku melihat bagaimana raut muka Jungkook yang tidak bersahabat dengan obsidian hitam legamnya yang tak lepas menyoroti Haerin. Baiklah, ini pertanda buruk.
Dehemanku memecah kesunyian yang membelenggu kami dalam kesesakan, tapi dibuyarkan seketika lantaran Kak Jimin datang membawakan sarapan yang sudah dia buat untuk disajikan.
"Aku baru saja membuat kimchi-jeon untuk kalian. Dan Shin Haerin, jangan sungkan untuk ikut sarapan bersama kami disini."
Kuakui, bahwa Kak Jimin mempunyai jiwa seperti malaikat. Dia benar-benar menjamu tamu dengan baik dan benar. Kendati dia tau bahwa perempuan Shin ini menjadi biang utama perubahan suasana hati Jungkook, dia tidak bisa mengabaikan presensi gadis itu.
Selesai menata kimchi-jeon, diselingi dengan beberapa makanan dan buah-buahan lainnya di atas meja makan, aku melihat Kak Jimin memukul pelan dahinya.
"Astaga, aku lupa membawakan susu. Tunggu sebentar, ya."
Bersamaan dengan itu, terdengar langkah kaki Kak Jimin menjauh menuju dapur. Mengembalikan kami ke dalam suasana yang mampu membuat perutku bergejolak tidak nyaman.
Lantas aku merasakan sentuhan pada tangan kiriku, lebih tepatnya telapak tangan besar Jungkook memberikan genggaman.
Kulirik wajahnya yang sepenuhnya kini menghadapku.
"Kita harus bicara."
***
"Bagaimana bisa dia datang kemari, Ji? Kau mengajaknya?"
Intonasi suara Jungkook terdengar diliputi angkara. Dan Jiyeon menerka bahwa konversasi ini akan berakhir buruk untuk dirinya. Napas si gadis berembus tak teratur—tersendat, bukan ide yang bagus. Maka, Jiyeon melonggarkan paru-paru yang serasa dicekik kuat hingga bernapas saja kian menyulitkan.
Sejenak Jiyeon menatap eksistensi Jungkook yang diliputi kalut.
Lantas ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, terlalu panik. "Aku bahkan tidak pernah memberitahukannya alamat rumahku, Kak. Sungguh."
"Lalu, kenapa dia bisa ada disini?!" Aksen Jungkook meninggi. Menyentak Jiyeon yang terlonjak kecil dengan sepasang manik yang melotot. "Bukankah sudah kukatakan untuk jangan terlalu dekat dengannya, apalagi kau sampai berteman dengan perempuan sialan itu?! Kau tidak lupa siapa dia 'kan, Ji? Dia anak dari wanita jalang yang menghancurkan keluargaku."
"Aku tau, Shin. Aku tau. Tidak perlu kau perjelas!"
Barangkali, Jiyeon ingin tangisan yang membuat tenggorokannya menjadi tidak nyaman ia lepaskan. Belakangan ini, hubungan mereka memang berada dalam situasi yang kurang menguntungkan. Lebih tepatnya, tidak kondusif. Pertengkaran kecil maupun besar selalu terselip didalam konversasi yang mereka bangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderfall
Fiksi PenggemarKeberadaannya membelenggu kebebasan, menyerang kewarasan, membuatnya sinting secara bersamaan; definisi yang tepat untuk mendeskripsikan eksistensi Shin Jungkook. Seorang pemuda yang dipersilahkan untuk ikut campur mengambil alih separuh diri Jiyeon...