•••••
Januari masih berada di awal pertengahan , saat ini menjelang pagi sekitar pukul 03 subuh. Mata yang semula tak ingin pejam kini mulai di serang kantuk begitu hebat. Hampir terlelap tapi langsung terjaga kembali ketika mendapati notifikasi ponselnya tiba-tiba berbunyi. Satu bubble chat masuk dan tertulis, "Lo belum tidur?"
Gadis itu langsung bangkit untuk duduk dengan fast respon dia mengetik balasan, “ada apa?”
Centang dua baru saja berubah warna menjadi biru seketika cowok itu melakukan panggilan suara dan bercerita tentang rasa sakit hatinya hingga berjam-jam mereka berbicara, dengan Rain yang menjadi pendengar setia. Mendadak teleponnya terputus, hening hanya di temani rintik hujan yang mulai turun tanpa ucapan selamat tinggal dari cowok itu dan saat itu sudah pukul 05 pagi.
Rain tersenyum kecut pada dirinya sendiri yang rela mengorbankan jam tidur demi mendengarkan lelaki yang dia cinta bercerita tentang orang yang dia suka. Konon katanya orang-orang yang masih terbangun di waktu semalam itu adalah para manusia yang sedang patah hati atau jatuh cinta. Dan Rain benar-benar mengakui itu, Rain telah jatuh cinta dengan sosok dia yang patah hati.
Rain masih ingat, kemaren siang awan hitam yang pekat kembali pecah menurunkan ribuan rintik hujan ketika langkah kakinya mensejajarkan dengan kedua kaki Kevin.
Berdiri berdampingan dengan Kevin yang tiba-tiba bergumam, "Ckk, hujan lagi. Sialan."
"Gak suka hujan?"
"Gak. Ribet banget."
"Jangan merutuki hujan."
Alis Kevin terangkat seakan tersirat tentang pertanyaan "Kenapa?" tanpa suara.
"Hujan itu ciptaan Tuhan yang paling ikhlas. Dia tetap membasahi bumi tanpa terkecuali. Gak peduli apakah seisi bumi berterima kasih atau justru menghujat."
Cowok itu hanya diam mendengar filosofi dadakan dari mulut gadis yang katanya suka hujan. Tapi beberapa detik kemudian, kedua matanya menatap gelisah pada titik temu kedua orang lima meter di depannya yang tengah mencoba menerobos menentang hujan berpayungkan ransel hitam milik si cowok.
Rain bisa melihat tatapan terluka yang membuncah dari kedua manik Kevin.
"Rasanya masih sama. Masih sesakit kemaren." Gumamnya yang masih bisa di dengar oleh Rain.
"Lo gak sendirian, Kev. Kita terluka bersama." Balas Rain dengan gumaman pula. Kevin menoleh melirik embun di mata Rain yang hampir menetes. Dia tahu gadis ini ikut terluka melihat dirinya yang terluka.
Bagaimana Rain tidak terluka, ia tahu rasanya ketika melihat seseorang yang di suka tengah mencintai orang lain. Rain merasakan itu ketika Kevin menatap Jessy, dan Kevin juga terluka ketika Jessy hanya menatap Rafael. Mereka sama, Rain dan Kevin sama-sama terluka di tengah derai hujan yang membasahi luka mereka siang ini.
"Kenyataannya, gue gak seikhlas hujan yang rela jatuh berkali-kali."
Perkataan Kevin yang terakhir menjadi akhir bagi kilas balik pikiran Rain tentang siang itu. Rain menghela napas dengan tubuh yang terasa sakit akibat tidak tidur semalaman, ia paksa menyeret kedua kaki ke kamar mandi. Menyegarkan pikiran dan juga tubuh dengan guyuran air dingin tidak begitu buruk menurutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember, hujan, dan lukanya
Teen FictionDia yang berpulang ketika hujan datang. *** (Sejak awal memutuskan untuk mencintainya, maka ia telah bersepakat pada semesta untuk menciptakan luka.) Kevin itu batu, sementara Rain air. Batu jika ditetesi air terus-terusan, lama-lama akan berlubang...