16. Senyum Manipulasi

49 9 0
                                    

•••••

Embusan angin awal Maret menyapa kulit dengan lembut. Kemilau matahari menyelip dari sela dedaunan pohon yang terdengar berisik akibat ulah angin yang terlalu usil.

Rain, dengan mata terpejam sambil berbaring di atas kursi taman sekolah. Tepat di bawah pohon beringin rindang menikmati hangatnya sang surya yang diam-diam menyinari wajahnya yang sengaja ia tutup dengan sebuah buku.

Suasana masih pagi, pukul 10.05 saat ia memutuskan berlari ke taman belakang ini.

Seseorang mengusiknya. Merebut buku di wajahnya kemudian melihatnya sekilas.

"Masih mencari tau cara pergi ke Mars?" Tanya Kevin. Matanya kembali sibuk mengamati sampul buku berjudul "Menjelajah luar angkasa" itu.

Rain bangun, memberi ruang untuk Kevin agar duduk bersisian dengannya.

"Enggak. Aku suka aja baca tentang alam semesta."

"Lagian kalo aku mati di Mars siapa yang mau ngubur jasadku?" Lanjutnya.

Kevin merengut tak suka. Lantas menyentil dahi Rain pelan. "Jangan ngomong seenaknya."

"Gak pengen ke kantin?" Kevin kembali bertanya.

"Kepalaku agak pusing. Kantin berisik banget."

Setidaknya saat ia ingin bertenang, kantin yang membludak bukanlah pelarian yang tepat untuk ia sambangi.

"Rooftop?" Tawar Kevin lagi.

"Enggak. Disana panas kalo jam segini." Tolaknya dengan suara lembut.

Kevin menurut saja, kemudian mengeluarkan sesuatu dari kresek yang ia bawa.

"Ini makan dulu."

"Burger?"

"Hmm, burger daging sapi."

"Makasih." Senyumnya melengkung dalam, menyambut burger yang Kevin sodorkan.

Matanya menatap kagum wajah tampan dengan sikap lembutnya hari ini. Sejak desember lalu mengenal sosoknya, sudut ibukota menjadi semakin menyenangkan, sekaligus menyedihkan.

Awalnya ia ragu, namun akhirnya ia tetap menikmati gigitan demi gigitan pada tumpukan roti berisi daging dan sayur itu.

"Rain."

"Hmm." Sahut Rain di sela kunyahannya.

"Dari satu sampai seratus, angka berapa yang kamu suka?"

Rain mengernyit atas hal random yang Kevin pertanyakan barusan.

"Boleh pilih lebih dari satu?" Tanya Rain.

"Boleh."

"Hmmm, tiga."

"Terus?"

"Enam belas, kayaknya."

"Alasan kamu milih angka itu?"

Desember, hujan, dan lukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang