•••••
Rafael bisa merasakan sedikit gelisah di hati kecilnya ketika melihat bangku itu masih kosong padahal kurang lebih sepuluh menit lagi suara bel dari loud speaker di sudut kelas akan mengudara tanda jam pelajaran pertama di mulai. Begitu pula gadis berambut panjang di samping bangku itu yang nampak duduk tenang dan diam tidak bergerak sedikitpun padahal isi kepala cewek itu tengah ribut-ributnya.
Mereka sama-sama punya pertanyaan yang sama, "Rain kemana?"
Terhitung sudah dua hari Rain pindah ke sekolah ini semua masih baik-baik saja. Ini aneh tidak biasanya, maksudnya di hari ketiga ini bocah tengik Rafael sama si insecure Savana belum melihat batang hidung si Rain. Sebelum ini, Rain tipe murid yang disiplin waktu bahkan pagi-pagi sebelum murid yang lain datang dia sudah nangkring di bangkunya seraya menarikan pulpen di atas buku entah apa yang dia tuangkan dalam bentuk kalimat.
"Woy ce es lo kemana? Gak masuk?" Rafael menyentak lamunan Savana sembari menendang mejanya sampai-sampai dagu Savana jatuh dari sanggaan tangannya. Ini sih kebiasaan Rafael kalau nanya layaknya rentenir yang lagi nagih hutang.
Sebelum menjawab, Savana sempat menyoroti Rafael lumayan tajam, "Biasa aja dong Mas, jangan kayak Hulk lagi ngamuk."
"Jawab aja ngapa sih gak usah ngomel. Cepetan jawab!"
"Rain? Mana gue tau."
"Lah lo kan temennya?"
"Emang harus banget ya gue tau kabar dia dua puluh empat jam?."
Rafael mulai malas berhadapan dengan Savana. Seraya melirik jam tangan, dia kembali buka suara mengubah topik pembicaraan, "Eh hari ini ada fisika? Jam keberapa?"
"Gak tau shcedule ya? Emmh ketauan nih bau-bau murid paling males yang kerjaannya molor doang. Sekolah tuh belajar cari ilmu biar berkah kayak lagunya si Wali, bukan nempel molor mulu, Maemunah." Celetukan Savana membuat Rafael semakin sebal.
"Bisa gak lo tinggal jawab aja gak usah nyerocos alias lo banyak bacot, anjirrr. Apa tadi Maemunah? Lo tuh cucu Abrahah." Balas cowok itu menggebu.
"Ish lo tuh ya tampang doang cakep tapi kelakuan kayak dakjal, mulut lo pedes kayak sambal mie ayam di kantin Mbak Tuti. Nyesel gue mah ngefans sama lo, nih bakal gue unfoll instagram lo. Demi apa gue gak bakal mleyot lagi liat muka ganteng lo." Savana bergegas merogoh ponsel di saku dan membuka aplikasi instagram, tanpa sadar cowok itu sudah melipir berlari keluar kelas meninggalkan dia yang masih sibuk dengan ponsel kesayangan bercase gambar Kim Taehyung itu.
Menurut Rafael, tidak akan ada habisnya jika meladeni si cerewet Savana. Seketika kaki panjang itu berhenti berlari tepat di depan kelas Kevin dan Jessy. Matanya menatap lekat seseorang yang sedari tadi dia cari tengah menghentikan langkah pula tepat dua langkah di hadapannya.
"Lo gak papa?" Rafael dengan dahi sedikit mengkerut mempertanyakan hal itu ketika sedetik lalu dia melihat wajah itu sedikit pucat.
"Gue gak papa." Sahut cewek itu cepat. Namun di dalam hati dia meringis menahan sakit yang tidak ingin di perlihatkan pada orang lain, apalagi manusia sejenis Rafael.
"Tapi jidat lo luka." Pungkas Rafael ketika dia mulai sadar ada goresan luka disana yang di aliri darah nyaris menetes jika saja tidak ada alis bak busur panah yang menghalangi cairan merah itu meluncur mengenai kelopak mata yang sedikit memerah dan berembun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember, hujan, dan lukanya
Teen FictionDia yang berpulang ketika hujan datang. *** (Sejak awal memutuskan untuk mencintainya, maka ia telah bersepakat pada semesta untuk menciptakan luka.) Kevin itu batu, sementara Rain air. Batu jika ditetesi air terus-terusan, lama-lama akan berlubang...