•••••
Malam mulai meninggi dan hening masih setia menemani dua orang yang terjebak oleh pikiran masing-masing. Hanya terdengar deru napas yang membuat hening itu sedikit berirama.
Kata orang, diam adalah bentuk manipulasi paling hebat dari bentuk rasa kecewa. Tapi hati itu bersifat rahasia hingga pemiliknya pun kadang tidak benar-benar memahami apa maunya. Sensitif itu pasti dan kecewa itu luka, maka jangan heran jika sedikit saja bongkahan kecil itu tergores, butuh waktu lama untuk pulih.
Kedua mata Rain menerawang jauh menembus kaca mobil yang ia tumpangi. Lampu-lampu malam beserta orang-orang yang menghabiskan malam di alun-alun kota membuat perasaannya sedikit membaik.
"Kamu marah?" Tanya Kevin akhirnya setelah beberapa lama mereka saling diam.
Rain segera memalingkan wajah ke arah Kevin di bangku kemudi.
"Enggak." Kilah Rain. Mau marah pun rasanya percuma. Tidak akan merubah apapun.
"Dari kecil aku udah sahabatan sama Jessy. Dia emang gitu orangnya, suka main seenaknya di kamar aku." Ujar Kevin memberi penjelasan.
"Malem-malem? Mama kamu gak marah?" Tanya Rain agak meninggi.
"Marah kalo ketahuan kayak tadi." Sahutnya meringis. Ia ingat betul waktu tadi mama mencegatnya sebelum menaiki mobil untuk mengantar Rain pulang. Bisikkan mautnya masih terngiang di telinga hingga sekarang, "mama belum selesai sama kamu ya!" . Desisan mama cukup ampuh membuat Kevin merinding.
Rain pun hanya bisa menghela napas berkali-kali. Bagaimana pun hal itu tak bisa ia terima begitu saja. Harusnya Kevin tahu diri kalau dia sudah punya pasangan dan tidak perlu sebegitunya dengan Jessy apalagi berlindung di balik kalimat, "dia sahabat aku."
"Kamu beneran gak marah nih?" Ulang Kevin.
Sial, Kevin masih juga tak peka.
"Enggak."
"Waktu Jessy ulang tahun, aku pernah masuk kamar dia pas tengah malam cuma buat ngasih dia kue. Tapi waktu itu aku gak kasih dia kado apa-apa." Kenangnya pada tanggal 24 Desember lalu. Masih tak peka akan keadaan hati perempuannya yang lumayan berantakan.
Rain diam dan makin menunduk mendengarnya. Ada ujung baju yang kini ia pegangi erat untuk menahan emosi.
Bahkan, orang yang mengaku menyukai hujan pun lama kelamaan akan berteduh. Karena pada akhirnya yang kita sukai pun bisa menyakiti.
"Kalo nanti kamu ulang tahun, kamu mau kado apa?"
Rain menggeleng sambil berkata, "Gak pengen apa-apa."
"Cuma pengen sembuh. Boleh gak sih, Tuhan?" Lanjutnya dalam hati sembari menahan matanya yang mulai berembun.
Entah kenapa suasana malam berubah menjadi melankolis bersamaan gerimis dalam hati Rain. Untuk pertama kali baginya menikmati malam di tengah hiruk pikuk ibu kota dengan suasana semenyedihkan ini.
"Kamu kenapa?" Tanya Kevin saat melihat perubahan raut wajah Rain yang begitu kentara.
"Gak papa." Selalu begitu jawaban Rain. Ah bukannya itu memang sifatnya semua perempuan. Tentang tidak berarti iya dan sebaliknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Desember, hujan, dan lukanya
Novela JuvenilDia yang berpulang ketika hujan datang. *** (Sejak awal memutuskan untuk mencintainya, maka ia telah bersepakat pada semesta untuk menciptakan luka.) Kevin itu batu, sementara Rain air. Batu jika ditetesi air terus-terusan, lama-lama akan berlubang...