•••••
Akibat kalimat yang keluar dari mulut guru matematika beberapa hari lalu, siang ini Jessy akhirnya memutuskan pergi ke perpustakaan.
Herannya saat itu, di tengah pelajaran bab limit fungsi trigonometri yang membuat otak mengepul tanpa basi-basi beliau berkata, “coba deh kalian pergi ke perpustakaan. Disana ada novel karya Buya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Cuma ada satu disana, sampulnya agak usang, beberapa helai halaman mungkin sudah copot, cuma isinya begitu mengagumkan sebab di rangkai oleh diksi-diksi indah meski menyayat hati.”
Sumpah itu merupakan salah satu momen langka dimana guru matematika yang seriusnya power full mendadak kalem demi membahas sebuah novel yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan trigonometri.
Dalam hati Jessy tuh begini, “anjir apaan sih gak nyambung.”
Namun ia punya opini, beliau cuma ingin memberi saran agar muridnya bisa merefresh otak atau setidaknya memberi jeda agar jangan gila dulu sebelum kembali di briefing dengan rumus-rumus fungsi x.
Jika sudah begini maka siaga satu di pertemuan berikutnya pasti di hajar habis-habisan oleh ulangan harian tidak tertulis alias lisan. Sampai-sampai Jessy merutuk dalam hati, “Bener-bener gak ngotak, mana ada ulangan matematika secara lisan.”
Selanjutnya, remedial massal tidak akan terelakkan karena kesalahan otak yang entah sengaja atau tidak, di setel rendahan oleh Tuhan.
Jessy sempat ragu, namun tak berselang lama ia menemukan rak dengan jejeran buku non akademik. Sebelumnya ia kira perpustakaan sekolah cuma menyediakan buku-buku pelajaran ternyata disini juga banyak tersedia novel berbau roman-roman picisan.
“Anjir, sekolah gue keren juga.” Serunya dengan antusias penuh.
“Hmmm—mana ya? Tenggelamnya kapal—.” Suaranya sempat terhenti akibat mata yang sibuk menjelajah isi rak di hadapannya.
“Ohhh ternyata ngumpet disini.” Gumam Jessy lagi ketika sudah menemukan. Tapi sayang buku itu letaknya terlalu tinggi seperti harapan Kevin pada dirinya. Tidak bisa di gapai begitu saja tanpa effort apa-apa.
“Oke, tenang aja gue pasti bisa.” Ujarnya lagi sembari berjinjit dan sesekali melompat tinggi.
Beberapa kali percobaan tidak berhasil sampai dimana ia mulai menyerah, sebuah tangan dengan entengnya meraih buku tersebut. Kemudian menyerahkannya pada Jessy.
“Yang ini kan?”
“Kevin, sejak kapan lo disini?” Ia balik bertanya tanpa melupakan buku yang kini sudah berpindah tangan.
“Baru aja. Oh iya, lo sendiri?”
“Iya. Mau baca ini.” Tangannya mengacung memperlihatkan sampul depan buku berwarna biru itu.
“Kalo gitu gue temenin ya. Tapi gue mau cari bahan bacaan dulu.”
“Oke, gue langsung ke meja aja. Dekat jendela ya!”
“Sip, ntar gue nyusul.”
Setelahnya Jessy menghilang di antara labirin rak di sudut perpustakaan itu. Duduk di sebuah bangku berhadapan dengan jendela yang terbuka dengan sebuah meja panjang menjadi pembatas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember, hujan, dan lukanya
Teen FictionDia yang berpulang ketika hujan datang. *** (Sejak awal memutuskan untuk mencintainya, maka ia telah bersepakat pada semesta untuk menciptakan luka.) Kevin itu batu, sementara Rain air. Batu jika ditetesi air terus-terusan, lama-lama akan berlubang...