•••••
Lambat laun, waktu bisa mengubah sebuah cerita bahkan banyak hal lainnya. Mendekati dua bulan sejak kejadian itu, Rain sengaja membiarkan dirinya semakin berjarak. Berada dalam atmosphere yang sama, saling tatap namun tidak saling sapa.
Rain terlanjur jauh melarikan diri. Hingga bulan berganti Juni, bahkan perpisahan serta acara pensi sekolah terlampaui begitu saja tanpa kesan apa-apa.
Ratusan pesan mungkin sudah ia abaikan, tak sedikitpun ia beri ruang. Rain mungkin bisa memaafkan namun terlalu sulit jika harus melupakan bentuk kecewa yang ia dapat dari Kevin. Terlalu banyak hingga ia tak tau bentuk kecewa mana yang membuatnya diam dan kembali dalam kesepian.
Kamar Savana kembali menjadi tempat persembunyiannya. Di sudut ruang yang lumayan besar itu, ponselnya beberapa kali berdering nyaring.
Bising yang membuat Savana mengomel sejak tadi karena acara rebahannya jadi terusik.
"Ckk, angkat aja kenapa sih." Sungutnya kesal melihat Rain yang lagi-lagi mengabaikan benda miliknya itu.
"Males. Gue silent aja kali ya." Sahut Rain dengan posisi badan tengkurap di atas kasur besar itu.
"Ngapain coba lo ngehindar kayak gini?"
"Gue cuma mau kasih dia waktu buat renungin semuanya. Biar dia paham kalo berjuang sendirian itu gak enak."
"Dari awal emang lo yang tolol sih."
"Tau gak, move on dari seseorang yang belum sempat jadian itu paling susah. Gak segampang itu buat pindah ke hati yang lain.”
"Dan itu yang lagi cowok lo rasain. Lihat Kevin sekarang, dari awal kayaknya emang dia belum sepenuhnya lupain Jessy deh. Mungkin lo bisa aja miliki raganya, cuma gue yakin banget hatinya masih ketinggalan di orang lama."
"Dan lo dengan entengnya nerima dia waktu dia nembak lo. Yang dimana lo bisa aja cuma dijadiin pelampiasan buat dia lupain Jessy. Sakit banget jadi lo, Rain.”
"Punya hati jangan klemer-klemer, nyet. Secinta-cintanya sama cowok, tetap aja logika nomer satu. Jangan cuma perasaan doang yang di andelin."
“Selamat deh, lo berhasil buat gue tertampar sama realita.” Jawab Rain sambil mendesah.
“Syukur kalo lo sadar.” Celetuk Savana lagi.
Kalau sudah si cerewet bersabda, Rain mana bisa mengelak. Ia mendadak bisu dan mengakui sendiri bahwa ia memang bodoh.
•••••
Masih di bulan Juni, tiga anak manusia tengah asik menikmati tongkrongan mereka. Ketika hampir magrib beratapkan senja juga pemandangan dedaunan pakis yang melambai tertiup angin petang.
Di atas meja kecil bundar, tiga cup kopi disertai sepiring angkringan menemani obrolan mereka.
"Jadi, kalian udah fiks milih sastra inggris?"
"Sayangnya iya. Kemaren gue pikir-pikir Savana itu cocok jadi psikolog tapi dia kekeuh gak mau."
Rio tertawa nyaring, sambil mengejek ia menyahut, "cocok darimananya? Yang ada pasiennya bakalan kabur semua. Orang dia mah galak bener jadi manusia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember, hujan, dan lukanya
Teen FictionDia yang berpulang ketika hujan datang. *** (Sejak awal memutuskan untuk mencintainya, maka ia telah bersepakat pada semesta untuk menciptakan luka.) Kevin itu batu, sementara Rain air. Batu jika ditetesi air terus-terusan, lama-lama akan berlubang...