•••••
Di lorong-lorong rumah sakit tak pernah ada kata menyenangkan. Sekat antara harapan dan keraguan hanyalah setipis benang. Di rumah sakit, wajar jika ada beberapa pasien dan keluarganya menangis ketakutan.
Hawa dingin mengantarkan tiap langkah Rain ke arah ruangan yang ia tuju. Bertegur sapa sebentar dengan Dokter Anna yang sudah ia kenal belakangan ini. Sosok yang terlihat masih muda itu tersenyum dari tempat duduknya. Menyambut kedatangan pasien spesialnya dengan penuh gembira.
Melakukan konsultasi, pemeriksaan fisik juga pemeriksaan tambahan lainnya. Lumayan menghabiskan waktu lebih dari satu jam.
"Kondisi kamu gak lebih baik dari terakhir kita ketemu." Ujar Dokter Anna memulai perbincangan mereka.
Rain hanya diam sembari menghela napas kasar. Perkataan Dokter Anna barusan sudah ia tebak jauh-jauh hari.
"Tolong diperhatikan lagi ya. Jangan banyak pikiran. Stres berkepanjangan bisa jadi pemicunya."
"Baik, Dok."
"Bagaimana dengan saran saya?"
Rain tampak berpikir lama.
"Jangan bilang kamu belum memikirkannya." Terka Dokter Anna ketika melihat raut Rain yang tampak bimbang.
"Masih bisa nunggu kan, Dok? Setidaknya sampai saya lulus dulu." Sahutnya penuh negosiasi.
Dokter Anna bisa maklum, diusianya yang masih remaja wajar jika Rain sedikit keras kepala.
"Bisa. Tapi kamu juga harus prepare dari sekarang. Sesekali ikut treatment dulu sebagai bentuk awal dari progres penyembuhan. Selain itu, saya terus pantau kamu dengan beberapa obat yang akan saya resepkan sehabis ini." Jelas Dokter Anna panjang lebar.
Jika boleh jujur, rasanya Rain sudah mulai bosan dengan beragam obat yang diberikan Dokter Anna beberapa bulan ini. Namun ia tetap mengangguk mengiyakan. Ia belum mau menyerah hanya karena bosan, toh bosan itu manusiawi.
"Seberapa besar persentasenya?" Tanya Rain penasaran.
"Fifty fifty."
Mendengar jawaban itu membuat Rain menyandarkan punggung pada kursinya. Dokter Anna bisa melihat air muka Rain berubah tak menyenangkan.
"Ingat pesan saya. Kuncinya jangan sampai stres. Tetap jaga pola makan juga jangan kelelahan."
"Saya udah hampir gila, Dok." Jujur Rain blak-blakan.
"I know. Jangan terlalu memikirkan banyak hal. Apalagi tentang asmara, cinta belum terlalu penting di usiamu sekarang. Isi masa muda kamu dengan terus belajar, belajar memaknai hidup misalnya. Coba dulu dengan menikmati hidup!"
"Saya udah lupa caranya menikmati hidup."
"Let its flow. Jalani seperti air mengalir saja. Kamu hanya perlu menerima dan berdamai dengan dirimu sendiri."
Rain tak mempunyai kalimat lagi untuk membalas argumen tersebut. Bahkan kalau dipikir-pikir, perkataan Dokter Anna ada benarnya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember, hujan, dan lukanya
Fiksi RemajaDia yang berpulang ketika hujan datang. *** (Sejak awal memutuskan untuk mencintainya, maka ia telah bersepakat pada semesta untuk menciptakan luka.) Kevin itu batu, sementara Rain air. Batu jika ditetesi air terus-terusan, lama-lama akan berlubang...