•••••
Bangunan sekolah itu sebenarnya tidak begitu luas, hanya didesain dalam bentuk bertingkat-tingkat. Akan tetapi, mencari seseorang di tempat ini agak membuatnya pesimis. Sejak tadi ia kesulitan menemukan keberadaan targetnya.
Meskipun dibarengi dengan keluhan, netranya tetap memindai setiap sudut sambil terus berjalan.
Kadang ia mendekati beberapa siswa-siswi yang bisa ia tanyai. Namun, beberapa jawaban membuatnya mengembuskan napas serta melemaskan bahunya.
Harapan terakhir dari beberapa tempat yang ia tuju adalah bagian rooftop yang selalu sepi. Dan berhasil, disana ia menemukan seseorang yang sedang duduk sendirian.
Di lihatnya gerombolan meja dan kursi rusak kian bertambah jumlahnya dari yang terakhir kali ia kesini.
"Ternyata kamu disini."
Suaranya membuat perempuan itu tersentak dan menoleh sesaat kearahnya.
"Ngelamunin apa sih?"
Perempuan itu masih terus diam. Menghilangkan eksistensi dirinya yang berdiri di tempat itu.
"Hey, masih marah sama aku?" Ia kembali bertanya sambil memegang kedua bahu perempuan itu agar tidak menghindar dari tatapannya.
Perempuan itu, Rain terpaksa mendongakkan kepala. Membuat tatapan mereka berada dalam satu garis lurus dalam durasi yang cukup lama.
Kevin menatap wajahnya penuh rasa bersalah dan iba. Ada lebam membiru disana, tepatnya dibagian rahang kiri.
Tangan besar itu mengusap pipinya pelan, membuat Rain tanpa sadar memejamkan mata. Menikmati sentuhan lembut itu disana. Jarang-jarang Kevin bersikap manis begini.
Kebanyakan perempuan kalau lagi marah atau sedih, dia senang menyendiri. Diam seribu bahasa, tidak suka di tanya-tanya dan berubah menjadi manusia paling dingin. Hatinya jadi lebih sensitif, dan hanya bisa luluh dengan perkataan atau perlakuan lembut.
Kevin mengeluarkan obat berupa gel dari saku celana. Ia mengoles gel itu ke wajah Rain perlahan-lahan menggunakan ujung jarinya. Mengobati memar di wajah Rain dengan penuh ke hati-hatian. Sesekali meniupnya agar mudah menyerap di kulit.
"Maaf ya! Aku beneran gak sengaja. Kalo kamu marah, kamu boleh teriaki aku kayak biasanya. Tapi, please! Jangan diemin aku kayak gini lagi!"
Bibir Rain masih terkatup rapat, ia bingung harus bersikap bagaimana. Orang kalau sudah kelewatan marah itu biasanya cuma bisa diam. Karena kalau dia ngomong pas masih emosi, kata-kata yang bakal keluar dari mulutnya itu bakal uncontrolled.
"Aku beneran gak ngeh kalo kamu bakal nekat ngehalangi aku kemarin itu. Niatku cuma mau nonjok Rafael eh tiba-tiba..."
"Aku marah bukan karena itu." Rain menyela penjelasan Kevin.
Dan Kevin mengerut bingung.
"Kamu tau aku gak suka kamu balapan kayak gitu. Bahaya, Kev. Kamu lupa?" Suara Rain jadi lebih tegas karena bercampur amarah.
"Aku peduli sama kamu tapi kamu malah seenaknya kayak gitu. Kamu anggap aku apa sih? kamu ngelakuin hal yang gak aku suka itu artinya kamu gak ngehargain aku. Kalo nanti aku udah gak mau debat lagi, acuh sama kamu, udah gak larang-larang kamu lagi, jangan salahin aku karena saat itu aku udah gak mau peduli lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember, hujan, dan lukanya
Genç KurguDia yang berpulang ketika hujan datang. *** (Sejak awal memutuskan untuk mencintainya, maka ia telah bersepakat pada semesta untuk menciptakan luka.) Kevin itu batu, sementara Rain air. Batu jika ditetesi air terus-terusan, lama-lama akan berlubang...