•••••
Suasana pagi di atas puncak terasa dingin dan menentramkan. Kabut indah menyelimuti setiap sudut dataran pegunungan. Begitu mengagumkan karena mungkin saja jelmaan negeri khayangan ini merupakan sentuhan spesial dari Tuhan. Setiap jengkalnya diciptakan dari serpihan-serpihan taman surga.
Embun pun menetes lambat dari ujung dedaunan. Riak air sungai yang mengalir menjadi background yang kian menambah syahdu suasana.
Pantas saja tempat yang membuat manusia menyatu dengan alam selalu berhasil menghadirkan rasa syukur pada setiap jiwa yang resah, bahwa kenyataannya mereka bisa menjadi sekuat yang sekarang.
Perempuan dengan syal cokelat di lehernya itu menghirup dalam-dalam harumnya pepohonan berpadu aroma secangkir kopi hangat di genggaman tangannya. Bahkan hangatnya terasa hingga relung jiwa karena di nikmati bersama kekasih tercinta. Ralat saja, kekasih dadakan sebenarnya.
Kicauan populasi burung yang mengudara kalah merdu jika dibandingkan dengan irama detak jantungnya yang bertalu indah didalam sana.
Di ambilnya ponsel hitam dari saku jaket, dengan tersenyum ia abadikan potret seseorang yang tengah menyeduh dua buah cup pop mie goreng berlatar belakang sungai dan pegunungannya.
Lega ia luahkan pada semesta yang begitu cepat mengubah semuanya. Jika kemaren ia merasakan patah, maka pagi ini semesta turut andil menciptakan euphoria dalam hatinya.
“Ngapain?” Tanya cowok itu tiba-tiba.
“Lagi bikin story. Aku tag kamu, boleh?” Tanyanya ragu.
Kevin mengangguk, “tag aja. Ntar aku repost.” Ia lalu tersenyum sembari memberikan satu cup pop mie yang sudah ia beri bumbu.
Rain kembali sibuk dengan aplikasi instagramnya sebelum menikmati sarapan sederhana itu.
“Enak?” Tanya Kevin.
“Hmmm, enak kalo kamu yang bikinin.”
“Ya jelas. Awas bisa ketagihan karena aku buatnya pake bumbu kasih sayang.”
Senyum Kevin semakin lebar dan Rain pun membalasnya. Demi Tuhan ia bersyukur saat cowok itu dengan mudahnya memberi ia senyum itu. Senyum yang dulu tak pernah ramah menyapa.
Percaya saja bahwa hati manusia itu bukanlah sesuatu yang diam. Ia mudah berubah-ubah, jika kemaren ia tak menginginkanmu ada. Mungkin saja hari ini kamu lebih dari segala yang ia ingini di muka bumi.
“Rain, lulus nanti mau lanjut dimana?”
Cewek itu menjeda suapannya, pura-pura berpikir yang jelas saja dirinya sudah tahu jawabannya. “Gak tau.”
“Loh, kenapa?”
“Belum kepikiran aja.” Jawab Rain enteng. Padahal hatinya mulai tak tenang, matanya memandang jauh ke depan.
“Kurang lebih dua bulan lagi kita ujian, masa kamu belum kepikiran.”
“Soalnya aku gak yakin. Kamu tau sendiri kondisi ekonomi keluargaku bagaimana.” Rain tersenyum kecut.
Ada yang lebih deep dari perihal itu. Cowok di sampingnya ini tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya saat ia tidak bisa mewujudkan harapan. Tidak bisa menggapai cita-cita selayaknya anak-anak muda di usia mereka. Karena Tuhan memang tidak memberinya izin untuk sekedar membuka jendela-jendela masa depannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/274880567-288-k489687.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember, hujan, dan lukanya
Teen FictionDia yang berpulang ketika hujan datang. *** (Sejak awal memutuskan untuk mencintainya, maka ia telah bersepakat pada semesta untuk menciptakan luka.) Kevin itu batu, sementara Rain air. Batu jika ditetesi air terus-terusan, lama-lama akan berlubang...