•••••
Biasanya pagi hari antara bulan Januari sampai Februari tidak begitu menyenangkan. Kegiatan-kegiatan outdoor menjadi sedikit terganggu, jalanan basah dan becek akibat hujan di pagi hari.
Berbeda saat memasuki bulan April hingga Juli cuaca mulai bersahabat. Jarang-jarang hujan turun di tengah malam hingga ke pinggiran subuh.
Pagi hari di bulan April kini cukup manis disambut suhu hangat dan alami di atas 15° Celcius. Matahari tanpa ragu mengintip dari bagian timur belahan bumi. Embun di dedaunan pohon yang berjejer di pinggir jalan menguap lebih cepat dari biasanya.
Hal ini membuat hari Rain ketika berangkat sekolah jadi lebih asyik dari pagi-pagi bulan sebelumnya. Namun kabar buruknya saat memasuki bulan ini, Ujian Nasional tengah di depan mata. Cuma tinggal menghitung hari. Tanpa persiapan yang matang tentu saja membuat dirinya disambangi khawatir berlebihan.
Terlalu sibuk meratapi hidup hingga melupakan sisi kehidupan yang lainnya juga tidak di benarkan dalam aturan hidup di dunia ini.
Raganya hampir hanyut tenggelam dibawa arus melodi musik yang selalu menemaninya. Selain kopi, senja, hujan dan buku, dirinya juga sangat mencintai musik.
“Rain, cepetan!” Seru seseorang yang menepuk punggungnya sambil berlari terseok-seok menuju kelas mereka.
“Astaga, Rafael.” Umpatnya meneriaki laki-laki tersebut. Karena jujur ia benar-benar kaget. Jantungnya hampir tergonjang-ganjing.
“Jam berapa ini?” Rain menilik jam tangannya. “Mampus.” Ia menepuk jidat kemudian meluncur bebas mengikuti jejak Rafael. Headset yang sedari tadi terpasang anggun ditelinga ia renggut dan ia jejalkan asal ke dalam tas.
Tiba di muka kelas ia sempatkan meringis sebentar sebelum benar-benar masuk.
“Good morning, Maam.” Sapa Rain kikuk pada Mrs. Nelly guru bahasa Inggris yang tengah menatapnya tajam. Tubuh Rain seolah dikuliti saat itu juga.
“Morning. Tidak biasanya kamu telat di mata pelajaran saya.” Sindir Mrs. Nelly.
Tentu saja telat merupakan suatu hal langka untuk perempuan yang selalu tiba pagi-pagi hari.
“Sorry, Maam. Tadi...” Perkataan Rain menggantung begitu saja.
“Aduh, gue harus ngomong apa nih. Gak mungkin kan gue bilang tadi sepanjang jalan abis ngobrol dulu sama pohon, angin, dan teman-temannya tentang hujan yang gak jatuh pagi ini.” Gumamnya dalam hati.
“Tadi kenapa?”
“Emmm itu....macet. Iya heran aja jalanan Jakarta lebih macet daripada Malang.”
Rain bisa melihat Rafael terkekeh sambil meledek dari bangkunya disana saat mendengar jawaban aneh dari mulutnya itu. “Sialan lo.” Umpat Rain menggunakan bahasa isyarat.
“Ohhh macet ya!”
Rain mengangguk.
“Biasanya macet tidak?” Suara Mrs. Nelly naik beberapa oktaf pertanda bahwa Rain masih jauh dari kata aman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember, hujan, dan lukanya
Teen FictionDia yang berpulang ketika hujan datang. *** (Sejak awal memutuskan untuk mencintainya, maka ia telah bersepakat pada semesta untuk menciptakan luka.) Kevin itu batu, sementara Rain air. Batu jika ditetesi air terus-terusan, lama-lama akan berlubang...