BAB 5

3.4K 312 1
                                    

"Pelan-pelan aja makannya, Wi!" Ucap suara yang berjalan di sampingku. Ya, hari ini dia membelikanku es krim yang sudah dia janjikan seminggu yang lalu, saat Aku bisa menyelesaikan ujianku dengan baik. Tapi, hadiah es krim ini harus diberikan kepadaku saat Papa Yoyo terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Dengan selang-selang dan jarum infus yang menancap di kulitnya.

Ya, Papa Yoyo dilarikan ke rumah sakit setelah pingsan mendadak saat akan pergi ke Masjid. Semua orang yang ada di rumah berteriak panik. Soalnya Papa Yoyo tidak mampu bangun, namun hanya mampu memegangi dadanya yang sakit.

Hari itu juga, Papa masuk rumah sakit. Mendapatkan serangkaian pemeriksaan seperti Elekrtokardiograpi dan CT scan. Dari hasil diagnosa, Papa menderita angina pectoris atau serangan jantung mendadak. Dimana terhambatnya suplai oksigen menuju jantung.

"Enak!" Sahutku, tersenyum. "Kak Yayan, mau?!" Menyodorkan es krim yang hampir habis.

Dia menggeleng. Muram. "Wi, please deh, jangan panggil Yayan! Panggil Ray! Lebih keren!" Serunya, walau dalam situasi sedih.

"Upps. Sorry! " Aku mengangkat dua jariku.

Dia mengibaskan tangannya ke udara. Mungkin maksudnya, terserah kamu sajalah!

Hening. Dia tak bicara lagi. Hanya berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang panjang. Entah mengapa, di saat-saat seperti ini, rumah sakit begitu menyeramkan. Di saat kabar kematian begitu terasa nyata.

Mama berlari-lari mengejar kami dari arah depan. Air mata menggenangi wajahnya. Langkah kak Yayan terhenti. Seperti tahu apa yang terjadi, sesaat kak Yayan mematung. Lalu detik berikutnya berlari sekuat tenaga, memanggil-manggil Papa, histeris.

Mama segera memelukku. Berbisik, bahwa Papa sudah pergi mendahului kami. Saat itu hujan. Dan rumah sakit semakin terasa dingin dan menakutkan.

Tak ada sosok yang akan kupanggil Papa. Tak ada lagi yang akan mengajak kami jalan-jalan di akhir minggu. Lalu...lalu...bagaimana nasib Winna? Bahkan usianya baru empat tahun. Tapi, Papanya sudah tidak ada lagi.

Seketika air mataku tumpah. Di pelukan Mama, aku menangis. Suara Kak Yayan terdengar memecah keheningan malam. Waktu itu pukul satu dini hari. Di saat orang-orang masih tertidur lelap bersama hujan yang turun deras. Dan sekali lagi, aku kembali kehilangan sosok yang kupanggil Papa, menggantikan Ayah yang telah dulu pergi.

Keesokan harinya, setelah dimandikan dan disalatkan, Papa dikuburkan di pemakaman umum. Banyak yang mengantar Papa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Semasa hidup, Papa memang orang yang baik, supel, ramah dan tidak pelit. Bahkan tidal butuh waktu lama bagi Papa untuk bisa berbaur bersama tetangga. Bahkan Papa tidak pernah sungkan untuk ikut bergotong royong, mengeluarkan uangnya untuk perbaikan jalan komplek yang rusak parah.

Ya, Papa adalah sosok dermawan. Dengan kebaikannya itu, kepergiannya ditangisi oleh semua tetangga dan kerabat.

Mama terdiam di depan pusara Papa. Begitu juga dengan kak Yayan. Dia sama sedihnya seperti Mama. Diam. Itulah senjatanya kini. Bahkan berhari-hari setelah Papa pergi, kak Yayan masih tetap murung. Aku sampai harus cari cara agar dia bisa usil dan tertawa seperti dulu lagi. Tapi, selalu saja tidak pernah berhasil.

Minggu demi minggu melesat cepat, begitu juga bulan berganti bulan. Kesedihan perlahan mulai memudar. Senyum kebahagiaan kembali merekah di rumah ini. Kak Yayan sudah tidak muram lagi. Tapi semakin tambah usil. Dan dia semakin protektif kepadaku, Winna dan Mama. Seakan dia adalah penjaga kami sekarang. Hei, bagaimana bisa anak usia enam belas tahun berlagak seperti bapak-bapak? Bahkan mencuci baju dan menyetrika baju saja masih tidak bisa.

"Besok sepupu Ibu yang dari Mekkah mau datang ke sini, Wat!" Aku menguping pembicaraan Mama dan Nenek di dapur.

"Om Harun?" Tanya Mama, datar.

"Iya. Sudah lama dia tidak pulang ke Indonesia. Anaknya juga sudah tinggal di Madinah bersama Istrinya. Dia pulang karena mendengar suamimu meninggal, sekaligus rindu dengan keluarga." Cerita nenek.

Tangan Mama yang sedang menguleni tepung aci untuk dibuat cireng, terhenti. Lalu mengangguk. Sesaat kemudian terdengar bunyi cireng digoreng. Aroma wangi serta merta menguar di udara. Walau Mama bisa membuat cireng, namun Mama bukan pembuat cireng yang handal. Aku pernah memakan cireng yang kubeli saat pergi ke Bandung. Dan rasanya Masya Allah, tidak akan pernah terlupakan seumur hidup oleh lidahku.

Aku menceritakannya kepada Mama, betapa Aku ingin memakan cireng itu lagi. Tapi Mama punya cara lain, yaitu dengan membuatnya sendiri. Tetapi tetap tidak bisa menyamai cireng yang kumakan saat di Bandung. Bahkan setelah sekian kali Mama berusaha.

"Sebentar lagi Ray kelas tiga. Dia akan tamat. Apa kamu sudah bertanya dia mau kuliah dimana?" Lanjut Nenek, memerhatikan Mama.

"Belum!"

"Tanyakan itu. Bagaimana pun juga, dia anakmu, Wat. Pikirkan masa depannya."

"Ya, nanti Wat tanya. Kalau dia mau kuliah, Mas Yoyo sudah mempersiapkan biaya untuk Winna dan Rayyan. Ada di bank."

Nenek tersenyum lega. "Alhamdulillah."

"Mas Yoyo mau Winna menjadi dokter. Dan Ray melanjutkan kuliah teknik, seperti Papanya."

Nenek manggut lagi. "Kalau untuk Wirda, bagaimana?"

"Ada juga. Ibu tidak perlu khawatir. Mereka bertiga sudah punya tabungan masing-masing. Jauh-jauh hari, Mas Yoyo sudah mempersiapkannya."

"Suami yang baik, menantu yang baik, semoga Allah mengampunkan dosa-dosanya dan dijauhi dari siksa kubur." Doa nenek. Aku mengaminkan di dalam hati.

"Apa yang akan kita sediakan?!" Tanya Ibu tiba-tiba.

"Hah?!"

"Bukankah besok Om Harun datang? Ibu mau Wat menyiapkan apa?!"

Nenek terdiam. Seperti berpikir keras. Itu terlihat dari dahinya yang berkerut-kerut. "Terserah kamu saja. Yang ringan-ringan saja boleh. Mungkin sambal terasi, lalapan daun kemangi, rebusan terung, lalu ikan asin. Mungkin itu saja."

Cireng sudah selesai digoreng. "Ibu yakin, Om Harun mau makan makanan seperti itu?" Tanya Mama. Membuat dahi nenek berkerut lagi. "Lidahnya sudah menjadi lidah orang arab. Apa dia mau makan makanan sunda lagi?"

Mama meletakkan cireng ke hadapanku. Melalui tatapan matanya seakan memberitahuku ; makanlah, nak. Aku mencomot satu. Walau masih panas. Menggigitnya. Hmmm, lumayan enak. Tapi belum persis.

Nenek ikut memakan cireng. Tapi begitu mengambilnya, terlepas lagi karena cireng itu panas. Dan menatapku bingung : bagaimana bisa aku memakan dengan santai, padahal masih panas, sementara memegangnya saja nenek tidak sanggup!

Aku tersenyum di dalam hati. Karena di dalam cireng ini ada cinta Mama yang membuatnya menjadi tidak terasa panas. Aku tahu, kenapa Mama selalu saja bertekad membuatkan cireng untukku. Karena Mama ingin menyibukkan diri. Mengusir setiap kesedihan yang datang padanya.

"Walaupun tinggal di Arab, dia masih orang sunda, Wat! Pasti dia rindu makanan itu! Siapkan saja!" Titah nenek. Mama mengangguk. Tidak bertanya lagi.

######

Cerita cireng ini adalah ceritaku waktu pergi ke Bandung delapan tahun yang lalu. Waktu itu, Aku dan Mama membeli cireng yang rasanya enak sekali. Mungkin karena pertama kali kami memakannya, jadi terasa sekali nikmatnya. Yah, walau pada akhirnya, memakan cireng sudah sangat biasa sekarang.
Bukankah ketika kita memakan makanan khas suatu daerah di daerah asalnya sendiri, ada sensasi tersendiri? Dan itu yang kurasakan.

Dan sekarang setelah delapan tahun berlalu. Aku masih rindu Bandung. Bagiku, Bandung akan selalu di hati. Menjadi tempat yang paling menyenangkan dengan logat Sunda mereka yang lembut.

Phi

11/12/21

TANPA MU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang