Wajah Mama, Nenek, dan Nana seketika langsung memenuhi satu layar ponselku. Ya, kami sedang melakukan panggilan video. Begitu terhubung, ketiga orang yang kusayangi ini kontan tersenyum. Tepatnya senyum menggoda.
"Cieee, yang sudah memberikan jawaban!" Suara Nana,memggodaku.
"Apaan, sih?!" Aku tersipu.
"Rayyan sudah cerita." Mama mengambil alih. Sekarang, wajah Nana tersingkir dari layar. "Mama senang, akhirnya kamu dan Rayyan bisa saling mengakui perasaan kalian masing-masing."
"Udaaahhh, jangan lama-lama jauhannya! Segera saja tentukan tanggal pernikahan!" Jerit Nana di belakang Mama. Tidak terlihat.
Aku terkejut. "Jangan dengerin Nana, Ma!"
"Mama rasa Nana benar! Ngapain juga kalian lama-lama? Lebih cepat bukannya lebih baik? Hal yang baik, tentunya harus dikerjakan secepat mungkin bukan?" Ucap Mama menyetujui perkataan Nana.
"Tapi, Ma--"
"Nenek juga setuju, Wi! Apalagi yang harus kamu tunggu? Kamu sudah dua lima, Rayyan sudah lewat kepala tiga. Semakin ditangguh,yang ada nanti malah nggak jadi." Seru Nenek.
"Nggak baik ngomong gitu, bu!" Ralat Mama.
"Maksud Ibu tuh, bukan mendoakan mereka nggak jadi, Wat! Kamu sendiri kan tahu, sekarang mereka sama-sama jauh dari kita. Nggak ada yang memantau. Kalau mereka nggak pandai jaga diri, bagaimana?! Nah, solusinya kan, memang harus nikah secepatnya! Biar kita di sini bisa tenang juga. Nenek pernah dengar ceramah, perempuan itu nggak boleh keluar dari rumah tanpa mahramnya, Wi! Ini saja, kamu udah berapa tahun tinggal sendiri? Nggak ada yang menemani. Secara agama, kan dilarang."
Aku terdiam.
"Nenek benar, mba!" Potong Nana--lagi-lagi tanpa memperlihatkan wajahnya.
Mama tersenyum tipis. "Ya sudah, nanti biar Mama ngomong sama Rayyan. Minta dia melamar kamu secara resmi ke Mama!" Tukas Mama.
Nenek tersenyum. "Jarak dari lamaran, nggak usah sampai bulanan! Kalau perlu dua minggu kemudian langsung ijab kabul saja!" Tambah Nenek, semakin membuatku kehilangan kata-kata.
****
Setelah mengalami kemarau yang berkepanjangan, akhirnya bumi lancang kuning diguyur hujan juga. Udara yang tadinya panas menyengat, berubah adem. Aku masih sibuk memandangi laporan Narkotik dan Psikotropik di layar laptop. Mencocokkan jumlah obat yang tinggal dengan laporan di lapotop. Salah kirim, bisa pusing kepala.
Dulu saja, pernah Aku kehilangan dua tablet Clobazam 10 mg. Mencari kemana resepnya bikin kepalaku berasap. Syukurlah akhirnya ketemu. Ternyata, resep Clobazam itu ikut nimbrung bersama resep yang bukan Narkotik dan Psikotropik.
Ternyata, selain memikirkan laporan Napza, obrolan dengan Mama tiga hari yang lalu, membuatku tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaanku. Apa iya harus secepat itu menikah? Oke, Aku dan Kak Yayan memang sudah saling mengenal. Tapi bukan berarti kami harus langsung menikah juga, kan? Kalau yang ditakutkan Nenek adalah kami akan berbuat yang macam-macam, Aku rasa Nenek salah. Jika selama enam belas tahun saja kak Yayan baik Aku mampu menahan rasa, kenapa sekarang malah tidak bisa?
Aku kembali mencocokkan laporan. Setelah yakin tidak ada yang keliru, aku segera mengirimnya via email. Dan menutup laptop segera.
Di luar hujan masih awet.
Tini datang membawakan dua gelas bandrek yang di beli di salah satu kedai bandrek yang tak jauh dari Apotek. Asap putih masih mengepul di atas minuman penghangat badan itu.
"Ini, minuman untuk seseorang yang lagi galau." Ucapnya, meletakkannya di atas meja. Bersamaan dengan tangannya yang menarik kursi dan ikut duduk di hadapanku.
Aku memperhatikan Tini yang meniup minumannya.
"Jangan ditiup! Ini, pakai kertas karton saja!" Beritahuku. Walau dari dulu Aku sudah tahu, kalau tidak boleh meniup minuman atau makanan yang masih panas, kadang masih kecolongan juga. Setiap akan meniup dengan mulut, Nima langsung menegur. Aku rasa, untuk urusan yang berbau adab yang benar dalam agama, maka Nima adalah ahlinya.
Tini menerima pemberianku. "Jadi, apa yang membuat Apoteker cerewet kita ini galau?" Tanya Tini menatapku lurus. Masih terus mengipas bandrek milikku dan miliknya. Aku menghembuskan napas berat. Tini sudah tahu kalau sekarang Aku sudah menanggapi perasaan kak Yayan. Dan dia terlihat senang untuk itu.
"Keluargaku memintaku untuk segera menikah dengan kak Yayan."
"Loh, bagus kan? Memangnya apalagi yang ditunggu oleh sepasang kekasih yang dimabuk cinta kalau pernikahan bukan tujuan akhir?" Tanya Tini menatapku.
"Iya, siihh...tapi mereka memintaku menikah paling lambat sebulan lagi, Tini!!" Jeritku frustrasi. Tini terkekeh. Seakan apa yang kusampaikan ini terdengar lucu di telinganya.
Kesal, Aku menatap tajam ke arah Tini, sampai akhirnya derai tawanya berhenti.
"Maaf, ya, kak. Aku nggak maksud ngetawain kak Wi. Cuma, aku mau mengingatkan saja, keputusan keluarga kakak itu nggak salah. Mereka pasti sudah memikirkan dampak baik dan buruknya. Emm, begini deh! Aku kasih satu cerita buat kak Wi, biar kakak lebih yakin." Tini mendekatkan tubuhnya lebih dekat ke arahku. Terdiam sejenak. "Aku punya kakak yang usianya delapan tahun di atasku. Sewaktu dia dilamar kekasihnya, usiaku masih remaja saat itu. Mereka sudah saling kenal sejak sekolah menengah pertama dan berlanjut hingga mereka bekerja. Saat kekasihnya melamar, kakakku malah terlihat ragu. Tidak yakin. Padahal selama ini dia sering cerita ke Mama kalau dia beruntung punya pacar sebaik kekasihnya. Hingga, saat tanggal pernikahan sudah ditentukan, undangan pernikahan sudah disebar, tiba-tiba kakakku memutuskan untuk tidak mau menikah. Coba kak Wi bayangkan betapa kacaunya keadaan saat itu?! Mamaku sampai pingsan karena punya riwayat hipertensi. Semua Pariban, Tulang, Namboru, ompung, menghujat kakakku. Apalagi dari keluarga laki-laki. Kakak pasti pernah mendengar bagaimana keras dan lantangnya orang batak berbicara. Begitulah pihak laki-laki mencaci maki keluarga kami. Sampai...orang-orang jadi tahu seperti apa tabiat keluarga kami. Padahal yang berbuat satu orang. Tapi yang kena getahnya seluruh keluarga kami."
Tini mengambil napas. "Kakakku malu, dan memutuskan pergi dari rumah. Merantau ke Jakarta. Tapi, sepeninggal kakakku, ada satu hal yang tidak pernah dia tahu. Bahwa setelah kegaduhan yang dia buat, tidak ada lagi yang datang ingin melamar adik-adik perempuannya yang lain. Takut akan diperlakukan sama seperti calon suaminya dulu. Dan yaah, walau jodoh itu tidak harus satu suku, kakakku yang lain menikah dengan orang dari suku lain. Seperti suku Jawa misalnya."
"Jadi inti dari ceritaku ini, jangan terlalu ragu kalau kakak sudah yakin dengan perasaan kakak. Cepat atau lambat waktu pernikahan, dia pasti akan datang juga. Kalian akan melaluinya juga. Dan ya, satu lagi. Kita nggak pernah tahu hati seseorang. Bisa saja perasaan yang selama ini menggebu-gebu, menjadi biasa saja atau hambar karena salah satu pihak merasa sudah tidak diinginkan lagi."
Tini meneguk habis bandreknya. Menatapku lurus. "Apalagi..., kadar kegantengan kak Yayan kak Wi itu melebihi kegantengan oppa-oppa Korea. Siapa saja bisa suka sama dia. Jadi, dari pada kakak sibuk memikirkan kenapa harus menikah cepat, lebih baik pegang erat-erat calon suami kakak itu. Ingat kak, perempuan cerdik banyak sekarang. Mereka bahkan nggak malu mengejar duluan."
Aku terdiam.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
TANPA MU✔
ChickLit[SELESAI] Apt. Wirda Wati, S. Farm telah merantau sangat jauh, demi meninggalkan keluarganya, terutama Nenek. Semua berawal dari kedatangan sepupu nenek dari Arab, yang membuat hubungannya dengan kak Rayyan Fikri atau yang biasa dia panggil Kak Yay...