Malam telah beranjak pekat. bahkan bunyi tiang yang dipukul setiap satu jam pergantian waktu sudah berdenting dua kali. tapi selama itu, mataku masih belum mau terpejam. Aku hanya menatap langit-langit kamar sembari memeluk si burger yang warna orangenya mulai memudar.
"Kamu mau dibawakan apa? sanjai, karak kaliang, kalamai, beras rendang?" tanya kak Yayan sambil mengantarkanku pulang ke kos. waktu itu azan maghrib sudah berkumandang. Aku sudah berdiri di depan pagar kos, yang dilatari wajah penasaran bapak sekuriti.
Aku berpikir. "Kalamai sama beras rendang saja. eh, emang kakak mau balik ke sini lagi? katanya dari Padang langsung terbang ke Jakarta!" beritahuku, berharap dia akan memberikan jawaban yang membuatku senang.
"Ya Allah, Wi! kita hidup di zaman apa, sih? kan ada ekspedisi yang bisa mengirimkannya?!atau...kamu mau Aku yang datang langsung mengantarkannya?!" tanyanya dengan nada biasa saja. tapi dasar hati, mengapa di sekitarku Aku malah melihat warna merah jambu yang berkeliaran?.
AKu bergeming. "Ya sudah, masuklah! maghrib. ini, tolong berikan ke bapak sekuriti itu" menyodorkan plastik putih berisi sate Padang yang sengaja dibelinya tadi. masih panas. Aku menerima plastik itu, mengangguk. Kak Yayan membalikkan badan, masuk ke dalam mobilnya.
Aku segera memberikan bungkusan itu ke tangan bapak sekuriti. beliau tersenyum senang dan mengucapkan terima kasih.
Aku mengambil ponsel yang kusimpan di atas nakas. Membuka aplikasi pesan dan membaca pesan yang dikirimkan kak Yayan enam jam yang lalu. Aku berangkat, Wi. kamu hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa kabari Aku. begitulah isi pesan itu, dan sungguh itu membuat hatiku melambung bahagia. Seakan hanya pesan dari kak yayan yang mampu membuatku bahagia selamanya.
Hari-hariku beranjak seperti biasanya. selama empat hari di Padang, selama itu pula Kak Yayan tidak mengabariku satu pesan pun. Entah berapa kali Aku melihat ponsel di dekatku. berharap satu pesan darinya nyempil di ponselku. tapi rasanya semua itu hanya anganku belaka. Jika selama enam belas tahun dia mampu tidak mengabariku, maka empat hari belum apa-apa baginya. seketika Aku merasa bahwa hanya Aku yang terlalu memupuk hatiku untuknya. Sementara dia tidak.
Atau memang dia hanya menganggap Aku seperti adiknya? tapi, jam tangan itu, kedatangannya yang tiba-tiba ke sini, bukankah itu sudah bisa menjadi bukti bahwa Aku ini sangat penting baginya?
Iya, penting sebagai adik, Wirda! jangan terlalu kegeeran! coba saja kamu buka media sosialnya, bisa saja dia sudah memiliki seseorang yang lebih dari kamu?! memangnya kamu tidak pernah tahu enam belas tahun itu berapa lama?! apa kamu yakin dia tidak bertemu perempuan lain yang lebih baik dari kamu?!
"Kalau rindu, kirim pesan saja, apa susahnya, sih?!" suara Tini menginterupsi pikiranku. segera Aku menutup ponselku.
"Siapa yang rindu?!Aku hanya khawatir!" ucapku, jelas sekali bohongnya. Tini terbahak.
"Sejak kapan Aku jadi anak kecil yang mudah dibohongi, Kak?! jelas sekali tindak tanduk kakak itu menjelaskan seperti apa perasaan kak Wi!" belanya.
"Berdoa saja kak! kalau memang dia jodoh kakak, AllAh pasti akan segerakan!" tahu-tahu Nima juga ikut nimbrung.
"Cinta gak cukup hanya dengan berdoa, NIma! butuh aksi yang nyata!" sungut Tini.
"Benar! Tapi dengan tidak mengirim pesan seperti itu. terus bilang rindu, gitu?!" balas Nima tak mau mengalah.
Tini menggelengkan kepalanya. " Kamu itu lebih polos dari yang kuduga ya, Nima! selama ini kamu pernah bergaul dengan lawan jenis nggak, sih?! ya nggak harus frontal gitu dong, bahasanya! ntar kelihatan dong, murahannya kak WI!'
"Enak aja murahan!!" Aku menyela tak suka. Tini menangkupkan kedua tangannya meminta maaf.
"Kan bisa tanya kabar dulu, cerita yang lain dulu--"
"Terus bilang rindu, gitu?!"
"Ya, Tuhannn...kamu itu ngerti makna tersirat nggak sih? dulu bahasa Indonesia kamu berapa, sih?! kok nggak ngerti juga?!"
"Enam! kenapa emang?!" tantang Nima, mulai kesal.
"Ohh, pantas!!" ejak Tini senang. "Tapi bisa lulus juga di Farmasi, ya?!bukannya kalau Farmasi selain hitungan harus paham juga dengan bahasa-bahasa terselubung, karena kita akan belajar memahami soal-soal dan jurnal-jurnal?"
Aku yang melihat situasi yang mulai memanas, segera menengahi mereka. "Kalian bukannya akur malah doyan banget berantam! lagian, ini urusanku, kok kalian berdua yang senewen, sih?!" ucapku kesal. Nima dan Tini langsung diam. tapi masih saling lirik-lirikan. Heran, kenapa mereka berdua bisa bertemu dalam satu shift, sih?.
Tanpa melanjutkan debat kusir yang tidak jelas itu, Tini dan Nima memisahkan diri. Kembali bekerja. Aku mengambil posisi duduk di ruang racik, sambil menunggu waktu pulang.
Iseng, kubuka media sosial. Membuka kolom pencarian, mencari nama Nana dan melihat siapa saja yang diikutinya. Yah, sejujurnya Aku hanya ingin memeriksa apakah kak Yayan sudah update statusnya, karena pernah sekali aku stalking akun medianya--setelah Nana mengirimkanku screenshoot fotonya ke ponselku--hanya satu foto yang diposting di sana. Tidak ada lagi. Aku rasa kak Yayan bukan tipe laki-laki yang suka mengumbar kehidupannya di media sosial. Terbukti yang diikutinya tidak ada, dan yang mengikutinya hanya...dua!
Tunggu! Dua? Aku mengklik tulisan followers di bagian atas. Nama Nana dan nama perempuan lain tertera di sana. Aku mengklik nama perempuan itu, dan terpampanglah akunnya yang tidak digembok. Dan yang membuatku sesak adalah, tepat dua hari yang lalu, perempuan itu tengah memposting foto dirinya, bersama beberapa teman-temannya yang lain di sebuah restoran. Di antara teman-temannya itu, duduk kak Yayan di samping perempuan itu. Tersenyum, ikut menghadap kamera.
Bagus! Berarti sudah jelas Aku yang terlalu berharap dan menganggap kak Yayan punya perasaan lebih kepadaku. Padahal Aku hanya memeluk angin. Kak Yayan tidak pernah punya rasa padaku selain rasa sebagai seorang kakak kepada adik. Bukankah dulu dia pernah bilang, dia sudah punya adik, tanpa perlu harus diberi adik lagi?! Jadi, kenapa Aku yang kegeeran?!
Ayo, sadarlah Wirda. Kenapa gampang sekali terhasut oleh rasa yang tidak seharusnya kamu miliki?! Kembalikan saja semua ke pengaturan pabrik. Toh selama ini, kamu baik-baik saja kan, walau enam belas tahun tanpa tahu kabar dari kak Yayan? Jadi, ayo lakukan itu sekali lagi!
Apalagi, kalaupun perasaanku dibalas, apa mungkin nenek akan menerima hubungan kami?! Jelas-jelas dulu nenek mengusir kak Yayan. Sampai sekarang pasti juga begitu. Dan mengenai kak Yayan, apa dia mau memaafkan perbuatan Nenek yang telah mengusirnya dari rumah?!
Kami berdua jelas akan terhubung dengan hubungan yang sangat kusut dan susah untuk diuraikan. Dan mungkin, akan banyak hati yang tersakiti.
######
KAMU SEDANG MEMBACA
TANPA MU✔
ChickLit[SELESAI] Apt. Wirda Wati, S. Farm telah merantau sangat jauh, demi meninggalkan keluarganya, terutama Nenek. Semua berawal dari kedatangan sepupu nenek dari Arab, yang membuat hubungannya dengan kak Rayyan Fikri atau yang biasa dia panggil Kak Yay...