BAB 8

3.1K 309 0
                                    

Mungkin karena sudah masuk akhir tahun, bumi lancang kuning, memang lebih intens diguyur hujan. Beberapa aktivitas sedikit terhambat, meski tidak begitu memengaruhi masyarakat di sini. Yang lebih menjengkelkan tinggal di sini adalah, ketika Aku harus berhadapan dengan kabut asap yang memedihkan mata, menyumbat pernapasan. Tiga tahun menetap di sini, Aku selalu berhadapan dengan situasi yang sama, setiap tahun, berulang-ulang.

Setiap kali kabut asap datang, maka setiap kali juga akan ditemukan orang-orang yang membeli dan memakai masker. Menjual masker seakan menjadi sebuah hoki, dan pemilik Apotek akan menyetoknya sebanyak mungkin.

Jangan pikir itu kabut asap biasa. Itu adalah kabur asap yang membuat jarak pandangmu mejadi terhambat, aktifitas terganggu, dan sekolah terpaksa harus diliburkan.

Lalu, doa-doa minta diturunkan hujan, semakin sering terdengar.

Tapi, setelah musim hujan datang, maka kabut asap itu akan pergi. Berganti dengan cuaca yang kembali cerah, dan geliat ekonomi kembali datang.

"Kak Wi, sebentar lagi awal tahun baru, gak kerasa, ya?!" Suara Nima di belakangku, menginterupsi lamunanku. Menatap hujan dari dinding-dinding kaca Apotek selalu menyenangkan. Terlebih melihat orang-orang di jalan berhamburan mencari tempat berteduh.

Aku mengangguk. "Iya." Tapi tidak mengalihakan tatapanku dari melihat hujan.

"Gak rindu rumah, kak? Kulihat tiga tahun di sini, kakak gak pernah pulang!" Tanyanya, seketika membuatku menoleh.

"Perhatian sekali kamu, Nima!" Seruku. Nima tertawa. "Tiket pesawat mahal, Nima!" Elakku. Walau nyatanya, Aku selalu menyisihkan gajiku untuk ongkos pulang ke sana. Rindu tidak ada yang tahu. Tiba-tiba Aku ingin pulang, lalu tidak punya biaya, apa aku harus mencari pinjaman dulu?.

"Kak Wi, bisa aja! Aku saja yang di sini, dan dulu pernah kuliah di propinsi tetangga, selalu mengusahakan pulang setiap liburan semester! Tapi kakak, ckckc! Apa kota ini sudah membuat kakak lupa darimana kakak berasal?" Gurau Nima, membuatku mencebik.

"Mungkin! Siapa yang tahukan? Kali saja jodohku ada di sini!"

"Hahaha, aamiinn....! Aku turut senang kalau begitu." Kami tertawa bersama. Berbicara dengan Nima selalu menyenangkan. Dia seperti anak gadis yang menjelma menjadi orang dewasa yang terlihat banyak pengalaman.

"Atau, kalau kak Wi berkenan, Aku bisa mengenalkan seorang pemuda untuk kakak." Tambahnya, menganggap serius perkataanku.

"Ayolah, Nima. Aku cuma bercanda! Aku belum ada niat untuk menikah tahun ini."

"Gak boleh ngomong begitu, kak! Nanti malah nggak nikah-nikah baru tahu!"

Aku mendengus."Jangan sampai! Aku tidak mau kalau tua nanti hidup sendirian!" Seruku. Nima mengulum senyum.

"Oke, oke. Terserah kakak saja! Apapun asal yang terbaik!" Nima berlalu pergi, karena ponselnya berbunyi. Aku kembali menatap hujan ke arah luar. Sebuah mobil berhenti tepat di depan Apotek. Tapi, si pengemudi atau orang yang berada di dalamnya tidak berniat turun. Lama juga mobil itu berhenti di sana. Kupikir orang yang memang sengaja berhenti karena ada yang tengah meneleponnya.

Mengabaikan mobil itu, Aku kembali menatap hujan. Tetesan hujan yang tadi deras, sudah mulai mereda. Aku menghela napas. Ah, Aku kangen Nana. Semenjak pesannya tempo hari, Aku ataupun dia belum bertukar kabar lagi. Mungkin Nana sibuk mempersiapkan ujian tulis dan ujian prakteknya. Sebentar lagi dia akan mendapatkan gelar sarjana Kedokterannya.

Ingin menghubunginya, aku takut menggganggu. Pasti dia tidak akan punya waktu untuk melayaniku.

Tanpa kusadari, pintu mobil di depan Apotek terbuka. Lama sampai pengemudinya turun menginjak tanah. Hujan telah reda. Aku berniat masuk ke dalam, mengecek obat-obat yang kurang dan mengisi stok, memeriksa laporan Napza, dan mengecek email, siapa tahu ada pertemuan atau seminar yang harus diikuti untuk mengumpulkan SKP.

Aku bersiap memanggil Nima untuk menggantikan posisiku di depan saat bunyi pintu Apotek di dorong, dan langkah kaki mendekat. Aku memutar wajah, dan mendapati orang yang memenuhi pikiranku akhir-akhir ini telah berdiri di depan etalase, dengan penampilan yang lebih rapi. dia mengenakan kaos lengan pendek dan celana tiga perempat. Rambutnya di sisir ke belakang, membuat semua dahinya terlihat.

Teringat pertemuan kami beberapa hari yang lalu, dan dia tidak mengenalku, Maka Aku mencoba untuk tidak mengenal dirinya juga. Walau kutahu, detak jantungku telah berpacu lebih cepat saat pertama kali melihatnya.

Tak ada yang bicara. Aku dan dia sama-sama bungkam. Aku menghela napas pelan. Tidak bisa begini. Aku harus profesional. Anggap saja dia pembeli, dan layani dia seperti melayani pembeli lain.

Baiklah kalau begitu. Semangat Wirda!

"Mau beli apa, Pak?" tanyaku, menyembunyikan suara yang bergetar. kalau tempo hari dia tidak mengingatku, maka sekarangpun pasti tidak. Jadi tidak ada yang perlu ditakutkan. Aku melangkah lebih dekat. Bermaksud agar bisa leluasa melayaninya kalau-kalau dia ingin konsultasi masalah obat.

Hening lagi. Aku menunggu. "Pak!" panggilku. Lama-lama bosan juga melihat tingkah pembeli yang seperti patung ini. "Ada yang bisa saya bantu? bapak keluhannya apa? mungkin saya bisa memberikan beberapa obat."

"Apa kabar, Wi?!" sukses satu kalimat tanya itu menghantamku. meremukkan pendirianku yang sedari tadi coba kubangun. 

"Yaa--?" Aku mencoba tidak terpengaruh. "Bapak tadi nanya Saya?!" AKu pura-pura bodoh, dan memandangi sekitar. Seakan menganggap dia sedang bicara di telepon dengan seseorang, dan kebetulan saja suaranya meninggi dan terdengar olehku.

"Sudah lama kita tidak bertemu. maaf, di perjumpaan kemarin, Aku tidak mengenalmu. Waktu itu badanku sedang tidak sehat. Dan batuk ini mengganggu sekali!" cerocosnya tanpa jeda. Sekarang, Aku yang kebingungan. Apa yang harus kulakukan? tersenyum dan balik bertanya: Kak Yayan?! kabarku baik. kakak apa kabar?! atau, berpura-pura lagi, menganggap tidak mengenalnya padahal hatiku ingin?.

"Senang bertemu lagi denganmu, Wi! adik kecilku!" Maka jangan salahkan Aku, jika akhirnya rencana-rencana yang memenuhi ruang kepalaku, buyar begitu saja. Tanpa dapat kucegah, senyumku mengembang demi mendengar kalau dia senang berjumpa denganku. Dia masih mengingatku, meski telah belasan tahun kami tidak berjumpa. Sekali lagi, jangan salahkan AKu jika hati ini seketika jadi berbunga, saat dia menyebutku adik kecilnya.

"Baik. Kabarku baik. Kak Yayan apa kabar?" tanyaku spontan. Lupa dengan segalanya.

Lalu...

"Hei, jangan panggil Aku Yayan! panggil Aku Ray! itu lebih keren!" serunya, membuat kami tertawa bersama. Kuharap NIma tidak mendengarnya. Tidak masalah jika Nima tidak keluar sekarang. Lanjutkan saja meneleponnya, Nima. Aku tidak masalah. Bahkan Aku tidak masalah jika harus berjaga sendirian di sini. Khusus hari ini, karena Aku sedang bahagia.

Aku bertemu lagi dengan Kakakku yang telah lama hilang.

Kak Yayan atau Rayyan Fikri, kalau-kalau itu bisa membuatnya senang dan terlihat keren.

######

TANPA MU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang