Bab 23

2.5K 249 4
                                    

Pesan dari Tini dan Nima datang setelah Nana mengantarkanku pulang ke rumah. Di rumah ini, semua kenangan kembali berkumpul menjadi satu. Masa kecilku, masa Nana lahir, masa kak Yayan pergi dari sini, hingga masa-masa Aku yang pergi dari rumah.

Tini
Bagaimana keadaan nenek kakak?
Yang sabar dan tabah ya, kak. We always support your desicioun

Nima
Allah selalu bersama orang yang sabar, kak Wi! Jangan pernah lupa meminta pertolongan dari Allah, yaaa. Doaku selalu bersama kakak.

Tini dan Nima, mereka adalah teman yang baik. Bersyukur Aku mengenal mereka di perantauan. Meski hampir lima tahun menetap di Padang. Pindah ke ibukota provinsi tetangga, setidaknya membuatku merasa tidak sendirian. Mereka yang banyak mengenalkan kepadaku tentang kota yang masih asing di telinga. Terlebih dari cara bicara masyarakat yang campur aduk. Ada batak, melayu, Padang, hingga jawa. Semuanya berbaur menjadi satu.

Aku membalas pesan mereka berdua.
Aku kepada Tini.
Alhamdulillah baik, Tini.
Iya, terima kasih banyak ya. Aku tahu, kamu akan selalu mendukungku. Glad to know you as my partner.
Lalu kepada Nima.
Iya, Nima. Itu pasti.
Terima kasih untuk doa dan dukungannya.
Kabari Aku kalau ada kendala, ya?!

Layar ponsel menghitam, bersamaan dengan langkah kaki Nana yang masuk ke dalam kamar sambil membawakan teh hangat. Kamar ini dulunya adalah kamarku. Tapi sekarang sudah menjadi kosong, karena tidak ada yang menempati. Nana pulang hanya jika libur atau senggang. Sehingga selalu terbiar seperti ini.
“Mama selalu mengganti seprainya dan membuka jendela setiap hari, mbak! Kalau sedikit sumpek, mungkin karena beberapa hari ini jarang dibuka.” Nana berjalan ke arah jendela. Lalu membuka jendela itu lebar-lebar. Cahaya matahari sontak masuk ke dalam kamar. Mengusir bau apek yang tadi sempat tercium.

“Ayo, ceritakan tentang kota di sana, mbak! Kata Mas Ray, kotanya sedikit berdebu. Apa benar?” Nana bertanya antusias.
Mas Ray?
Aku mengulum senyum. “Semua kota pasti berdebu, Na! Kecuali pegunungan!” sahutku.

“Ah, yang benar mbak?! Berarti gak jauh berbeda dong, dengan di sini?!”

Aku mengangguk lagi. “sudah tidak menangis lagi kuliah di kedokteran, Na? Ku lihat sekarang kamu terlihat berbeda!” Aku memegangi hijab Nana.

“Suka gak suka, harus tetap dijalankan, kan, mbak?! Sama seperti mbak yang pergi dari rumah! Suka gak suka, kami di sini harus bisa menerima, kan?!” tatapnya, tepat menusuk ke dalam mataku.

Aku meringis. Lalu mengalihkan pandangan ke arah jendela. Dan kemudian menyisir isi kamar yang tidak jauh berbeda dari yang kutinggalkan delapan tahun yang lalu. Masih kasur yang sama. Lemari yang sama. Mungkin hanya gorden, karpet dan hiasan di dinding saja yang berubah. Aku berjalan ke arah pajangan di dekat lemari. Sulaman bergambar bunga mawar. Tertulis namaku di sana. Beserta tanggal lahir.

Aku menatap Nana. “Mama yang bikin. Hasil dari ikut kegiatan PKK bersama ibu-ibu di sini! Sepertinya Mama kangen berat sama mbak, sampai-sampai hanya mencantumkan nama mbak di sana!” seperti memahami kenapa Aku menatapnya. Lalu Nana berjalan ke samping. Ke arah lemari. Membuka lemari itu dan mengeluarkan isi di dalamnya.
“Kalau yang ini, Nenek yang buat!” Nana menyerahkan syal rajut untuk dililitkan ke leher. “Aku juga dibuatkan! Lihat!” Nana memperlihatkan miliknya. Tersenyum. “Percaya gak sih, mbak! Kadang rindu bisa membuat orang lebih bersemangat untuk menciptakan sesuatu—padahal itu sulit—demi orang yang disayanginya. Dan Aku rasa, Nenek masuk kategori itu! Bayangkan, seusia nenek, merajut?! Aku saja yang sudah diajarkan berkali-kali tetap saja tidak nyangkut di kepala! Rasanya lebih mudah menghapal anatomi tubuh dan melihat cadaver daripada merajut, mbak!” kekehnya.

Aku mengelus syal rajut berwarna biru dicampur dongker itu dengan hati miris. Meski sudah tua, nenek begitu berghairah merajut syal ini. Kuyakini Nenek harus mengingat polanya berulang-ulang agar tidak salah. Ditambah lagi dengan kacamata yang senantiasa bertengger di hidungnya.

TANPA MU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang