Bab 25

2.9K 259 2
                                    

Besok, Aku akan kembali ke kota tempatku mencari rezeki. Tak banyak barang yang akan kubawa. Hanya satu tas ransel, dan beberapa oleh-oleh untuk dibawa ke sana nanti.

Pintu kamar diketuk dari luar. Aku yang sedang duduk di tepi ranjang, bergerak membuka pintu. Wajah Mama dan Nenek menyapaku.
“Kamu berangkat besok, Nak?!” Mama melirik tas milikku.

“Iya, Ma.” Jawabku.

Mama mengangguk. Menatapku dalam. Wajahnya diliputi kesedihan. Seperti juga wajah Nenek. Mereka seakan tak rela dengan kepergianku.

“Maafkan Nenek, Wi! Nenek tidak pernah berniat membuat kamu sedih. Apa yang nenek lakukan, itu semata demi kebaikan kalian berdua!”

Aku menggenggam tangan nenek. “Nenek ngomong apa, sih? Aku gak marah sama Nenek. Selama ini, Aku memang egois karena merasa aku lah yang paling menderita. Tapi, setelah kupikir lagi, seharusnya Aku sadar, seorang Nenek tidak akan pernah mau mencelakakan cucunya.” Jawabku diplomatis. “Aku yang seharusnya meminta maaf. Setelah enam belas tahun, baru sekarang Aku berani meminta maaf. Sungguh, kalau dipikir, Akulah cucu dan anak yang durhaka!” aku menunduk.

“Kami hanya ingin kamu tumbuh menjadi perempuan yang baik, Wi. Seandainya, Nenek tidak meminta Ray pulang ke Bandung, dan tetap mempertahankan dia bersama kita. Mungkin tidak akan seperti ini ceritanya.” Ucap Mama. “ kalian mungkin akan sangat dekat dan tak terpisahkan. Siapa yang tahu apa yang ada di hati manusia? Bagaimana kalau Ray menyukai kamu, atau sebaliknya? Apa ada yang menjamin kalian bisa mengontrol nafsu? Dunia ini penuh dengan tipu daya setan. Sekecil apapun kesempatan untuk berbuat dosa, setan akan selalu mencari cara untuk menjerat seorang hamba ikut bersama mereka.” Mama mengelus pipiku.

Aku bergeming. “Nenek tidak pernah mengusir Ray seperti yang kamu pikirkan. Nenek tidak sejahat itu sampai harus menelantarkan anak dari Suami Mamamu. Yoyo, adalah laki-laki baik. Dan Nenek tidak pernah ingin menelantarkan anak beliau.” Ucap Nenek.

Aku mengangguk. Sangat paham dengan apa yang Nenek lakukan itu. Semuanya hanya bermuara pada satu tujuan. Demi kebaikanku. Ah, Aku jadi teringat ucapan Tini yang mengatakan, pasti ada alasan di balik semuanya. Dan ternyata Tini benar. Kuakui gadis itu bisa melihat dari sisi yang berbeda. Tidak sepertiku yang langsung memvonis saja.

“Lalu, kenapa tidak Nenek coba katakan saat Aku masih di sini, Nek? Setidaknya, aku tidak akan sejahat ini, sampai harus pergi dari rumah.”

“Mama sudah berusaha untuk mengatakan padamu, Nak! Tapi apa kamu pernah memberi kami kesempatan? Kamu masuk pesantren, dan saat liburan lebih memilih tinggal disana. Lalu, kamu melanjutkan sekolah di Bogor. Kamu juga tidak memberikan kami kesempatan. Kalau pun pulang, kamu hanya diam di dalam kamar. Tidak mau berbicara sedikitpun . Hingga kamu merantau jauh ke seberang pulau. Mama menyerah. Tapi Mama selalu berdoa, semoga suatu hari nanti, kamu akan tahu bahwa semua ini adalah demi kebaikanmu, demi kebaikan Ray juga.”

Aku memeluk Mama. “Maafkan Aku, Ma! Maafkan! Kupikir, Aku yang menderita. Pada dasarnya, Akulah yang egois.!”

“Setidaknya, semua sudah selesai sekarang. Mama lega, akhirnya kita tidak perlu lagi menjalani hidup dengan perasaan yang tidak tenang.” Mama melepas pelukanku darinya. Menatapku untuk sesaat. Lalu tersenyum.

“Kenapa, Ma?” Aku bertanya. Kulihat Nenek juga ikut tersenyum.

“Selama tinggal di sana, apa ada laki-laki yang tertarik sama kamu Wi? Maksud Mama, apa Kamu punya seseorang yang kamu sukai?!” bibir Mama membentuk senyum menggoda.

“Mama bicara apa, sih?! Mana mungkin Aku bisa memikirkan laki-laki lain, kalau hari-hariku saja sibuk memikirkan kalian!” dengusku. Mama tertawa. Nenek juga.

“Jadi kamu tidak pernah menyukai laki-laki di sana? Duh, Mama pikir, kamu akan bercerita dan curhat sama Mama tentang orang yang kamu sukai. Sungguh kasihan Mama, punya dua anak perempuan, tapi tidak pernah curhat urusan perasaannya sama Mama. Lihatlah adikmu itu. Jangankan bicara soal laki-laki. Kalau pulang ke rumah, yang dibacanya hanya organ-organ tubuh manusia saja!” Mama terlihat berpura-pura kesal. “lama-lama yang ada di isi kepalanya itu hanya darah, jantung, arteri, vena.” Mama menyebutkan apa yang dipelajari Nana secara Awam.

“Nana kan, calon dokter, Ma! Ya wajar saja jika itu yang ada di kepalanya!” belaku.

Mama tertawa mengiyakan. Lalu hening lagi. Entah bagaimana terjadinya. Tiba-tiba Mama menangis lagi. “Mama gak mau kamu pergi, Wi! Baru sebentar saja, kamu sudah akan meninggalkan kami lagi!” air mata Mama jatuh seperti hujan deras. Aku menatap Mama serba salah.

“Maa—“ panggilku. “Walau Aku jauh, Mama tetap bisa kok, telponan atau video call sama Aku. Kalau selama ini Aku menolak, sekarang nggak akan lagi, Ma. Kalian berdua bebas mau telepon Aku kapan saja. Dan...” tak terasa air mataku ikut tumpah. Aku juga tidak sanggup untuk meninggalkan mereka. Terasa berat setelah semua kekisruhan ini terselesaikan. Apalagi melihat tubuh tua renta mereka yang tidak sama lagi seperti delapan tahun yang lalu, saat Aku meninggalkan mereka. “Dan kalau ada cuti nanti, Aku pasti pulang.” Ucapku dalam tangis yang tak bisa kubendung.

****

Mama dan Nenek tidak mengantarkanku sampai ke bandara. Mereka hanya bisa menangis menatap mobil yang membawaku pergi sambil berangkulan berdua.

“Kalau ada libur, pulang ya, Mbak!” suara Nana yang duduk di sebelahku, kembali menyadarkanku. Ya, Nana yang akan mengantarkanku sampai ke bandara. Aku mengangguk. “Kasihan Mama dan Nenek. Kita bertiga tidak pernah benar-benar ada untuk mereka. Baik Aku, mbak, maupun Mas Ray!” Nana menyebutkan nama terakhir orang yang belum sempat kutemui sebelum berangkat. Setelah kedatangannya ke rumah Nenek tempo hari, baik Aku dan kak Yayan belum bicara apa-apa pun lagi.  Aku juga tidak berharap dia maupun Aku membereskan masalah ini. Toh, semuanya juga sudah selesai. Aku lega karena akhirnya Aku bisa meminta maaf pada Mama dan Nenek betapa egois dan durhakanya Aku kepada mereka.

“Ngomong-ngomong, soal Mas Ray, mbak sudah tahu belum sama perempuan yang disukai Mas Ray?”

Pertanyaan Nana membuatku yang melihat jalanan teralihkan. “Belum.” Aku menggeleng lemah.

“Cantik!” puji Nana, seakan dia sudah pernah bertemu saja dengan perempuan itu.

“Oh...ya?!” aku tidak tahu lagi, bagaimana menyembunyikan ekspresi kakuku ini. Aku mendesah. “Baguslah! Setidaknya kamu bisa punya kakak ipar yang baik.”

“Pasti, dong! Selain cantik dia juga baik. Tapi, sedikit keras kepala juga! Yah, walau itu tidak menutupi betapa menyenangkannya kalau dia menjadi kakak iparku nanti.” Ingin sekali rasanya Aku meloncat dari taksi ini, dan meninggalkan Nana. Kenapa juga Nana harus membahas perempuan yang disukai kak Yayan. Tapi, apa berani Aku meloncat dari taksi ini? Aduh, lama-lama kepalaku tidak beres juga nih.

“Mas Ray sudah pernah bilang, dia akan melamar perempuan itu dalam waktu dekat. Katanya lagi, sudah cukup untuk waktu yang dia berikan untuk dirinya dan juga perempuan itu. Lagi pula, keluarga mereka juga sudah sama-sama setuju. Dan yah..semoga mbak bisa pulang saat mereka menikah nanti. Biar kita bisa punya foto keluarga yang lengkap. Kita simpan di album kita masing-masing. Jadi, kalau ada yang rindu tinggal buka album itu saja!” ujar Nana panjang lebar. Bersemangat sekali. Apa dia tidak mengerti betapa kacaunya hatiku sekarang? Tega-teganya dia membicarakan pernikahan kak Yayan denganku?! Apa dia tidak tahu kalau Aku...cemburu?!.

Taksi berhenti tepat di depan terminal 3. Aku turun dari taksi, sementara Nana tetap di dalam. Dari Bandara Nana akan langsung ke Depok menuju tempat kosnya.

Kami berpegangan tangan. Menatap satu sama lain.

“Hati-hati, mbak! Kabari kalau sudah sampai di sana.” Ucapnya. Melambaikan tangan, taksi yang membawa Nana melaju meninggalkanku yang masih termangu di tempatku. Aku menyeret langkah menuju terminal 3 Menunjukkan tiket perjalanan kepada pegawai bandara. Lalu naik menuju lantai atas dimana semua penumpang menunggu masuk ke dalam pesawat.

Seseorang duduk di sampingku. Dengan jarak satu kursi kosong di antara kami. Aku tidak bersemangat untuk melihat siapa yang barusan duduk di kursi itu. Dari aroma parfume-nya, aku tahu kalau dia adalah laki-laki. Masih ada waktu setengah jam lagi untuk naik ke dalam pesawat sebelum dipanggil melalui pengeras suara. Kuputuskan untuk ke kamar mandi dan melaksanakan salat.

“Mau kemana?!” tanya suara di sampingku. Spontan kepalaku menoleh, mengingat hanya laki-laki itu yang duduk berjarak satu kursi denganku. Bukan masa liburan, maka ruang tunggu keberangkatan tidak begitu ramai. Dan Aku sungguh-sungguh terkejut saat kutemui siapa orang yang baru menegurku barusan. Ya, ya, kalian pasti bisa menebak siapa dia.

“Kak Yayan?!” panggilku surprise. Dia menyunggingkan senyum.

“Kaget, ya?!” tanyanya santai.

“Kakak ngapain di sini?!” keinginan untuk ke kamar mandi jadi tertahan.

“Kalau sudah berada di ruangan ini, memangnya mau kemana, Wi?”membalasku dengan pertanyaan lagi.  ”Aku juga mau ke Sumatera. Ada urusan kerja. Proyek yang ditunda kemarin, dilanjutkan lagi. Mungkin akan lama Aku berada di sana. Bisa bulanan, mungkin juga tahunan.” Jelasnya tanpa kuminta. Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sadar siapa yang memberikan jam itu, buru-buru Aku menurunkan tanganku lagi dan menaruhnya di belakang badanku.

“Kak, aku mau salat dulu. Aku tinggal gak apa-apa, kan?” tanyaku. Peduli apa kak Yayan aku mau kembali lagi duduk di dekatnya. Pembicaraan dengan Nana tentang perempuan yang disukai kak Yayan, membuatku hilang mood.

“Aku tunggu di sini ya, Wi!” beritahunya, saat langkah kakiku sudah jauh darinya. Aku meraba detak jantung yang bergerak cepat. Entah mengapa, antara senang dan kesal bisa bertemu lagi dengannya. Senang karena Aku mempunyai teman dalam perjalanan ini meski kami belum tentu sama tempat duduk atau satu penerbangan. Kesal, karena debaran ini ternyata hanya sia-sia. Kak Yayan tidak pernah menyukaiku seperti dugaan Tini. Aku saja yang terlalu berharap lebih. Diberi jam tangan saja sudah berpikiran macam-macam. Memalukan.

Aku kembali sepuluh menit sebelum suara salah satu pegawai bandara meminta para penumpang untuk berdiri di salah satu pintu, karena pesawat akan berangkat.

Di kursi tadi tidak kutemukan kak Yayan di sana. Ada rasa kecewa di hatiku. Bahkan setelah kuedarkan pandangan pun, menyisiri ruang tunggu, tak kutemukan dia. Aku menghela napas. Sedih. Itulah yang kurasakan kini. Aku berjalan memasuki salah satu pintu di mana semua penumpang yang satu pesawat denganku masuk ke sana. Kami di arahkan memasuki lorong panjang yang langsung menuju pesawat. Mencari-cari nomor kursi, aku masih berharap menemukan kak Yayan. Tapi, karena masih banyaknya penumpang yang masih berdiri dan bingung dengan tempat duduk mereka. Kuputuskan untuk duduk saja. Aku mendapatkan kursi di dekat jendela. Hal yang menyenangkan bisa melihat pemandangan dari atas nanti.

Pramugari mulai mendemokan hal yang harus diperhatikan penumpang selama dalam penerbangan. Aku masih berharap bisa melihat dan menemukan kak Yayan lagi. Tapi hampir satu setengah jam perjalanan di atas udara hingga mendarat lagi di bandara Sultan Syarif Kasim, Aku tetap tidak menemukan kak Yayan.

Seorang sopir taksi datang mendekati, bertanya kalau-kalau Aku ingin menaiki taksinya. Tanpa menunggu lagi, dan mencoba melupakan kenapa kak Yayan menghilang secara tiba-tiba di bandara tadi, Aku memasuki taksi itu. Perlahan bandara SSQ tertinggal di belakang.

Dan rasanya, Aku ingin menangis sekarang.


*****

Kami berpelukan. Aku, Tini dan Nima. Mereka surprise melihat kedatanganku. Terlebih Tini. Dia memelukku sangat erat seakan terlalu lama Aku pergi.

“Jadi bagaimana di sana? Aman?” tanya Tini begitu kami tinggal berdua. Nima sudah pulang sejak satu jam yang lalu karena dia mendapat shift pagi. Sementara Aku dan Tini, kebagian shif sore.

Aku mengangguk. “Seperti yang kuharapkan. Akhirnya Aku bisa lega karena sudah tidak ada lagi yang mengganjal di hatiku.” Jawabku.

“Tapi, kenapa wajahnya gak bahagia begitu?! Apa ada yang tertinggal?” Tini memainkan alis matanya. Turun naik. Aku tahu kemana arah pertanyaan Tini. Aku menghembus napas kasar. Tertunduk.

Tini meletakkan tangannya di pundakku. “Nangis aja kalau mau nangis, kak! Manusiawi kok! Nangis bukan berarti lemah. Itu sebagai bentuk kalau kita masih punya hati. Masih punya belas kasihan.” Tutur Tini membuat air mataku keluar begitu saja. Entah mengapa sesak yang kutahan sejak kemarin akhirnya tumpah ruah juga di sini, di hadapan Tini. Aku tidak tahu lagi harus meluahkan kepada siapa. Selain kepada Allah, aku tidak punya tempat lagi untuk berbagi. Hidup di perantauan membuatku harus kuat dan tegar. Begitulah pikirku. Tapi, melihat kak Yayan menghilang dari mataku di bandara waktu itu.  Maka makin kusadari, bahwa Aku memiliki perasaan kepadanya. Semakin kuat dari waktu ke waktu.

Aku tidak ingin dia pergi lagi. Tidak ingin kehilangan dia lagi.


****


Sebulan telah berlalu.

Pagi ini Aku mencoba tidur, seperti kebanyakan orang-orang yang memanfaatkan hari libur untuk kembali tidur setelah melaksanakan kewajiban salat. Tapi, semakin kupaksa, semakin tidak terpejam mataku. Akhirnya, kugerakkan tubuh dan melakukan sedikit peregangan. Membuka tirai jendela dan membersihkan tempat tidur. Membiarkan sinar matahari jatuh mengenai lantai kamarku.

Foto wisuda  Nana terletak di atas meja. Ditumpuk bersama buku-buku yang belum sempat kubaca. Aku menarik foto itu. Menatap tiga orang yang kusayangi sedang tersenyum bahagia di dalamnya. Ya, Nana sudah wisuda empat hari yang lalu. Dan sekarang adik tersayangku itu sedang koas di salah satu rumah sakit sebagai syarat wajib untuk bisa meraih gelar dokter.

Pintu kamarku diketuk. Dari postur tubuhnya Aku bisa melihat kalau itu adalah Caca.

“Assalamualaikum, Wi! Aku mau beli sarapan. Kamu mau titip?” tanyanya. Setiap kali melewati kamarku. Dan seperti biasa, Aku selalu menolak. Tapi kali ini sepertinya tidak.

“Waalaikumsalam. Boleh. Tapi Aku ikut, ya?!”

“Wah, boleh sekali, Wi! Sekalian saja kita makan di sana! Kamu mau sarapan apa?!” tanya Caca yang berdiri di depan pintu kamarku. Dari sekian anak kos yang tinggal di sini, Aku lebih dekat dengan Caca. Mungkin karena lebih sering bertemu juga dan kebetulan tetangga sebelah kamar.

Aku mengunci kamar, “Terserah kamu saja. Aku ngikut saja.” Jawabku.

“Bagaimana kalau makan bubur hitam saja? Sepertinya yang manis-manis sangat cocok untuk wajah seseorang yang lagi sedih.” Ucap Caca membuat Aku melipat dahi.

“Siapa yang sedih?!” tanyaku. “Kamu?!”

“Ya kamulah, Wi! Semenjak pulang dari kampung halamanmu, kamu itu bawaannya muram aja. Kenapa? Ditinggal nikah sama pacar ya?” godanya. Aku mencibir.

“kepo, yaaa?!” godaku.

“Nggak juga sih. Cuma kalau urusan begituan, kenapa harus sedih? Kalau dia memang jodohmu, mau ke ujung dunia sekali pun, dan seakan gak akan mungkin bertemu lagi. Kalau Allah yang berkehendak dan menakdirkan kalian bersama, yaa pasti akan bersama.” Ucapnya optimis.

“Memangnya siapa yang ditinggal menikah, sih? Kamu ngarang, Ca!” aku berjalan mendahului Caca. Kebetulan tempat sarapan bubur sudah berada di depan mata. Hari libur, banyak juga yang datang ke sini. Caca mengajakku duduk di salah satu bangku panjang, dimana untuk satu bangku bisa ditempati  empat sampai lima orang.

Kami menikmati bubur tanpa banyak bicara. Setelah selesai, Aku membungkuskan satu untuk bapak sekuriti. Dan kembali pulang  ke tempat kos.

“Eh, Wi! Bukannya itu laki-laki yang pernah ngantar kamu pulang, ya?” Caca menunjuk seorang laki-laki yang tengah berdiri di depan pagar, berbicara dengan bapak sekuriti.

Kak Yayan!.

Aku dan Caca mempercepat langkah. Bersamaan dengan kak Yayan yang menoleh ke arah kami. Caca menepuk pundakku. Berbisik. “ Aku duluan, ya! Sepertinya dia laki-laki yang membuat kamu gak bersemangat, ya?” godanya. Lalu melenggang pergi, mendahuluiku yang memperkecil langkah kaki.

“Nah, ini orangnya sudah datang!” seru bapak sekuriti girang. Membuat pandanganku teralihkan kepada beliau. Tanpa mukadimah, aku menyerahkan sarapan bubur itu kepada beliau, yang diterimanya dengan suka cita.

Sekarang, hanya ada Aku dan Kak Yayan. Berdiri di luar pagar.

Dia tersenyum menatapku yang berdiri dua meter darinya. Aku membalas senyuman itu dengan canggung.
“Apa kabar, Wi?” tanyanya. Sungguh pertanyaan klise menurutku. Bukankah dia sudah melihat kabarku sekarang. Untuk apa dia bertanya lagi?.

“B..baik!” jawabku pendek. Tanpa ingin tahu bagaimana kabarnya. Lama juga kami berdiri dalam mode diam begini. Sesekali Aku melirik ke arahnya, saat dia menatap ke arah lain. Dan begitu dia mengembalikan pandangannya, aku melempar tatapanku ke tempat lain. Kami sungguh seperti orang yang bermain kucing-kucingan.

“Aku minta maaf, waktu di bandara menghilang begitu saja. Ada klien yang kukenal yang kutemui di sana. Dan kami terlibat pembicaraan”. Jelasnya.

“Ya. Gak apa-apa, kak!”

“setelah sampai, Aku berniat buat menemui kamu di sini, tapi proyekku lagi-lagi terkena masalah. Jadi—“

“Kak! Gak masalah kalau kakak juga tidak datang menemuiku di sini. Aku gak marah, kok! Kakak gak perlu merasa terbebani seperti itu.” Sahutku dingin. Memotong kalimatnya.

“Kamu marah?!”

“Aku gak ada hak untuk marah.”

“Kamu punya!”

“Nggak! Aku gak punya! Lagi pula, kita bukan siapa-siapa.” Sahutku ketus. “Kakak bisa berbuat apa saja sesuka hati kakak. Lakukan saja. Dan selamat, kata Nana, kakak akan melamar perempuan tidak lama lagi. Aku turut senang! Semoga kalian lancar sampai hari H!” entah mengapa emosiku semakin tersulut. Bahkan Aku seperti tidak mengenal suaraku sendiri. Aku tidak berani menatap ke arah kak Yayan.

“Kamu tahu?” gumamnya. Terdengar takut. Hei, apakah semengerikan itu kalau Aku tahu sesuatu tentang dirinya?. Apa Aku sampai tidak sepenting itu, sehingga tidak perlu untuk diberitahu?.

“Kakak gak suka Aku tahu?” Aku balik bertanya.

“Bukan begitu. Wi.” Kak Yayan terlihat keki. Kemudian melanjutkan lagi pertanyaan. “Lalu, jawabanmu apa?”

“Jawaban apa? Memangnya penting juga jawabanku?” buruku, tanpa sempat mencerna maksud dari pertanyaannya. Namun sejurus kemudian. Aku terdiam. Tunggu! Jangan katakan kalau perempuan itu—

“Wi!” kak Yayan maju lima langkah. Memangkas jarak di antara kami. Kurasakan suaranya bergetar saat menyebut namaku. “Sebenarnya sudah lama Aku ingin mengatakan ini. Dari dulu. Saat pertama kali kita bertemu. Tapi, Aku takut, kalau perasaanku tidak berbalas. Dan Aku belum sanggup menerima penolakan. Jadi, mungkin sekarang adalah waktu yang menurutku tepat. Yah meskipun tidak sopan melamar anak perempuan orang di tempat seperti ini. Tapi, kalau tidak sekarang, aku takut tak punya kesempatan, dan kamu semakin jauh dariku.” Terdengar helaan napasnya. “Wi, kamu mau kan, menjadi satu-satunya perempuan yang terpenting dalam hidupku? Menua bersama denganku? Dan...menikah denganku?” tanyanya masih dalam suara yang bergetar. Tapi terdengar begitu meyakinkan di telingaku.

Aku tidak bisa mengontrol bibirku untuk tidak tersenyum. Aku hanya mengangguk sebagai ganti dari ucapanku. Meski raut kaget tetap tidak bisa kusembunyikan.  Kak Yayan terlihat senang, dan mengucap hamdalah berkali-kali.

“Tapi, bagaimana dengan keluarga di sana? Kalau mereka tahu—“ aku panik.

“Mereka sudah tahu!” jawab kak Yayan santai.

“Apa?!!”

“Dari dulu, Mama dan Nenek juga sudah tahu kalau Aku suka sama kamu. Alasan kenapa Nenek memintaku pindah ke Bandung, salah satunya adalah ini. Nenek takut kalau Aku tidak bisa mengontrol perasaanku ke kamu. Dan begitu juga sebaliknya. Kalau nanti kita dewasa, dan kita semakin jauh melangkah, kita akan sulit untuk dinasihati. Itu yang ada di pikiran Nenek waktu itu. Dan Aku sungguh berterima kasih, karena Nenek pernah memikirkannya.” Cerita Kak Yayan.

“Tapi kenapa tidak pernah membalas suratku dan mengabari Aku?”

“Aku minta maaf untuk itu. Tapi, sejak pergi dari rumahmu, aku sudah bertekad untuk bisa menahan diri agar tidak menghubungimu. Aku takut tidak bisa menahannya dan malah mengacaukan semuanya. Jadi kuputuskan untuk melupakanmu sementara waktu, sampai Aku benar-benar berhasil. Lagi pula, Aku harus bekerja ekstra keras, karena ada Winna yang harus ku nafkahi. Aku ingin Winna tumbuh menjadi anak yang bahagia dan tidak kekurangan secara materi.” Jelasnya membuatku termangu. “Tapi, bertemu lagi denganmu di sini, benar-benar membuatku bahagia. Aku tidak tahu apa yang membuatmu bisa sampai ke sini. Tapi, Aku bersyukur pada Allah, akhirnya Aku bisa melihat dirimu dalam versi yang dewasa. Dan itu sudah cukup untukku.”

Ponselku berdering setelah kami sama-sama terdiam. Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku.

Nana
Jadi, mbak Wi sudah kenalan dengan kakak iparku? Eh, sepertinya Aku akan punya dua kakak ipar dan dua kakak sekaligus.;)
Anyway, makasih undah menerima Mas Ray, ya, mbak. Percayalah, dia memang tipikal calon suami yang baik. Tolong jaga dia. Soalnya dia termasuk laki-laki limited edition, loh. Mbak nggak akan percaya, bahkan salah satu konsulenku saja sampai naksir dia padahal baru pertama kali bertemu.

“Siapa?” suara Kak Yayan mengalihkanku dari pesan yang baru saja dikirim Nana.

“Nana.” Jawabku. Kak Yayan mengangguk. Kecanggungan melingkungi kami. Mengusap tengkuknya, kak Yayan pamit. Dan akan menemuiku lagi, setelah semua pekerjaannya selesai.

Aku memandanginya dengan hati bahagia. Sekarang, semua keresahanku terlepas satu-satu persatu. Berganti dengan kebahagian. Dan itu semua tidak lepas dari campur tangan Allah.

*****

TANPA MU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang