Aku tidak ingin kak Yayan berpikir, Aku memanfaatkan dia. Maka, begitu keluar dari Gramedia, aku mengajaknya makan terlebih dahulu sebelum pulang. Dan sebagai gantinya, aku yang akan membayar. Dan pilihan makan siang kami hanya jatuh pada makanan cepat saji.
"Sudah lama nggak makan, makanan seperti ini." Gumam kak Yayan, disela kunyahnya. Dia memesan dua potong ayam, ditambah sup dan minuman. Sementara Aku hanya memesan satu potong ayam dan minuman berkarbonat.
Aku tak menggubris perkataannya. Sibuk dengan makanan di hadapanku. Dulu, saat kuliah, ini adalah makanan mewah bagiku, karena untuk sekali makan saja harus merogoh kantong agak sedikit dalam. Mending beli nasi Padang kelas Mahasiswa ketimbang membeli makanan ini. Sementara saat sudah bekerja, keinginan untuk membelinya sudah menguap begitu saja. Pemikiranku pun, sudah tidak terpusat untuk bisa memakan atau membeli yang lagi jadi hit atau tren.
Aku tidak pernah tergiur melihat teman-temanku, baru saja membeli tas yang harganya sekitar enam digit dan dipamerkan di media sosial. Atau jalan-jalan mewah bareng teman-temannya. Entahlah, setelah merantau cukup jauh, aku merasakan cara pandangku memaknai hidup berubah drastis. Hidup bagiku, bukan lagi demi eksistensi. Tapi bagaimana Aku bisa bahagia di dalamnya. Tentunya dengan pilihanku sendiri.
Cukup dengan makan pakai telur dadar, ditambah cabe dan sayur, lalu ada teh manis. Maka itu sudah cukup membuatku bahagia. Toh, dari makanan itu yang dicarikan, kenyangnya saja. Bukan harga, lalu malah terbuang percuma.
"Kamu melamun, Wi?!" Tegur kak Yayan, yang sudah selesai dengan makanannya. "Lihat, makananmu! Kamu sakit?! Kok lambat banget makannya?" Memerhatikan bagianku.
"Nggak, kakak aja yang kecepatan makannya! Kak yayan lapar apa doyan itu?!" Sindirku.
Dia tertawa. "Dua-duanya Wi!"
Kami keluar dari restoran cepat saji itu, setelah Aku memaksa menghabiskan makanan itu, walau perutku sudah penuh. Kak Yayan sampai menyuruhku berhenti makan, takut nanti Aku kekenyangan dan berakhir sakit perut karena begah.
"So, kita pulang?!" Tanyanya, saat kami sudah di halaman restoran cepat saji.
"Iya. Emang kak Yayan, mau kemana lagi?!" Tanyaku bingung. Dia menggaruk tengkuknya, meringis.
"Libur begini, mana enak di rumah, Wi!" Cetusnya.
"Itulah gunanya Aku ke Gramedia, kak!" Menunjukkan buku-bukuku. Bersiap memesan ojek online.
"Ya udah, biar kuantar!"
"Gak usah, kak! Aku sudah pesan ojek online!" Seruku.
"Mana, lihat?!" Kak Yayan mengambil ponselku, paksa. Lalu tangannya bermain di atas layar ponselku. "Gak di jawab, katanya full!" Mengembalikan ponselku kembali. Aku melihat aplikasi ojek online itu, ternyata sudah dicancel kak Yayan.
"Kenapa kakak cancel?!" Aku berseru kesal.
"Irit, Wi! Irit! Barusan kamu mengeluarkan uang yang lumayan untuk makan kita barusan. Seharusnya, kamu berhemat, biar bisa menabung untuk tiket pulang ke Cibinong!"
Mendengar kata Cibinong di sebut, Aku menghentikan langkah. "Aku belum niat pulang, kak!"
"Kenapa?!" Membuka pintu mobil. Dan memintaku duduk di depan. Tapi Aku memilih duduk di belakang. "Oh, jadi kamu kesal karena ojekmu Aku cancel, makanya kamu memilih duduk di belakang ketimbang duduk di depan, begitu?!"
Aku meringis. "Siapa suruh main-main batalkan sesuka hati?! Memangnya kak Yayan gak tahu, seberapa pentingnya bagi mereka menerima orderan itu, terus di batalkan begitu saja?! Mereka juga cari uang, kak! Dan mereka dapat poin dari pesanan kita. Mereka punya keluarga yang harus dihidupi, yang harus dibayar uang sekolahnya! Dan seharusnya, kak Yayan yang lebih bisa belajar simpati dengan kondisi mereka. Bukan main cancel seenaknya saja!"
Kak Yayan terdiam cukup lama di depan pintu mobilnya. Menatapku lama. Membuat Aku harus membuang pandanganku ke arah lain. Aku tidak suka ditatap seperti itu, seakan seluruh nyawaku ikut terbang.
"Wah, kamu benar-benar sudah dewasa ya, Wi!" ucapnya, lalu masuk ke dalam mobil. Aku ikut masuk, tapi duduk di kursi belakang. mobil melaju membelah jalanan.
Hening kembali melingkungi kami.
"Tadi..., kamu bilang tidak niat pulang, kenapa?!" Tanya kak Yayan, fokus menyetir di kursi depan.
"Yaaa, gak kenapa-napa!"
Hening lagi. "Sudah berapa lama?!" Tanyanya, membuat aku menoleh.
"Apa?!" Tanpa sengaja tatapan kami bertemu di kaca spion. Aku segera memalingkan wajah.
"Sudah berapa lama..., kamu..., nggak pulang?!"
Aku mulai menghitung. "Mungkin enam tahunan!" Jawabku santai.
"Selama itu?! Ngapain saja kamu, Wi? Gak pulang-pulang! Gak kangen sama Mama dan Winna?!" Serunya, seolah dia tidak tahu apa yang terjadi enam belas tahun yang lalu.
Aku menghela napas, kasar. "Lumayan!" Mana ada anak yang tidak kangen orang tuanya!
"Bulan depan, Aku ada proyek di Jakarta, kalau pekerjaan di sini selesai sesuai target. Kamu mau ikut?!" Tanyanya, seakan pulang ke Jakarta itu perkara mudah. Bagaimana dengan pekerjaanku? Lalu, apa status yang kami bawa jika pulang bersama? Kakak adik?! Jelas kami tidak punya hubungan darah. Aku bukan Wirda kecil yang selalu bisa dibawa ke sana-kemari lagi. Dikibuli lagi, dighosting lagi, lalu dikasih harapan yang pada akhirnya menghempaskanku ke jurang paling dalam.
Kami bukan Mahram. Itu intinya. Aku tidak ingin membuat kesalahan demi kesenangan yang secuil. Kalau harus berbohong, sebenarnya gampang saja. Tapi ada Allah yang maha melihat segalanya.
"Bagaimana?!"
"Gak usah, kak!"
"Ada apa sih, sebenarnya, Wi?! Kamu merantau sejauh ini saja, sudah bikin Aku kaget! Lalu, tidak pulang ke rumah setelah enam tahun! Are you kidding me?!" Kak Yayan memukul kemudi. Terlihat kesal.
Lah, kenapa dia yang marah?! Seharusnya Aku yang marah! Dia, tanpa pamit padaku malah menghilang begitu saja, membiarkanku dengan asumsiku sendiri. Aku berusaha menghubunginya saat akan pergi ke Padang, tapi tak pernah dibalas sekalipun. Dan sekarang dia bertanya, kenapa Aku bisa merantau sejauh ini?!
Apa dia mengidap demensia? Semudah itu melupakan semua yang terjadi enam belas tahun lalu?! Apa dia tidak sadar, bahwa karena dialah, Aku tidak pernah lagi berbicara dengan nenek, dan membiarkan Mama membuat cireng setiap rindu padaku?!.
Aku membiarkan dia berbicara sesukanya. Menebak-nebak sesukanya. Anggap saja balasan dariku selama ini untuknya, karena sudah membiarkanku menunggu kabar darinya.
Mobil berhenti tepat di depan pintu pagar kos. Kak Yayan membalikkan badan. "Aku akan tetap di sini sampai tahun baru, mungkin sekitar tanggal dua akan pergi ke Padang. Lalu kembali ke sini lagi. Jadi, kalau kamu butuh sopir untuk dibawa kemana saja, hubungi saja Aku!"
Aku membuka pintu mobil. "Gak perlu! Aku lagi nggak ingin kemana-mana!" Sahutku ketus. Dan menutup pintu mobil sekencang mungkin, membuat bapak sekuriti yang sedang duduk di luar posnya mengangkat kepala. Melipat dahi.
Mendorong pagar, Aku tidak menoleh ke belakang lagi. Saat di depan pintu kamar kos, barulah terdengar bunyi deru mesin mobil kak Yayan. Aku memberanikan diri melihat ke luar pagar. Sudah pergi. Bersama dengan hatiku yang ikut menangis.
######
KAMU SEDANG MEMBACA
TANPA MU✔
Literatura Feminina[SELESAI] Apt. Wirda Wati, S. Farm telah merantau sangat jauh, demi meninggalkan keluarganya, terutama Nenek. Semua berawal dari kedatangan sepupu nenek dari Arab, yang membuat hubungannya dengan kak Rayyan Fikri atau yang biasa dia panggil Kak Yay...