BAB 17

2.3K 264 2
                                    

"Untukmu!" Aku menyodorkan lipstick yang kubeli ke tangan Tini. Hasil dari menyelamatkan muka karena sudah dipandang tidak sedap oleh pramuniaganya.

"Buat apa?! Aku gak suka warna itu! Terlalu genjreng!" Tolaknya. Tak merasa bersalah.

"Salah siapa aku beli ini?!" Sungutku.

"Salah kakak sendiri! Tahu gak suka, ngapain dibeli?!" Masih tidak merasa bersalah.

Aku melorotkan bahu. Kami sudah di depan motor matic, bersiap untuk pulang. "Aku gak suka pakai ini! Kamu tahu kan, satu-satunya kosmetikku cuma bedak dan lipbalm!"

"Kasih aja ke teman samping kamar kakak! Kujamin mereka suka! Apalagi gratis!" Bersiap menstarter motor, setelah Aku ikut duduk di belakangnya.

Aku memukul pundaknya. Dia terkekeh. Lalu menekan gas sedikit dalam, sehingga motor melaju melewati jalan kecil yang d kiri kanannya dipenuhi kendaraan roda dua.

"Kak Wi mau kemana lagi?! Aku siap kok, jadi ojek!" Tawarnya di sela-sela deru angin yang membuat suaranya hilang timbul.

Jam empat. Beruntung tadi aku sudah salat. Dan sekarang badanku terasa lengket. Mata juga sedikit mengantuk.

"Pulang saja!" Jawabku pasti.

Kepala Tini tertoleh ke samping. "Pulang?! Yakin? Baru dua jam loh, kita keluar!"

"Yakin! Apalagi kalau jalan-jalannya sama kamu!" Dengusku. Tini tertawa, terlihat dari bahunya yang berguncang.

"Jangan kapok ya, kak! Lain kali akan kuajak kakak lagi kalau suntuk!" Candanya.

"Ogah! Ajak saja temanmu yang lain! Aku jangan!"

Tini mengantarkanku tepat di depan pintu pagar. Setelah melambaikan tangan, dia menghilang dari pandangan. Aku mendorong pagar. Bapak sekuriti terlihat sedang duduk menyandar dengan tangan didekap ke dada. Kepalanya tertutup oleh topinya. Mulutnya setengah terbuka. Aku rasa, beliau tidur.

Pelan, kuketuk pintu ruangan tempat dia tidur. Mungkin karena sudah terlatih isntingnya, mendengar ketukan dariku, bapak sekuriti itu langsung terlonjak. Berdiri dalam keadaan siap siaga. Aku menahan senyum.

"Ada apa, dek?!" Tanyanya begitu menyadari tidak ada yang ganjil yang terjadi.

"Untuk bapak!" Aku menyodorkan kantong plastik dengan merek sebuah restoran di Mal.

"Untuk saya?!" Ulangnya tidak yakin. Melihat berbinar ke kantong plastik itu.

"Iya! Ambil, pak! Untuk makan."

Bapak sekuriti itu menerima dengan suka cita. Dan mengucapkan terima kasih. Aku melangkah ke depan pintu kamarku. Teringat dengan paper bag berisi lipstick yang kubeli tadi. Aku tidak akan mungkin memakai lipstick ini dalam jangka yang lama, karena aku memang tidak suka berdandan.

Berjalan sekitar lima langkah, Aku mengetuk pintu teman sebelah kamar. Tak ada sahutan, hingga yang ketiga kali, barulah dia menjawab. Teman sebelah kamarku ini memiliki hobi senang berdandan. Walau tidak bekerja, dia memang selalu terlihat glowing. Dan Aku rasa, dia tidak keberatan jika Aku hadiahkan lipstick ini.

"Ya, Wi!" Pintu terbuka. Dan wajahnya menyembul dari balik pintu.

"Untuk kamu, ca!" Tanpa mukadimah, aku menyodorkan begitu saja lipstick itu ke tangannya.

"Apa ini?!" Serunya kaget. Lalu memeriksa isinya. "Aku lagi gak mau beli lipstick, Wi! Masih ada!" Beritahunya. Mendorong kembali pemberianku.

"Aku gak jual lipstick, Ca! Ini tuh, buat kamu! Kulihat, di rumah pun kamu suka dandan, makanya aku kasih kamu! Tapi pesanku satu, pakainya di rumah aja, ya?! Atau kalau kamu udah bersuami nanti!"

Raut wajah itu bingung. "Kok gitu?!"

"Iya, soalnya aku takut ikut berdosa kalau kamu pakainya di luar, terus dilihat laki-laki lain! Tapi kalau di rumah kamu, di kos, yang penting gak ada laki-laki lain selain mahram, kamu boleh memakainya! Tapiii...kalau kamu ngeyel tetap makai, sementara Aku udah ingatin, aku berlepas diri, yaaa....dosa tanggung sendiri!"

Mata Caca membola. "Begitu ya, Wi?!"

"Iya, begitu!" Jawabku.

"Oh, berarti karena itu kamu gak suka dandan ya, Wi?! Karena setiap pergi kerja, kamu polos-polos aja!" Terangnya. Berarti dia sering memerhatikanku kalau berangkat kerja.

"Begitulah!" Jawabku. Caca manggut. Lalu menerima pemberianku, dan mengucapkan terima kasih.

Aku kembali ke kamarku. Melepas hijab, meletakkan tas, dan merebahkan kepala ke atas bantal. Tidur. Lupa, kalau nanti setelah pulang dari Mal, aku akan mandi kembali.

Aku terbangun saat azan maghrib berkumandang. Merasakan sekujur tubuh terasa lengket dan gatal, aku bangun dari tidur, walau rasanya ingin sekali tetap tidur. Namun, teringat akan waktu maghrib yang singkat, kuputuskan untuk bergegas ke kamar mandi, dan mengguyur tubuhku.

Setengah jam, aku sudah selesai mandi dan salat. Sekarang gantian perutku yang keroncongan. Ternyata di Mal tadi, aku tidak begitu banyak makan, karena mendengarkan hipotesis Tini yang masuk akal. Berjalan ke arah dapur mini, Aku mengambil bungkusan Mie instan yang selalu ku setok kalau lapar melanda, sementara kaki malas untuk melangkah dan uang di tangan tinggal sedikit.

Aku melahap makan malamku dengan nikmat. Benarlah kata orang, bahagia itu sederhana. Sesederhana kita memaknainya. Bahkan hanya dengan memakan mie instan dicampur telur saja, Aku sudah bahagia. Tanpa perlu lagi membeli makanan yang lainnya.

Selesai mencuci piring yang tidak pernah banyak, Aku kembali ke atas kasur, duduk sambil meraup si bantal burger yang kudapat sewaktu menukar tiket time zone saat di Padang dulu. Ponselku menyala, pertanda ada pesan masuk. Saat melihat ada lima pesan dan dua panggilan tak terjawab dalam rantang dua jam pergi bersama Tini, Aku menyadari kalau Aku lupa membawa ponselku.

Ternyata pesan dan dua panggilan tak terjawab itu dari kak Yayan.

Kak Yayan 14: 13

Assalamualaikum Wi, apa kabar

Kak Yayan 15:07

Wi...
Kamu apa kabar?

1 missed call from kak Yayan 15:18

Kak Yayan 15:55

Wi, kamu baik-baik saja kan?
Pesan dan telepon aku kok, gak dibalas?

1 missed call from kak Yayan 16:00

Kak Yayan 16:13

Wi, jangan bikin takut! Kamu kenapa?
Ponsel aktiv tapi gak dibalas.

Lalu pesan terakhir, lima menit yang lalu.

Besok aku ke sana!!

Fix, membaca pesan terakhir dari kak Yayan, membuatku surprise. Apaa?! Kak Yayan mau ke sini?! Kubaca pesan itu berulang kali, memastikan kalau aku tidak salah baca. Bagaimana mungkin kak Yayan bisa ke sini, sementara hari ini saja dia masih bersama dengan Nana di sana. Apa dia bercanda?!

Aku mengetik balasan.

Me:

Maaf, baru ngasih kabar. Aku baik-baik saja, kak. Tadi lagi di Mal bersama teman, dan lupa membawa ponsel.

Bukannya dibaca, pesanku malah centang satu. Dan tulisan terakhir dilihat di percakapan pesan kak Yayan adalah sewaktu dia mengirim pesan kepadaku lima menit yang lalu.

Apakah kak Yayan marah, Karena aku tidak membalas pesannya? Ah, biarkan saja! Apa peduliku! Toh, dia juga bisa berlaku seenaknya saja, jalan-jalan bersama perempuan itu dan Nana tanpa memberitahuku. Lalu, kenapa aku harus mengabarinya juga? Toh, kami saudara bukan, apa-apa pun bukan!

Tanpa memedulikan pesan itu terkirim atau dibalas oleh kak Yayan, aku menaruh ponselku di dalam laci nakas. Mengambil satu buku yang belum sempat kubaca. Membukanya, lalu membacanya tanpa ada satu kalimatpun yang menyangkut di kepalaku.

Apa ini yang namanya cemburu?!

#####

TANPA MU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang