BAB 14

2.5K 263 1
                                    

Seperti sprint, waktu berjalan begitu cepat sekali.  Tanpa disadari, sudah masuk bulan ke dua di tahun ini. Dan selama itu pula, hidupku berjalan mengalir seperti air. Bertemu tempat lurus, dia akan mengalir terus. Bertemu belokan, dia akan berkelok, bertemu tempat yang tinggi, dia mencari tempat untuk turun ke bawah, dan mengisi tempat yang kosong.

Dan selama itu pula, kak Yayan sudah kembali ke Jakarta. Tanpa ada kontak lagi denganku.

Aku memandangi jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Jam pemberian kak Yayan, waktu dia mengantarkan kupulang, saat kami bertemu sehari sebelum dia berangkat ke Jakarta.

"Ini!" Kak Yayan menyerahkan paper bag dengan motif polos ke hadapanku.

"Apa...ini?" Tanyaku.

"Hadiah kecil. Untuk kamu!"

"Ngapain pakai hadiah segala?!" Tanyaku. Hanya terfokus ke paper bag itu.

"Ambil, Wi! Aku memang sudah lama ingin memberikannya ke kamu!"

Aku menerima hadiah itu. Tanpa berniat melihat isinya.

"Besok Aku pulang! Mungkin akan lama, tapi, tolong jaga diri. Kamu tidak punya keluarga di sini! Kalau ada apa-apa telepon Aku, ya?!" Tatapnya.

"Iya! Kakak juga hati-hati!" Sahutku datar. Tak membalas tatapannya.

Setelah dia menghilang dari hadapanku, bersamaan dengan sisa suara mesin mobilnya, aku melihat isi di dalam papaer bag itu. Sebuah kotak berbentuk kubus berwarna biru tua. Penasaran, Aku mengeluarkan kotak itu dan membuka isinya. Dan Aku terkejut saat mendapati bahwa hadiah itu adalah jam tangan mewah yang pernah kulihat di Mal-mal mewah di Jakarta. Jam tangan yang harganya harus menghabiskan tiga bulan gajiku.

"Cieee, dipandangi terus! Iya, iya, tahu kok, itu jam mahal, dan dari orang yang spesial pula!" Goda Tini, yang baru masuk dari luar. Aku mencebik.

"Biasa aja kali, Tin! Gak usah lebay begitu!"

"Pasti kakak orang spesial di hatinya, yakan, yakan? Soalnya mana ada orang yang rela merogoh saku lebih dalam sedalam laut, kalau seseorang itu tidak spesial di hatinya!" Tini mulai lagi dengan teori anehnya. Semenjak tahu anak bu Sari tinggal di Kuala lumpur waktu itu, Tini sedikit terguncang, dan mulai suka melantur bicaranya. Seakan anak bu Sari itu adalah obat yang kalau tidak diminum, akan berbahaya bagi jiwa Tini.

"Gak juga! Kebetulan orang yang ngasih hadiah ini, kakakku yang udah lama gak ketemu!"

Seperti mendapat cerita menarik, Tini mengambil kursi dan duduk di depanku. Dari dalam kami masih bisa melihat orang yang masuk ke Apotek.

Dua alisnya terangkat. "Kakak?!"

"Iya, kakak tiri ceritanya!"

"Mama kakak nikah lagi, begitu?!" Tanyanya antusias.

"Iya, tapi saat menikah, Papa sudah punya anak, dan anak itu adalah kakak yang kumaksud. Jadi, saat Mama dan Papa menikah, Aku dan Kakakku itu sudah lahir." Jelasku, kalau-kalau Tini bingung dengan kisahku.

Tini manggut. "Jadi, itu artinya, kakak gak ada pertalian darah dong, sama si Kakak ini!"

"Iya!"

"Terusss?!" Tini melihat jam di tanganku sekilas.

"Apanya yang terus?! Kamu kepo amat, jadi orang!" Sungutku.

"Yaa, salah sendiri, kenapa juga cerita-cerita! Tanggung jawab, dong! Selesaikan. Sama seperti penulis, kakak udah bikin cerita, terus isinya bikin pembaca terbuai. Tiba-tiba kakak hiastus, coba bayangkan gimana perasaan pembaca kakak?! Sakitnya tuuh, di sini, kak!!" Jerit Tini, membuatku tergelak.

TANPA MU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang