"Sepertinya ada yang lagi bahagia, nih!" Sindir Tini yang baru beberapa menit yang lalu datang, karena pertukaran shift dengan Nima. Aku yang sudah datang sejak jam satu siang tadi, hanya diam. Pura-pura tidak mendengar. Yah, meski Tini tidak sepenuhnya menggodaku. Tapi dari cara dia melirikku, dan hanya ada kami berdua di sini--Nima sedang keluar sebentar, membeli pulsa, minta dijemput orang tuanya--itu bisa jadi alasan, kalau akulah satu-satunya orang yang dimaksud Tini.
"Kamu kayaknya yang lagi bahagia! Dari tadi senyam-senyum aja!" Balasku.
"Ih, kegeeran! Emangnya, Aku lagi godain kak Wi?! Ya enggaklah...!" Cibir Tini, lalu mendekat. "Ayo, siapa laki-laki itu?!" Tembaknya langsung.
"Apa?! Laki-laki apa?!" Tanyaku pura-pura bodoh.
Tini berkacak pinggang. "Semalam Aku melihat kakak lagi berdiri di depan sate Padang, dan ada laki-laki di samping kak Wi. Mulanya Aku mau nyamperin, tapi pas lihat kakak lagi bahagia sekali, batal deh!"
"Samperin aja! Apa salahnya?!" Uppss. Aku masuk jebakan batman. Tini tertawa lebar, senang kalau Aku mengakui memang pergi bersama laki-laki. Ternyata Aku memang susah kalau sudah berbohong. Pasti selalu ketahuan.
"Teman? Pacar? TTM? Kakak? Yang mana?!" Tanyanya sambil menunjukkan kelima jarinya, memintaku memilih apa hubunganku dengan laki-laki itu.
Aku mengibas tangan Tini. "Bukan siapa-siapa!" Elakku.
"Bukan siapa-siapa, kok senang?! Lihat tuh, wajah kak Wi sudah bersemu merah!" Aku memegangi kedua pipiku. Dan itu membuat Tini semakin tak bisa menghentikan tawanya. Aku terperangkap lagi.
Kesal, kugeser lembaran faktur obat yang baru masuk ke hadapannya. "Masukin ke komputer! Baru datang, sudah bikin heboh! Kerja, kerja!" Teriakku, mengerucutkan bibir. Bukannya marah, Tini semakin getol menggoda dan menertawaiku.
Di ruang peracikan, Aku menghempaskan pantatku ke kursi. Mengeluarkan ponsel dari saku jas putih. Tidak ada notifikasi apapun. Oh, ayolah! Memangnya Aku berharap apa dari pertemuan tadi malam? Memangnya Kak Yayan akan menghubungiku? Jangan geer, Wirda! Kamu itu posisnya cuma adik. Gak sedarah lagi! Jadi jangan berharap terlalu banyak! Nanti sakit. Kamu juga yang rugi.
Aku membuka laporan bulanan. Sudah akhir tahun. Sebentar lagi sudah masuk tahun baru. Tidak terasa sudah tiga tahun Aku di sini. Dan selama ini, belum pernah Aku berniat ingin pindah Apotek. Meski banyak teman-teman yang menawari pekerjaan baru di rumah sakit, seperti Eka Hospital dan Arifin Achmad, lalu PBF bonafid seperti AAM, Enseval dan yang lain, Aku keukeuh berada di sini.
Mungkin kalau bisa dibilang, Aku sungguh berhutang budi dengan bu Sari. Beliaulah yang menampungku pertama kali menginjakkan kaki di sini, saat aku mengirimkan lamaran, dan diterima sebagai Apoteker. Selama hampir satu bulan, Aku tinggal bersama bu Sari sebelum pindah ke kosan yang sekarang.
Dan Aku tidak berniat untuk meninggalkan beliau. Yah, walau sebenarnya tidak masalah juga untuk bu Sari, toh masih banyak Apoteker lain yang ingin bekerja di sini. Ini bukan masalah uang. Tapi loyalitas.
Ponselku berbunyi. Menampilkan nama Kak Yayan di layarnya. Seketika, wajahku langsung bersemu. Tanpa pikir panjang, segera ku sambungkan panggilan itu.
"Assalamualaikum, Wi!" Salam kak Yayan. "Kamu di mana?" Tanyanya.
"Waalaikumsalam, Aku di Apotek, kak!"
"Baguslah, kalau begitu! Kamu ada obat demam, gak?"
"Ada batuk sama flunya, gak, kak?" Tanyaku balik. Terdengar suara kak Yayan menjauh dari telepon. Seperti bertanya kepada seseorang.
"Ada, Wi! Yang sirup ada? Soalnya yang sakit takut nelan obat katanya!"
"Ada, kak! Un--"
"Oke, nanti ke sana ya, Wi! Assalamualaikumm.." panggilan diputuskan begitu saja, membuat aku hanya bisa terpana memandangi layar ponselku yang kembali menghitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANPA MU✔
ChickLit[SELESAI] Apt. Wirda Wati, S. Farm telah merantau sangat jauh, demi meninggalkan keluarganya, terutama Nenek. Semua berawal dari kedatangan sepupu nenek dari Arab, yang membuat hubungannya dengan kak Rayyan Fikri atau yang biasa dia panggil Kak Yay...