BAB 20

2.5K 245 3
                                    

"Dek, ada paket!" Bapak sekuriti memanggilku, begitu aku masuk ke halaman kos. Aku mengernyit.

"Paket?!" Tidak lantas menerima paket itu, aku membaca nama si pengirim. RAYYAN FIKRI. Dan teringat dengan permintaanku untuk membelikan kalamai, dan beras rendang. Kak Yayan memang menepati janjinya. Mengirimkan paker melalui ekspedisi.

"Benarkan, untuk adek?! Pasti dari laki-laki tempo hari, kan?" Tanya bapak sekuriti kepo. "Orangnya baik! Calon suami, ya?!"

Aku menerima paket yang disodorkan bapak sekuriti. "Bukan, Pak! Dia abang saya!" Ucapku penuh penekanan. Kemudian bergegas meninggalkan pos sekuriti.

Samar-samar masih kudengar gumam bapak sekuriti itu. "Heheh, kirain!"

Aku tidak langsung membuka paket dari kak Yayan. Tapi kubiarkan tersimpan di atas meja. Nanti saja memeriksanya kalau Aku sudah selesai berbenah dan mandi. Usai Mandi, dan merasa lebih segar, Aku kembali ke meja tempat Aku menyimpan paket dari Kak Yayan. Apa yang kupesan benar-benar dipenuhi olehnya. Kalamai, beras rendang, sanjai, karak kaliang, semua sesuai dengan yang kuharapkan.

Sepertinya Aku akan membagikan oleh-oleh ini kepada Tini, Nima, Bu Sari dan teman-teman kos, karena paket yang dikirimkan Kak Yayan sangat banyak sekali. Memangnya Aku maniak kerupuk, sampai mengirimkannya sebanyak ini?! Aku tersenyum sendiri sambil memilah-milah oleh-oleh ini.

Ponselku berdering. Nama orang yang kuharapkan benar-benar menelepon. Tanpa berpikir panjang Aku segera mengangkat panggilan itu. Entah mengapa hatiku seakan terbang tinggi, padahal belum tentu  dia benar-benar ingin meneleponku karena ingin bebrbicara denganku. Siapa tahu dia hanya ingin menanyakan paketnya saja sudah sampai atau belum?

“Ya, Kak!” sahutku, begitu kami sudah saling membalas salam.

“Paketku sudah sampaikan?” ternyata dugaanku tidak meleset. Aku melirik kerupuk yang kukeluarkan barusan dengan hati mencelos. Sebenarnya apa yang kuharapkan?!

“Sudah, Kak! Baru juga sampai!” sahutku.

“Ah, syukurlah! Sesuai dengan pesananmu, kan, Wi?!”

“Melebihi dari yang kuharapkan, Kak! Mungkin akan kubagikan sama teman-teman di Apotek dan teman kos” jawabku. “Atau mungkin bisa kujual, sangking banyaknya!” kak Yayan tertawa. Mendengarnya juga turut membuatku tertawa.

Seketika tawanya terhenti. Kami terbebat keheningan. Tak ada yang saling bicara. Hanya detak jantungku yang terdengar berdetak sangat cepat. Seumur-umur, belum pernah Aku dihadapkan pada situasi, dimana Aku berbicara dengan lawan jenis, lalu Aku bingung dengan apa yang akan kukatakan. Apakah karena orangnya kak Yayan, sehingga Aku menjadi tidak tentu arah begini?! Seharusnya tidak boleh begini, kan? Kak Yayan itu kakakku. Dan Aku adiknya! Tidak mungkin dia punya perasaan kepadaku, kan?!

“Apa ada...yang ingin kakak bicarakan lagi?! Soalnya—“ Aku menggosok tengkukku untuk menghilangkan kecanggungan di antara kami.

“Kamu capek?” tanyanya pelan.

“Capek?! Eh, nggak kok, nggak !” gelengku kuat. Lalu malu sendiri saat menyadari kak Yayan tertawa renyah mendengar jawabanku.

“Ya sudah, Kamu istirahatlah. Aku juga harus membereskan pekerjaanku di sini. Ohya, Wi. Dua hari lagi pekerjaanku selesai. Kemungkinan Aku akan pulang—“

“Oh, hati-hati kalau begitu!” jawabku.

“Hanya itu?!” tanya kak Yayan membuatku kaget. “Memangnya kamu gak mau tahu Aku pulang kemana?!” pertanyaannya membuat debar di dadaku semakin bertambah kencang. Menggigit bibir, aku pun bertanya.

“Ke Jakarta, kan?! Kakak pasti akan pulang ke sana, kan?!” Aku memastikan kalau ucapanku tidak salah. Pastilah kak Yayan akan kembali ke Jakarta. Secara kantornya ada di sana. Dan dia menetap di sana. Otomatis dia akan kembali pulang ke sana.

Kak Yayan tertawa. “Bisa jadi, bisa juga nggak! Tergantung sikon!” jawabnya berteka-teki. Aku hanya mampu ber-oh-oh saja. “Baiklah kalau begitu. Kita sudahi pembicaraan ini sampai di sini dulu. Kamu hati-hati di sana!” pamitnya, lalu tak lupa mengucapkan salam.

Aku meletakkan ponselku di atas meja. Tanpa sadar, Aku meraba dadaku. Kenapa debarannya menjadi tidak menentu begini? Hanya karena mendengar suaranya saja, Aku sudah menjadi tidak karuan begini. Hei, seharusnya tidak boleh seperti ini, kan? Mana ada dua orang berlawanan jenis yang saling berbicara tanpa ada mahram yang menemani? Bukankah itu sebuah dosa yang jelas-jelas dilarang dalam Al-quran?

Apa sekarang posisi kak Yayan sudah bergeser di hatiku? Jika dahulu, dia hanya kuanggap sebagai seorang kakak. Dan sangat yakin tidak akan pernah punya perasaan apa pun terhadapnya. Sekarang, posisi itu sudah naik menjadi setingkat lebih tinggi. Dia bukan lagi kak Yayan—anak dari Papa Yoyo. Dia sudah menjelma menjadi laki-laki dewasa, yang sedikit perhatiannya saja mampu membolak-balikkan duniaku.

Ya Allah, jika rasa ini terjadi atas kehendakMu. Maka izinkanlah perasaan ini berlabuh sesuai dengan syariat agama. Tapi bila tidak. Maka jauhkanlah Aku dari rasa ini.

Keesokan harinya, Aku membagikan oleh-oleh dari kak Yayan ke teman-teman kos, bapak sekuriti dan terakhir kepada Tini dan Nima.

“Jadiii, hanya oleh-olehnya saja yang datang?!” seperti biasa, Tini dengan kecerewetannya. Mengunyah karak kaliang sehingga bunyinya berderak-derak. “Orangnya nggak?”

“Biaya paketnya mahal, kalau orangnya juga ikut serta! Lagi pula tidak mungkin ekspedisi mau menerima manusia sebagai paket!” jawabku asal, sengaja membuat Tini kesal. Tapi dasar Tini, bukannya kesal, dia malah tertawa lebar. Membuat remah-remah karak kaliang di dalam mulutnya berhamburan.

“Oohh, jadi ibu Apoteker kita ini berharap orangnya juga dipaketkan bersamaan dengan oleh-olehnya, begitu?!” tanya Tini memainkan matanya. Tersenyum menggoda.

“Apaan, sih?! Sembarangan kamu!”

“Yaaa, kalau itu sih, sekalian saja sama mahar, penghulu, dan saksi yang dipaketkan!” sahutnya tergelak. Memangnya mau nikah?!

Aku menerawang. “hubungan kami Cuma sebatas adik kakak, Tini! Kalaupun bisa lebih dari itu, ada nenek yang harus kami hadapi!” aku melirik Tini. “Nenek yang mengusir kak Yayan, dan pasti nenek juga orang pertama yang akan mengatakan tidak untuk hubungan ini!” jawabku.

“Itu kan baru persepsi kakak! Dari awal sudah kukatakan, kenapa tidak membereskan masalah kakak dan nenek terlebih dahulu? Coba tanyakan kejadian yang sebenarnya. Siapa tahu, ada cerita yang kak Wi tidak dengar!”

“Dengan perginya kak Yayan dari rumah, itu sudah menjelaskan semuanya, Tini! Jadi untuk apalagi dicari tahu?! Toh, hasilnya akan tetap sama!” belaku.

“Lalu dengan membiarkan hati kakak merana?!”

“Ah, Aku tidak semerana itu, Tini! Enam belas tahun tanpa tahu kabar, kurasa tidak menjadi bagian dari hidupnya untuk hari yang akan datang, tidak jadi masalah buatku! Aku akan tetap seperti ini. Ada atau tidak adanya dia!”

Tini melengos. Lalu mengikat plastik karak kaliang yang tinggal setengah dengan sekali sentakan. Meletakkannya dengan sekali gerakan juga. Dan beranjak pergi.

“Mau kemana?” tanyaku. Tini yang sudah berdiri di antara ruang racik dan tempat pelayanan, berbalik.

“Bersemedi! Heran, melihat orang yang gak mau mendengar nasihat orang lain! Dia terlalu sibuk dengan pemikirannya sendiri. Lupa kalau orang lain juga punya pikiran mengapa harus berbuat seperti itu!” Tukasnya, lalu menghilang dari pandangan. Aku tahu, Sejatinya Tini itu menyindirku.

Aku menghembus napas pelan. Mungkin sudah saatnya untukku mencoba menjalin komunikasi lagi dengan Nenek. Membereskan hubungan kami yang sudah lama kusut. Sejak enam belas tahun yang lalu. Dan semakin kusut saatku memutuskan hengkang dari rumah dan merantau. Ah, sudah berapa lama Aku tidak mendengar suara nenek?

00000

TANPA MU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang