BAB 4

3.5K 315 1
                                    

Aku tidak pernah bisa paham, kenapa rumahku kembali ramai oleh orang-orang. Bahkan semuanya terlihat bersuka cita. Mereka mengenakan pakaian-pakaian bagus. Kerudung bagus, juga bejubel makanan enak yang terhidang di atas meja. Sesekali Aku mencomot makanan itu tanpa sepengetahuan Mama dan Nenek. Kalau sampai mereka tahu, bisa-bisa Aku disuruh menggosok gigi lagi. Huh! Aku kan tidak suka gosok gigi. Apa enaknya menelan busa-busa putih itu di dalam mulut, lalu mengeluarkannya lagi dengan memasukkan air dan memuntahkannya.

Mengendap-endap, Aku berjalan mencari tempat bersembunyi. Kamar kosong di sebelah kamar Mama adalah tempat persembunyian yang paling mantap. Segera saja kulangkahkan kaki, dan masuk ke dalamnya. Menutupnya lagi. Begitu membalikkan badan, Aku dikejutkan oleh sesosok tubuh yang duduk tenang menghadapku. Di tangannya ada manga yang sedang dia baca. Sadar akan kehadiranku, dia melepas manga itu, menutupnya. Lalu mata tajamnya beralih menatapku.

"Dicari nenek baru tahu rasa kamu!" Ancamnya membuat Aku meleletkan lidah.

"Biarin, wekk!" Ejekku. Lalu mendekat ke arahnya. Ikut duduk di sampingnya. Aku meletakkan kue cucur yang dari tadi kupegang, dan meletakkannya di atas gaun berwarna pink milikku. Kata Mama, gaun ini dibelikan oleh Ayah saat usiaku masih satu tahun. Karena kebesaran, baru terpakai saat usiaku menginjak empat tahun.

Tapi kata Mama, Ayah sudah tidak bersama kami lagi sekarang. Ayah sudah pergi. Dan sekarang Aku sudah punya seorang Papa pengganti Ayah. Papa orang baik. Selalu tersenyum ramah. Setiap akhir minggu, Papa dengan mobil toyota kijangnya, akan mengajak Aku, Mama, Nenek dan laki-laki yang duduk di sebelahku ini pergi berjalan-jalan. Kadang kami ke Monas. Kadang ke Ragunan. Atau kadang ke taman Mini. Pokoknya, Papa akan bertanya dulu Aku maunya pergi kemana.

Tapi tujuh bulan belakangan, Papa tidak pernah lagi mengajak Aku jalan-jalan. Alasan Papa adalah, Mama sudah tidak bisa lagi jalan jauh. Nanti, dede bayi yang ada di perut Mama bisa sakit. Begitu kata Papa.

Hmm, pantas saja perut Mama gendut begitu. Makan Mama memang banyak akhir-akhir ini. Ternyata ada adik di dalam sana?

"Enak?!" Suara di samping menginterupsi lamunanku.

"Mau?!" Aku menyodorkan satu. Cepat, dia mengambil bagiannya. Dan menggigitnya dengan dua kali gigitan. Aku melipat dahi. Apa orang besar makannya memang besar juga? Kenapa begitu bernapsu sekali menggigitnya?

"Ada lagi?!" Tanyanya. Melirik kue cucur yang tinggal dua. Aku menutupnya dengan kedua tanganku. Enak saja dia mau lagi. Syukur sudah kubagi satu.

"Ini bagianku, Kak! Kalau mau ambil sana!" Protesku.

"Nggak! Masih ramai orang di luar!" Jawabnya.

"Memangnya acara apa, kak?!" Tanyaku penasaran. Dia mengangkat bahu. Pertanda tidak tahu.

"Mungkin mau menghabiskan uang kali! Papa kan, menang proyek di pulau kalimantan! Makanya menyuruh Mama dan Nenek membuat makanan untuk orang sekampung." Beritahunya. Walau Aku tidak mengerti proyek apa yang dimenangkan Papa.

"Kak, apa benar Aku akan punya adik?!" Tanyaku. Mengalihkan pembicaraan.

"Siapa bilang?!"

"Papa! Kata Papa, di perut Mama ada dede bayi."

"Mungkin! Kamu suka?!"

"Punya adik?! Sukalah! Asyik, ada temannya." Seruku girang.

Dia manggut. "Aku gak mau punya adik!" Jawabnya membuat kepalaku tertoleh.

"Kenapa?!"

"Aku sudah punya adik. Dan Aku sangat sayang sama dia!" Jawabnya, yang waktu itu belum kupahami makna tersiratnya. Aku menatapnya dalam. Dia balas menatapku. Tidak menjawab, sebaliknya Dia mengusap kepalaku. Lalu tersenyum. Dan melanjutkan membaca manga-nya.

#####

Papa benar. Dua bulan lebih setelah acara makan-makan itu. Mama melahirkan adik bayi. Perempuan. Cantik. Putih. Rambutnya ikal, hitam. Dia menangis terus saat Papa menggendongnya. Mama sedang mandi kala itu. Hanya ada Aku dan Papa. Kakak sedang pergi sekolah. Nenek pergi ke pasar.

Oee...ooeekkk...

Tangisan adik perempuanku keras juga. Bikin seisi rumah kalang kabut. Mama yang masih mengenakan handuk, bergegas keluar kamar mandi. Menatap sebal sama Papa. Lalu mengambil adik dari gendongan Papa.

"Katanya mau nolongiinnn!" Cibir Mama, kesal. Papa yang disindir, garuk-garuk kepala.

"Aku sudah lupa cara menenangkan bayi, Wat!" Alasan Papa. Nyengir.

"Alasan! Kalau nggak tahu itu, bilang aja, Mas! Jangan sok tahu. Kan Aku belum selesai mandi, anak udah nangis aja! Tahu gitu, nunggu Ibu saja pulang dari pasar!" Semprot Mama.

Dimarahi begitu, Papa makin salah tingkah. Lalu berlalu meninggalkan Mama dengan adik bayi yang sudah terdiam.

Waktu itu, Aku masih belum paham. Jangan tanya soal ilmu parenting. Orang tua dulu, mengasuh anak mengikuti naluri dan kata orang tuanya lagi. Selamat tinggal itu segala macam teori yang tidak mereka pahami.

Seperti kalau anak baru lahir dan sudah nangis kejer, langsung disuapi pisang. Dikasih air tajin, dan berbagai macam hal-hal yang sangat bertentangan dengan ilmu kesehatan sekarang. Kalau diprotes, anak bayi itu kan, sama saja dengan kita. Mereka juga punya rasa lapar. Mana mungkin kenyang kalau cuma dikasih air susu doang?!. Alamak. Kujamin, jika ahli parenting zaman sskarang mendengar ini, mereka pasti geleng-geleng kepala. Tapi, untung saja nenekku tidak begitu. Dan Mama juga sudah termasuk modern untuk wanita seusianya.

Nenek pulang dari pasar. Mama kembali melanjutkan mandinya yang tertunda. Papa entah sudah pergi kemana. Adik bayi sudah tidur sejak tadi. Nenek menggendongku ke pangkuannya.

"Duuhh, cucu nenek yang cantiikk!" Nenek menciumi pipiku bertubi-tubi. Membuatku meringis dan menjerit.

"Sakit, nek!" Jeritku. Tapi nenek mana mau tahu. Baginya menciumiku setiap pagi adalah hal yang harus dia lakukan. Setiap hari. Tanpa jeda.

"Nanti, kalau kamu sudah besaran sedikit, baru nenek gak cium kamu lagi, Wi! Adikmu nanti kan, sudah lebih besar sedikit. Giliran dia yang akan nenek cium." Kekeh nenek, menciumku lagi.

Dan apa yang nenek katakan itu tidak sepenuhnya salah. Adik bayi yang diberi nama Winna Wati itu, memang menggantikan posisiku diciumi nenek. Tapi, itu jatah untuk Winna. Bukan menggantikan Aku seperti yang nenek bilang. Dan kenyataannya, Aku masih tetap saja dicium oleh nenek. Bahkan sampai usiaku sembilan tahun. Dan setiap itu pula Aku menjerit dan meringis.

Tapi, setelah kejadian itu, Aku tidak pernah mau dicium oleh nenek lagi.

Selamanya. Bahkan setelah Aku pergi jauh sekalipun.

Menjadi perantau.

#####

TANPA MU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang