BAB 6

3.1K 311 2
                                    

Seperti kata Nenek, sepupu Nenek yang datang dari Mekkah, memang berkunjung ke rumah Kami. Kedatangannya disambut suka cita oleh Nenek. Ternyata, dari cerita Om Harun, dia sudah lama tinggal di sana. Dan kedatangannya kali ini, ingin bersilaturrahmi dengan seluruh keluarganya yang ada di Indonesia, Cibinong khususnya.

Kakek Harun, begitu Aku memanggilnya, membawa oleh-oleh yang banyak. Ada kurma, sajadah, jilbab, gamis. Oleh-oleh itu diletakkan Nenek di dalam kamarnya. Dikunci rapat. Nanti Nenek yang akan membagi-bagikannya.

"Maaf, Om baru bisa datang sekarang. Tidak sempat berkenalan dengan suami kamu, Wat!" Cerita Kakek Harun. Mama hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Mungkin kejadian tadi masih membekas di kepalanya.

Ada cerita lucu, entahlah kalau ini disebut lucu. Namun belakangan, setelah Aku mencari tahu, sebenarnya ini tidaklah lucu. Sesungguhnya apa yang dilakukan kakek Harun itu sangat benar sekali. Sewaktu Kakek Harun sampai, dan saling bertukar kabar, Mama sekonyong-konyong mengangkat tangannya ke udara, bermaksud ingin bersalaman dengan Kakek Harun. Bukankah sudah tradisi di sini kalau yang muda menyalami yang tua, meski itu bukan saudara sendiri? Sebagai bentuk penghormatan bagi yang tua.

Dan Mama, sebagai keponakan yang baik, melakukan itu. Tapi, apa yang terjadi? Kakek Harun tidak menyambut uluran tangan Mama, hanya menangkupkan kedua tangannya di dada. Dan membiarkan tangan Mama menggantung di udara. Tentu saja, wajah Mama menjadi bingung. Begitu juga dengan nenek. Ibu dan anak itu saling pandang. Tapi kakek Harun bukannya merasa bersalah, malah terlihat santai.

"Maafkan Om, wat! Di dalam Islam, kita ini bukam mahram. Jadi, sudah seharusnya kita tidak bersalaman, ataupun bersentuhan. Dosa hukumnya. Dan lagi, kalau bisa saat ada tamu lain yang datang ke rumah ini, laki-laki misalnya, yang bukan mahrammu, kalau bisa, kenakanlah pakaian yang menutup aurat, tutuplah rambutmu dengan hijab. Karena dilarang mengumbar aurat di depan orang yang bukan mahram kita." Beritahunya. Seketika, Aku memperhatikan pakaian yang dikena Mama. Baju daster yang lengannya tiga perempat, tapi panjang ke bawah. Sebenarnya, untuk ukuran di keluarga kami, itu lazim-lazim saja. Cara berpakaian Mama sudah sangat sopan, meski yang datang ke rumah adalah tukang gas sekalipun, Mama tetap berpakaian seperti itu. Tapi, tidak dalam Islam. Cara berpakaian dan bergaul sudah diatur sedemikian rupa. Ada batas-batas yang harus diperhatikan dalam bertemu non Mahram. Meski kita mengakui kalau dia adalah saudara kita.

Mendengar itu, Aku bergegas ke kamar Mama. Mengambil hijab Mama di lemari. Lalu memberikannya ke Mama. Kakek Harun tersenyum padaku. Lalu mengacungkan jempolnya. Hei, untuk ukuran anak kecil, melakukan hal benar dan dipuji orang dewasa itu, sebuah prestasi, bukan? Bisa saja nanti Kakek Harun mengajakku ke Makkah? Siapa tahu!

Kakek Harun tidak lama di rumah. Rencananya, besok dia akan pergi ke Jakarta, menemui besannya yang memang tinggal di sana. Jadilah kakek Harun bermalam di rumah, untuk besok pagi-pagi sekali pergi. Sepanjang hari, Mama selalu mengenakan hijab di kepalanya. Hanya di dalam kamar saja Mama melepasnya.

Menjelang maghrib, Kak Yayan pulang. Ternyata dia habis ikut latihan sepak bola bersama teman-temannya. Kak Yayan berkenalan dengan Kakek Harun. Kali ini, kakek Harun tidak menolak saat kak Yayan menyalaminya. Malah mereka berbicara santai sekali. Terdengar desisan kagum dari mulut Kakek Harun.

Barulah, setelah selesai makan, dan Kak Yayan ada perlu keluar sebentar. Kakek Harun bertanya kepada Mama dan Nenek.

"Itu anak tirimu?" Tanya kakek Harun, yang diangguki Mama. "Berapa umurnya?"

"Enam belas tahun." Jawab Mama. Kakek Harun manggut. Terlihat gelisah.

"Tinggal di sini?"

"Iya."

"Kenapa, Har? Ada yang salah?!" Tanya Nenek. Lalu kakek Harun menatapku.

"Apa Wirda sudah datang bulan?" Tanya kakek Harun yang serta merta membuat Mama dan Nenek syok.

"Sudah." Walau bingung, Mama tetap menjawab. Ekspresi kesal terlihat di raut wajah Mama.

Kakek Harun menghela napas. "Om tidak akan berpanjang lebar. Sebaiknya, jangan biarkan Wirda dan Yayan bergaul begitu dekat." Beritahu kakek Harun, membuat Mama melongo.

"Kenapa? Mereka adik kakak!" Tukas Mama. Mulai terlihat kesal.

"Kamu benar, mereka memang adik kakak, tapi mereka bukan mahram. Mereka lahir dari rahim yang berbeda. Saat menikah, kamu dan suamimu sudah membawa anak kalian dari pernikahan sebelumnya. Dan itu tidak bisa menjadi alasan untuk Wirda dan Yayan bergaul bebas. Ada batasan yang harus mereka jaga. Di dalam agama kita, ada 11 hubungan yang bisa menjadikan kita mahram. Karena hubungan darah atau nasab, karena pernikahan, dan karena sepersusuan."

Kakek Harun jeda sebentar. "Tapi itu tidak berlaku untuk Wirda dan Yayan. Mereka tidak punya pertalian darah. Dan setelah besar nanti, mereka bisa menikah."

Mama tercenung. "Ada-ada saja! Lalu bagaimana dengan Winna? Dia gak boleh dekat sama Yayan juga?!"

"Winna dan Yayan memiliki Papa yang sama. Jadi mereka saudara satu bapak. Dan mereka memiliki hubungan karena nasab. Haram menikah." Jelas kakek Harun lagi.

"Lalu apa yang harus kami lakukan? Tidak mungkin Yayan menikah dengan Wirda saat besar nanti, kan? Mereka masih saudara." Nenek terlihat gelisah. Menatapku.

Kakek Harun tertawa. "Ya, gak gimana-gimana. Sebisa mungkin jangan bebaskan Yayan bergaul dengan Wirda. Kalau perlu, Wirda sudah diajarkan mengenakan hijab sejak sekarang, ajarkan dia ilmu agama, agar dia mejadi lebih tahu."

Nenek menghela napas. Sekali lagi nenek menatapku. Kemudian menatap Mama.

Keesokan paginya, Kakek Harun pamit dari rumah kami. Untuk terlebih dahulu meminta maaf jika ada kata-katanya yang salah. Nenek mengucapkan terima kasih telah dikunjungi. Sementara Mama, tidak mengantarkan kakek Harun ke luar, terperap dalam kamar, menggendong Winna.

Jelas Mama gelisah. Bahkan pembicaraan itu berlanjut sampai siang hari, bahkan hari-hari berikutnya.

"Wat tidak setuju!" Bantah Mama. "Wat sudah janji sama Mas Yoyo untuk menjaga Yayan. Bagaimana mungkin Wat mengirim Yayan ke keluarga Papanya di Bandung?"

"Ini demi kebaikan bersama, Wat! Apa kamu mau Yayan menikah dengan Wirda nanti? Lagi pula, cuma ke Bandung, dekat ini! Saat libur dia bisa berkunjung ke sini, melihat Winna, dan juga....Wirda, walau sebentar!" Lenguh Nenek.

Mama mendelik tidak suka. "Ibu ada-ada saja! Ngapain juga Yayan menikah dengan Wirda! Jelas-jelas mereka adik kakak!"

"Hati gak ada yang tahu, Wat! Bukankah Harun sudah mengatakannya semalam?"

"Om Harun itu bukan ustad! Tahu apa dia! Lagian, baru tinggal di Makkah sudah sok mengajari pula!" Mama berlalu begitu saja. Menghentakkan kakinya. Kesal.

"Ya sudah, kalau kamu tidak percaya. Besok, saat ada pengajian di Masjid, kita tanya sama Ustad yang lebih paham agama." Lirih Nenek.

#####

TANPA MU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang