Bab 28

6.1K 317 5
                                    

Mengapa dia begitu senang berlari kesana kemari, membuat dadaku sesak setiap kali harus mengejarnya. Saat melihatku kelelahan, maka dia akan tertawa lalu akan berkata "Yaahh...Ibun kalaaahhh!!" Cerocosnya. Khas suara cadelnya.

"Ibun nggak kalah, sayang. Ibun cuma capek kamu ajak lari-lari terus!" Komenku, mencoba meredakan detak jantung yang berpacu teramat cepat. Beginilah kalau jarang olah raga. Sekalinya diajak lari-lari oleh pangeran kecil ini aku sudah seperti lansia saja.

Si pangeran kecil tertawa lagi. Dua lesung pipinya menyembul membuatku semakin gemas.

"Ayo Ibun, kejar lagi!" Tangan mungilnya menari-nari di udara. Minta dikejar lagi.

Aku berdiri dari duduk. Pura-pura tidak ingin mengejarnya. Tapi begitu dia lengah....hup!! Aku berhasil menangkapnya, dan kini dia sudah berada di dalam gendonganku.

"Aahhhh!!! Ibun culanggg!!" Jeritnya. Meronta minta dilepaskan. Gerakannya yang semakin ekstrim ditambah aku juga sudah kewalahan, akhirnya hanya bisa menyerah dan melepaskannya begitu saja.

"Udah, ah! Ibun capek!" Engahku, lalu berlalu dan berjalan masuk ke dalam kamar.

"Ayah kapan pulang, bun?" Ternyata si pangeran kecil ikut mengekor di belakang. Dia memanjat ke atas kasur. Dan hup, tubuhnya sudah berguling-guling di atas spring bed. Menghancurkan sprei yang baru kutata dengan rapi. Duh!

"Katanya sih, udah di jalan. Mungkin sebentar lagi--" belum sempat melanjutkan kalimat, suara kak Yayan yang memanggil namaku dan nama anak kami, terdengar dari dalam rumah.

Mata pangeran kecil membola. Wajahnya imutnya langsung diliputi rasa bahagia. Tanpa babibu, segera saja dia turun dari ranjang dan berlari keluar kamar. Kehebohan langsung terdengar di arah ruang tamu. Aku yang menyusul belakangan, hanya dibuat takjub dengan interaksi Ayah dan anak itu. Setelah tidak bertemu satu minggu, wajar saja keduanya saling merindu.

"Ayah kok lama banget perginya?" Protes si kecil, masih dalam pangkuan kak Yayan. "Katanya cuma tiga hari..." lanjutnya.

"Harusnya memang begitu, sayang! Tapi--" kak Yayan menatapku sekilas. Sambil mengusap rambut si kecil, kak Yayan kembali berkata, "Ayah mampir ke rumah Eyang uti dulu. Makanya sedikit lama." Sampai di sini, mata kak Yayan  lagi-lagi melirikku.

"Oohh! Ke rumah Eyang uti?" Angguk si kecil. Kak Yayan melepaskan anak kami. Selanjutnya dia berjalan menghampiriku. Seperti kebiasaannya setelah pulang dari luar kota, kak Yayan akan memelukku. Kebiasaan itu berlangsung hingga sekarang, meski kadang suka diledek oleh anak kami sendiri. "Iiihhh....Ayah Ibun nggak malu, apa?!"

"Kakak kangen." Ucapnya. Terdengar jelas di telinga. Seketika bulu kudukku merinding. Meski sudah hampir empat tahun, perasaan dag dig dug setiap kali Kak Yayan mengucapkan kata-kata manis selalu sukses membuatku terbang.

"Aku juga." Balasku. Tanpa pernah malu lagi, mengungkapkan perasaanku.

Kami bertatapan sejenak, sebelum akhirnya kak Yayan teringat sesuatu. "Ohiya, Mama titip salam."

"Kok sempat sih, kakak nyamperin Mama?" Tanyaku, mengingat jadwal kak Yayan yang padat.

"Memang harus disempatin, kan? Masa udah di sana, malah nggak datang." Iya, juga, yaa..." tapi, wi--" Kak Yayan terdiam sejenak.

"Ada apa, kak?"

"Kemarin waktu kakak ke rumah mama, nggak ada orang di rumah." Sampai di sini, dahiku berkerut. Perasaan tidak enak langsung menjalar.

"Mama masuk rumah sakit, Wi." Aku terdiam sesaat.

"Masuk...rumah sakit? Mama sakit?! Terus...siapa yang jagain Mama di rumah sakit? Gimana sekarang kondisi Mama? Udah keluar dari rumah sakit, belum kak?!" Tanyaku bertubi-tubi.

"Tenang, Wi! Tenang." Kak Yayan mencengkram bahuku. Memintaku untuk tenang. "Alhamdulillah Mama baik-baik saja. Mama hanya kelelahan, begitu diagnosa dokter. Dan ada tante Mia yang menjaga Mama selama di rumah sakit. Kakak juga udah minta sama kolega kakak di sana untuk mencarikan orang yang bisa bantu pekerjaan Mama di rumah." Jelas kak Yayan, membuat rasa khawatirku perlahan hilang.

Semanjak Nana menikah setahun yang lalu dan memilih ikut dengan suaminya yang juga berprofesi sebagai dokter di provinsi tetangga, Mama hanya tinggal seorang diri di rumah. Bahkan saat Aku dan Nana bersikeras agar Mama ikut salah satu dari kami, Mama enggan. Dan malah memilih tinggal sendiri di rumah itu.

"Terlalu banyak kenangan di rumah ini, Wi!  Kenangan Papamu, kenangan Papa Yoyo, kenangan Nenek, kenangan kalian bertiga. Semuanya seakan menjadi saksi bisu. Dan Mama...gak bisa meninggalkan kenangan dan rumah ini begitu saja."

"Pergilah. Kamu dan Nana adalah hak suami kalian. Sudah seharusnya Istri ikut suami. Mama juga masih sehat, kok! Ada tante Mia juga. Jangan khawatir."

Itulah senjata amdalan Mama setiap kali kami meminta Mama ikut. Tapi, setelah mendengar kondisi Mama yang masuk rumah sakit, Maka Mama tidak baik-baik saja. Sudah cukup saat kepergian nenek Aku hanya menemukan tubuh kakunya. Sungguh, untuk yang sekarang...

"Wi!" Kak Yayan membawaku kembali ke bumi.

"Ya..kakak mau mandi dulu?"

"Nanti saja. Ada yang mau kakak bicarakan."

Aku mengangkat alis. "Soal?"

Kak Yayan menarik satu tanganku. Dia memuntunku duduk di salah satu sofa. Di hadapan kami, pangeran kecil sedang asyik memnongkar-bongkar mainannya.

Kak Yayan menghela napas. Pelan. "Bagaimana kalau kita pindah?"

"Pindah?! Kemana?!" Tanyaku buru-buru. Setelah hampir delapan tahun menetap di kota ini, aku tidak pernah berpikir untuk pindah ke kota lain. Apalagi sampai harus bersosialisasi lagi dengan lingkungan baru, budaya baru, bahasa dan kebiasaan baru.

Aku sudah nyaman di sini. Inilah rumah keduaku.

Kak Yayan meremas tanganku. "Mungkin ini terdengar terburu-buru. Kakak juga nggak pernah terpikir akan ide ini sebelumnya. Tapi, setelah pulang dari rumah Mama kemarin...kakak memutuskan kalau...bagaimana jika kita pindah ke sana lagi?"

Sungguh. Aku tidak pernah menduga kalau kak Yayan akan punya ide untuk mengajakku pindah ke kota kelahiranku lagi. Setelah mantap dengan bisnisnya di sini, Aku malah berpikir akan menghabiskan sisa usiaku di kota ini. Melihat anak-anakku tumbuh besar dan menikmati hari-hari tua bersama kak Yayan.

"Bagaimana?"

"Bisnis kakak?"

Kak Yayan tertawa. "Isnya Allah Aku sudah memikirkan itu, Wi. Kamu jangan khawatir. Aku sudah memiliki tenaga ahli kompeten yang bisa kuandalkan. Lagi pula...aku juga ingin merambah ke jangkauan yang lebih besar lagi. Selama di sana kemarin, Aku banyak melihat peluang. Meski proyek-proyek kontruksi sudah menjamur sekarang ini. Tapi, rezeki Allah yang mengatur. Aku optimis bisa membesarkan usahaku." Angguknya mantap.

"Mama sudah tidak mungkin lagi kita tinggal-tinggal, Wi. Tidak mungkin juga kita berharap kepada Tante Mia. Dia juga punya kehidupan sendiri. Sementara Nana...rasanya sudah cukup kita menyusahkan dia. Biarlah sekarang giliran kita."

Aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah menangis dan memeluk kak Yayan.

"Terima kasih banyak, kak! Terima kasih--"

"Aku ingin..bukan kita saja yang bahagia, Wi. Tapi Mama juga." Ucapnya.

"Ayahh...Ibuun...aku juga mau dipelukk!!" Tahu-tahu pangeran kecil kami sudah menghambur ke arah kami.

"I love you both" bisik kak Yayan. terdengar sangat syahdu di telingaku.

****

END

TANPA MU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang