Flashback
“Wi! Tunggu, nak! Kamu tidak boleh pergi seperti ini!” Mama menahan tanganku yang hendak menggeret koper mini ke luar rumah. “Kamu masih menyimpan amarah sama Nenek padahal itu sudah lama, Wi?!” Mama mencekal tanganku sangat kuat. “Nenek tidak pernah ingin mengusir Rayyan, Wi! Kamu yang tidak tahu duduk masalahnya! Kamu masih kecil untuk paham semua ini!”
Aku bergeming. Tanpa menatap Mama Aku lirih berbicara. “ Kalau memang tidak pernah mengusir Kak Yayan, kenapa kak Yayan tidak pernah lagi datang ke rumah?! Tidak pernah membalas pesan yang kukirim? Kenapa kak Yayan harus pergi saat Aku berada di rumah Tante Mia?! Apa alasan itu belum cukup untuk menjelaskan bagaimana kak Yayan diusir dari rumah?!”
Mama memejamkan mata. Satu persatu air matanya bergulir. “Kalian itu bukan saudara sedarah, Nak! Kalau kalian tinggal dalam satu atap, apa ada yang menjamin suatu saat kalian akan saling suka?! Nggak ada Wi! Itulah yang dipikirkan Nenekmu!”
Aku mendengus. “Suka?! Aku suka dengan orang yang kuanggap kakakku sendiri?! Mana mungkin!!” bantahku. Ada-ada saja!.
“Hati tidak ada yang menjamin, Nak! Setan akan selalu menggoda manusia dari segala pintu. Untuk itulah kenapa Allah menurunkan wahyunya untuk kita! Agar, saat kita tersesat, kita punya pegangan!” serak suara Mama. Kuakui, apa yang Mama katakan itu tidak salah. Bahkan Aku yang sudah mengenyam pendidikan Islam di pesantren juga tahu akan hal itu. Terlebih Mama, semenjak tahu bagaimana seharusnya perempuan berbusana, Mama benar-benar memperbaiki cara berpakaianya. Tidak lagi keluar rumah-bahkan di teras—kalau tidak memakai hijab. Tidak bersalaman dengan sepupu-sepupu yang berlawanan jenis. Tidak bermudah-mudahan bergaul dengan laki-laki bahkan sekedar bersenda gurau di warung.
“Akan kubuktikan kalau pikiran Nenek itu salah, Ma! Nanti, jika Aku bertemu lagi dengan kak Yayan, Akan kubuktikan kalau dia tidak lebih hanya sekedar kakak bagiku!”.
Tapi kenyataan yang terjadi, Apa?! Bukankah perlahan rasa yang kuanggap tidak akan pernah terjadi itu sudah berganti dengan perasaan lain? Sejak kapan melihat pesannya saja Aku jadi tersipu-sipu? Sejak kapan, melihat jam tangan pemberiannya menjadi hal sangat mencandu dalam hari-hariku? Sejak kapan, membayangkan namanya saja, hatiku menghangat? Sejak kapan melihat fotonya di Media sosial perempuan lain, Aku yang kepanasan? Sejak kapan saat bersamanya, yang kupikirkan adalah dosa takut berkhalwat?
Setelah sekian banyak alasan seperti itu, haruskan Aku masih kukuh mengatakan bahwa Aku tidak punya rasa lain kepada Kak Yayan?
Hentakan pesawat mendarat di jalur pacu, memaksaku membuka mata. Pemberitahuan dari operator pesawat untuk bersiap-siap turun sudah usai beberapa menit yang lalu. Pesawat mulus berhenti di tempatnya. Penumpang sudah mulai krasak krusuk. Yang tidak sabaran, sudah bergegas menuju pintu keluar. Sementara yang masih berusaha sabar, hanya menunggu di kursi mereka sampai lorong pesawat aman untuk dilewati.
Aku menyandang tas ke bahu. Beruntung bawaanku hanya ini, sehingga Aku tidak perlu menunggu bagasi di tempat pengambilan barang. Melewati belalai yang menghubungkan pesawat dengan area kedatangan, Aku bergegas keluar. Mengikuti papan-papan yang bertuliskan nama-nama area, Aku menuju pintu keluar. Bandara selalu ramai seperti biasa. Hilir mudik orang-orang membawa troli yang berisi bawaan mereka. Aku melihat taksi yang tampak kosong. Kagok kuhampiri taksi itu. Menyebutkan tempat, taksi melaju meninggalkan bandara yang diambil dari nama dua pahlawan proklamator Indonesia.
Aku mengeluarkan ponsel dari saku gamisku. Mengaktifkan kembali ponsel. Mengecek siapa tahu ada pesan dari Nana, Mama ataupun...ah, Kak Yayan lagi. Setelah seperti ini keadaan Nenek, haruskan Aku memikirkan kak Yayan juga?! Dimana rasa sayangku kepada Nenek?
Aku membuang pandang ke luar jendela taksi. Gedung pencakar langit berdiri megah di kiri kanan. Seolah mengatakan : selamat datang Wirda. Akhirnya kamu kembali lagi ke sini.
“Pulang liburan, mba?” suara sopir menginterupsi lamunanku. Seorang bapak-bapak yang mengingatkanku dengan bapak sekuriti penjaga kos.
“Bukan, Pak! Saya merantau ke luar jawa. Bekerja di sana.” Jawabku.
“Jadi...ke sini..pulang kampung ceritanya?!” tanyanya. Aku mengangguk. “Asli Cibinong, Ya?!”
“Lahir di sana, Pak! Kalau keluarga asli di Jogja!” jawabku lagi. Sopir itu manggut. Tidak bertanya lagi, dia meneruskan kegiatannya mengemudikan mobil. Mentari pagi menyiram kota Jakarta. Hangat. Namun tidak dengan hatiku.
Setelah melewati macet yang tidak pernah hilang dari Jakarta, Akhirnya Aku sampai di rumah sakit tempat dimana nenek di rawat. Berbekal informasi dari Nana, Aku bergegas ke sana. Rinduku membuncah saat Aku melihat Mama sedang duduk termenung di salah satu kursi-kursi panjang yang disediakan untuk duduk. Pergerakan kakiku menjadi pelan, seakan ingin merekam wajah perempuan yang telah menghadirkanku ke dunia ini dengan taruhan nyawanya. Seperti ada yang memberitahukan Mama. Tiba-tiba kepala Mama tertoleh ke arahku. Sejenak wajahnya terkesiap. Lalu detik berikutnya, bergetar memanggil namaku.
“Wirdaa!! Kamu pulang, Nak!!” Mama melangkah cepat. Tapi Aku memutuskan untuk berlari. Secepat kilat kupeluk tubuh Mama. Kami saling melepas rindu dan bertangisan.
Mama mengurai pelukan, demi melihat wajahku dan merabamya. “Mama rindu, Wi! Mama rindu!” hanya itu. Setelah itu Mama kembali memelukku.
Kami menghabiskan waktu dengan saling menatap. Tak ada yang saling mengeluarkan suara hingga menit-menit berlalu dalam diam. Aku melihat wajah Mama yang mulai dipenuhi garis-garis halus di sekitar mata. Mama terlihat lelah dan menua. Bahkan terlihat melampaui dari usia yang seharusnya. Ku genggam tangan Mama yang terasa kurus dan lemah. Tangan ini, yang seharusnya kugenggam erat, malah kulepaskan demi keegoisanku sendiri. Ah, andai nenek tidak masuk rumah sakit. Maka, apakah Aku akan sampai ke sini dan bertemu keluargaku?!.
“Mama...kenapa jadi kurus begini, Ma?” aku menyisir wajah Mama yang terlihat semringah menatapku.
“Kamu juga kurus, Wi! Kamu makan enak kan, di sana?! Sesuai gak selera kamu di sana? Katanya di sana, berasnya beda sama beras di sini. Di sana berasnya beras Pera, apa benar nak?!” Aku tertawa demi mendengar Mama bertanya soal berasnya.
“Pertama-tama memang agak beda dan susah makan, Ma! Tapi Mama tahulah bagaimana enaknya nasi Padang! Cuma satu yang kurang sama Nasi Padang itu, Ma—“ Mama menunggu kelanjutanku. “Terlalu banyak dan sedikit mahal!” kekehku. Mama ikut tertawa.
“Nenek—“ aku melongok ke arah pintu tempat Nenek di rawat.
“Alhamdulillah Nenekmu gak apa-apa, Wi! Walau sempat terjatuh, Nenek masih bisa menahannya dengan tangannya, jadi yang agak mengkhawatirkan sekarang adalah tangannya. Nenek mengalami patah tulang!” cerita Mama.
Aku menghela napas. “Lalu, bagaimana dengan asam urat Nenek?! Sejak kapan nenek menderita asam urat, Ma?!”
“Sudah ditangani dokter penyakit dalam. Nenek juga rutin minum obat dan menjaga makannya! Mungkin karena sebulanan ini ada yang pesta dan nenek ikut makan makanan pemicunya, jadi yaaa...kambuh lagi!” Mama melihatku sejenak. “Kamu mau bertemu Nenek?!” selidik Mama. Aku melipat bibir.
“Nenek pasti benci sama Aku, Ma!” desisku.
“Mana mungkin Nenek benci sama kamu, Wi! Kamu itu cucunya! Setiap saat yang ditanya itu, kapan kamu pulang! Sampai-sampai Mama bosan mendengarnya!” Mama tertawa getir. “Tapi kamu benaran pulang. Mama senang, Wi!” Mama membelai kepalaku yang tertutup hijab.
Ditemani Mama, Aku melangkah masuk ke dalam ruangan di mana Nenek dirawat. Bersyukur Nenek tidak mengalami benturan di kepala seperti pikiran burukku. Walau patah tulang bukan hal yang bagus. Setidaknya, Nenek tidak mengalami koma dan harus dirawat di ICU. Entah mengapa mendengar ICU, membuat bulu kudukku meremang. Pengalaman Papa Yoyo sudah cukup untuk menjelaskan betapa takutnya Aku dengan ICU.
Nenek sedang tertidur saat Aku berjalan menghampiri brankarnya. Tangan kanan Nenek dibalut gips. Sementara tangan kirinya dialiri oleh selang infus. Nenek terlihat pulas. Rambutnya telah memutih secara keseluruhan. Membuatku menyesali diri karena telah begitu lama melewatkan kesempatan.
Aku tak sanggup berkata apapun. Tapi tangisan menjelaskan semuanya. Betapa Aku merindukan Nenekku. Setengah jam kuhabiskan memandangi wajah Nenek. Menurut Mama, Nenek baru saja diberi obat tidur sekaligus pereda nyeri. Sehingga bisa tidur dengan tenang. Aku melangkah keluar dari ruang rawat inap. Diikuti Mama dari belakang.
“Kamu pasti belum makan, Wi! Mau Mama temankan makan di kantin bawah?!” tanya Mama.
Aku menggeleng. “Aku mau ke Musala, Ma! Mau salat duha dulu!” Mama menunjukkan arah musala. Membawa ransel, Aku bergegas ke sana. Melepas lelah, mengadu kepada Sang pemilik alam semesta. Allah subhanahuwataala.
Lagi-lagi Aku menumpahkan tangisku di Musala. Kali ini lebih hebat. Terisak-isak Aku menghapus air mata yang tumpah ruah. Beruntung di dalam Musala tidak ada yang tengah salat. Jadi Aku tidak akan mengganggu ketenangan mereka beribadah. Melihat Mama, melihat Nenek, membuat air mataku semakin bercucuran lagi. Betapa banyaknya perubahan yang terjadi kepada Mereka. Terlebih Mama. Sejak kapan Mama menjadi setua itu? Apa hidup ini terlalu keras untukknya? Bukankah tanpa ada Aku, Mama tidak akan kerepotan mengurus anaknya? Mama tidak akan kesusahan menghadapi betapa keras kepalanya Aku?
Selama ini, Aku menganggap telah menjadi pribadi yang hebat karena mampu merantau jauh dari keluarga. Tapi, hebat apanya jika keluargaku saja, Aku terlantarkan!. Alih-alih menjaga mereka, Aku sibuk dengan perasaan dan amarahku sendiri. Merasa diri paling sedih, padahal paling egois!.
Aku keluar dari Musala dengan perasaan lebih tenang. Setelah menumpahkan semua keluh kesah, menyandang tas, Aku berjalan menuju tempat Mama duduk tadi. Tapi, Aku tidak menemukan Mama di sana. Pikiranku, mungkin Mama sedang bersama nenek, menemaninya. Alhasil, Aku putuskan untuk turun ke bawah, mencari kantin. Perutku belum di isi sejak tadi. Hanya menyantap makanan yang disediakan di pesawat tadi.
Kantin lumayan ramai. Seperti foodcourt, Aku memesan lontong sayur. Mencari kalau-kalau ada sate padang di sini. Tapi tidak ada. Hanya da nasi goreng, nasi plus ayam geprek. Aku mengambil tempat sedikit jauh dari orang-orang. Menyantap makanan dalam diam. Saat kepalaku tertunduk dalam mengaduk-aduk kuah lontong, kurasakan meja tempatku duduk bergoyang. Serta merta Aku mengangkat kepala dan mendapati sudah berdiri di hadapanku dengan tampilan yang lebih kacau lagi.
“mbak!” seru Nana tertahan. Air matanya langsung tumpah. Berkali-kali dia menyusutnya, tetap saja air mata itu turun lagi. Aku menyodorkan tisu. Nana menghapus mata dan pipinya yang basah. “mbak sudah di sini. Aku senang, mbak!” serunya. Terlihat lega dan bahagia.
“Kamu mau sarapan?” tanyaku. Tidak enak makan sendiri. Nana menggeleng.
“Aku sudah makan tadi, sama Mama!”
“Mama yang bilang Aku di sini?!” tanyaku. Nana menggeleng.
“Aku baru dari Apotek dan melihat mbak masuk ke dalam kantin. Aku pikir, Aku sedang berhalusinasi, tapi ternyata nggak. Mbak benar-benar ada di sini sekarang!” senyumnya. Ternyata Nana sudah sangat dewasa sekarang. Lihatlah, penampilannya jauh berbeda saat delapan tahun yang lalu. Sekarang Nana juga berhijab sama sepertiku dan Mama. Bahkan pakaiannya lebih syar’i ketimbang pakaianku. Dengan hijab lebar yang menutupi hampir setengah badannya, dipadukan dengan gamis berwarna hitam. Wajahnya putih bercahaya, tanpa dipolesi make-up. Mungkin menurunkan warna kulit Papa Yoyo yang putih seperti orang Cina. Melihat Nana, Aku seperti melihat perpaduan wajah Papa Yoyo dan Kak—ah, kenapa harus teringat dia lagi?! Pasti dia tidak akan bersedia datang ke sini setelah apa yang terjadi kepadanya enam belas tahun yang lalu. Walau Nana adik kandungnya, dan Mama adalah Mama tirinya, Aku rasa dia tidak akan mau datang kemari.
Aku menghabiskan lontong sayur tanpa nafsu sama sekali. Rasa khawatir, sedih, bahagia telah memutar-balikkan rasa laparku.
“Jadi, kapan kamu wisuda?!” tanyaku saat bersisian dengan Nana, menuju ke tempat Nenek.
“Sebulan lagi. Mbak masih di sini, kan?!” tanyanya menoleh. Meminta kepastian. Aku hanya menghadiahinya senyum tipis. Nana mengangguk paham. “Aku lupa, mbak ada pekerjaan juga di sana. Tapi kalau bisa pulang, Aku ingin mbak ada saat Aku wisuda. Aku rindu kita bisa berfoto bersama, mbak!”
Aku menghentikan langkah. Menghadap Nana. Lalu meraih satu tangannya. Ah, adikku yang malang. Kedua kakaknya lebih senang menghabiskan hidup di kota orang daripada menemani adik semata wayang mereka.
“Apapun yang kamu lakukan, selagi itu baik dan tidak menyalahi aturan agama kita, maka lakukanlah. Ada atau tidak adanya Aku, doaku pasti selalu bersamamu.” Nana tertunduk. Aku tahu dia tidak terima Aku pergi lagi. Tapi, aku tidak bisa melepaskan semua yang sudah kubangun. Ada tanggung jawab yang harus terus dilakukan. “Di sini, ataupun di sana! Sama saja! Aku tetap akan menjadi satu-satunya saudara perempuanmu. Dan kamu akan terus menjadi adik kesayanganku. Selamanya.” Menggenggam erat tangannya. Nana mengangkat wajah. Dan sekali lagi, dia menangis. Membuat hidung putihnya memerah.00000
KAMU SEDANG MEMBACA
TANPA MU✔
ChickLit[SELESAI] Apt. Wirda Wati, S. Farm telah merantau sangat jauh, demi meninggalkan keluarganya, terutama Nenek. Semua berawal dari kedatangan sepupu nenek dari Arab, yang membuat hubungannya dengan kak Rayyan Fikri atau yang biasa dia panggil Kak Yay...