Menikahi seseorang yang sudah kita kenal siapa dirinya, siapa keluarganya, dari mana asalnya, masih tetap saja membuat pondasi hati melemah. Ketakutan-ketakutan yang tidak beralasan, ditambah dengan isu-isu dari orang-orang yang selalu memandang 'sinis' sebuah pernikahan, maka jangan salahkan jika begitu banyak pasangan yang tidak siap secara batin untuk menikah, meski lahirnya siap.
Apatah lagi jika menikah dengan orang yang tidak kita kenal sama sekali.
Namun, tidak begitu denganku. Setelah kebimbangan karena Nenek dan Ibu meminta agar kami menikah secepatnya, Kak Yayan akhirnya secara resmi melamarku ke keluargaku di sana. Sementara Aku masih tetap berkutat dengan pekerjaanku sebagai Apoteker di bumi lancang kuning ini.
Bu Sari--PSA--sudah mendesakku untuk segera pulang dan mengajukan cuti. Menurut beliau, sebaiknya calon pengantin sebisa mungkin sudah berkumpul dengan keluarga saat ini. Apalagi pesta pernikahan hanya tinggal satu minggu saja. Itu artinya--masih menurut Bu Sari--Aku harus memperbanyak momen bersama keluargaku disaat-saat sekarang. Terlebih, jika sudah menikah nanti, otomatis Istri akan ikut suami. Waktu ketika masih sendiri tidak akan sama lagi tatkala sudah memiliki pasangan. Jika masih sendiri, kita bebas mau melakukan apapun yang menurut kita baik. Namun, setelah menikah, semua keputusan harus dirembukkan secara bersama. Tidak ada lagi Aku ataupun kamu. Yang ada hanyalah KITA.
Aku mendorong troli menuju pintu kedatangan. Sebenarnya Aku tidak membawa banyak barang. Hanya saja sebelum berangkat, Nana menerorku dengan banyak permintaan. Salah satunya adalah minta dibelikan oleh-oleh khas Sumatra Barat yaitu Karak kaliang, bareh randang dan kalamai. Sebenarnya bisa saja membelinya di bumi Lancang Kuning ini. Tapi, karena Aku yang ingin bernostalgia ke propinsi tetangga--jadilah kuputuskan berangkat ke Padang. Apalagi, sudah lama juga tidak menjejakkan kaki ke kampus tercinta; Universitas Andalas. Menapaktilasi perjalananku selama menempuh pendidikan di sana.
Bagaimana begitu susahnya Aku dulu mengimbangi cara mereka berbicara--meski di Padang sendiri juga banyak Mahasiswa luar. Tapi tidak menutup kemungkinan bahasa menjadi salah satu kendala untukku. Dan betapa dulu, beberapa teman-temanku yang Minang asli menertawai cara berbicaraku dalam logat Minang. Menurut mereka, lebih baik Aku tidak usah belajar bahasa Minang lagi, karena bukannya mendengarkan Aku berbicara. Bagi mereka Aku lebih seperti orang yang sedang memperagakan lawakan.
Akhirnya, kakiku menyentuh lantai luar bandara, dimana sudah kulihat Nana melambaikan tangannya ke arahku. Wajahnya semringah begitu melihatku. Secepat kilat dia berlari kecil dan menghampiriku yang masih mendorong troli.
Nana buru-buru memeluk tubuhku. Lama.
"Ihh, ngapain kamu meluk mbak dikeramaian begini?" Tanyaku. Risih.
"Biarin! Ga boleh meluk mbak sendiri?!" Balasnya masih dengan pelukan yang erat. Karena Aku juga merasa senang dipeluk, akhirnya kubiarkan saja Nana memelukku. Lima menit kami habiskan dalam diam. Hingga perlahan pelukan Nana melonggar dan Aku mulai bernapas lega.
"Kan udah mbak bilang, ga usah susul ke bandara." Beritahuku, menatap Nana yang memegangi tas yang berisi oleh-oleh. Sementara tas pakaian dia biarkan Aku yang membawanya. Dasar!
"Sekalian, mbak! Lagian, mbak udah lama gak pulang ke sini, pasti lupa jalannya!" Cerocos Nana, membuatku ingin mencubit hidungnya.
"Sombong amat, sih! Baru beberapa bulan juga mbak dari sini, kamu udah berani bilang mbak nggak pernah pulang!" Dumelku, menimbulkan kekehan dari bibir Nana.
Ternyata Nana sudah memesan taksi yang langsung menyambut kami. Pak supir membantu memasukkan barang bawaanku yang tidak seberapa untuk orang yang merantau jauh dan sudah sangat lama. Ya, Aku hanya membawa beberapa pakaian saja, karena Mama sudah mewanti-wanti jauh-jauh hari. Menurut Mama, Ukuran tubuhku tidak jauh dari Nana. Jadi dari pada berat-berat membawa pakaian, maka Aku bisa meminjam baju Nana saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANPA MU✔
ChickLit[SELESAI] Apt. Wirda Wati, S. Farm telah merantau sangat jauh, demi meninggalkan keluarganya, terutama Nenek. Semua berawal dari kedatangan sepupu nenek dari Arab, yang membuat hubungannya dengan kak Rayyan Fikri atau yang biasa dia panggil Kak Yay...