09| Iya, Mereka Cocok

179 56 471
                                    

"Jagain yang bener, jangan dikasih ice cream sama permen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jagain yang bener, jangan dikasih ice cream sama permen. Kalo mau bikin susu, pastiin lagi airnya anget-anget kuku, jangan terlalu panas atau terlalu dingin. Mandiinnya pelan-pelan aja, jangan sampe ada air masuk ke telinganya Hazel. Kalo nangis, jangan dibentak suruh diem, tapi alihkan perhatiannya sama benda sekitar. Kalo bener-bener rewel bawa aja ke rumah Mama Yasmin, minta tolong Nara buat jagain. Ngerti?"

"Gimana mau nggak ngerti, ini udah yang ke-tujuh kalinya Bunda bilang ini dari pagi tadi. Mau Kakak ulang?"

Sinta tersenyum lebar lalu memeluk putra sulungnya. Mengusap rambut halus Haikal lalu membisikan kalimat keramat yang sangat disukai oleh Haikal.

"Uang jajan kamu udah Bunda kirim dua kali lipat."

Seolah mendapatkan energi dengan kekuatan berjuta volt, Haikal langsung menegakkan tubuhnya. Melepas pelukan sang Bunda lalu berdiri tegap sambil hormat menghadap wanita yang sudah melahirkannya. Apapun tugasnya, bila ada uang maka akan dilaksanakan dengan hati senang.

"Siap! Hazel aman! Percayakan semua ini pada Haikal!"

Di hari sabtu yang tidak terlalu cerah ini Haikal ditugaskan untuk menjaga sang adik untuk beberapa jam ke depan di karenakan Sang Bunda harus menghadiri undangan dari salah satu kolega bisnis si Kepala Keluarga. Sedangkan Jaka, alias ayah dari Haikal itu sedang berada di luar kota. Jadilah Sinta menyempatkan waktu untuk datang, kendati si bungsu sedang dalam masa pemulihan setelah sakit demam dua hari yang lalu.

"Ayo, semangat demi uang jajan! Lo nggak boleh makan gaji buta, ntar perutnya buncit kayak tikus-tikus di gedung senayan," gumamnya seraya bergidik ngeri.

Sayup-sayup Haikal mendengar suara rengekan Hazel dari arah kamar si bungsu. Ah, sepertinya bayi gembul yang membuatnya gagal menjadi anak tunggal itu sudah bangun. Dengan langkah lebar Haikal berlari menuju kamar Hazel, membuka pintu bercat putih itu perlahan lalu masuk tak kalah pelan. Bukan apa-apa, Hazel itu suka kagetan. Nanti bukannya berhenti nangis, Hazel malah tambah kejer.

"Aduuuh, sayangnya Abang udah bangun? Cup-cup-cup, jangan nangis dong, jelek ntar mukanya kayak Ayah."

Haikal membawa Hazel pada gendongannya, gendongan seperti koala yang membuat Hazel nyaman menyenderkan kepalanya pada ceruk leher Haikal. Setelah memastikan sang adik berhenti menangis, Haikal membawa langkahnya turun lalu duduk di sofa ruang keluarga.

"Tadi mimpi apa Zel? Mimpiin gebetan? Apa mimpiin Kakakmu yang ganteng ini?" tanya Haikal sembari mengelus punggung sempit Hazel yang masih terisak lirih.

"Ndaa, Zel mau ndaa, hiks..." (Bunda, Zel mau Bunda)

"Bunda lagi berperang memberantas kejahatan dunia, Zel. Kamu nggak usah cengeng, ntar Kakak kasihin ke badut, nih, kalo masih nangis." Haikal membujuk sang adik dengan sedikit ancaman.

"Mimi, Zel mau mimi," gumam Hazel di pundak Haikal.

Mendengar itu Haikal lantas beranjak dari duduknya, lalu kemudian membaringkan Hazel di atas sofa sembari memberikan boneka beruang kesukaan adiknya. Hazel tentu saja menurut, toh bocah itu tahu jika Kakaknya pergi untuk membuatkan susu.

No LongerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang