| BAB 28
"Bahagia tidak melulu diukur dan didapat dengan uang. Sebab, hal-hal sederhana seperti menghabiskan waktu bersama orang terkasih pun bisa menjadi kebahagiaan yang tak terkira, yang tidak semua orang belum tentu bisa mendapatkannya."
"Sana!" Asta mengode melalui gerakan kepala. Senyumnya timbul begitu melihat Rasa yang masih tampak enggan melangkah maju, untuk pulang.
Rumah yang Rasa tinggalkan selama tiga hari berturut-turut ini nampak sepi. Pintu belakang yang biasanya terbuka menampilkan aktivitas Elisa pun kali ini tertutup rapat. Ada perasaan rindu sekaligus takut yang membuat Rasa masih tertambat di sini. Bimbang antara maju, atau mundur.
Mendadak Rasa menoleh ketika tangannya digenggam hangat oleh Asta. Mengerjap pelan saat sorot mata lelaki itu seolah mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tidak seburuk yang Rasa pikirkan.
Rasa agaknya memilin bibir, sebelum helaan napasnya terembus dengan kasar. Ia balas menggenggam tangan Asta, berusaha menyalurkan kegugupan yang menyerang dirinya secara tiba-tiba.
"Rasa takut, Kak As," adu Rasa melirih. Ketakutan mengubah suaranya menjadi serak, seolah ingin menangis. Menularkan pula keringat dingin yang timbul di telapak tangan.
"Nggak apa-apa." Senyum Asta kian melebar, seiring dengan satu tangannya yang naik membelai puncak kepala Rasa. "Semuanya akan baik-baik aja. Oke?"
Rasa memilin bibir, lagi. Ia bersitatap dengan Asta cukup lama, sebelum pada akhirnya mengangguk patah-patah. Rasa tidak menemukan kebohongan dari ucapan menenangkan yang dilontarkan Asta pada mata kelam itu. Membuatnya merasa lebih baik dan menarik Asta untuk menapaki lantai teras.
"Assa---" Namun, belum sempat dirinya mengetuk pintu, pintunya sudah lebih dulu terbuka dari dalam. Menampakkan sosok sang mama dengan wajah terkejutnya. Sosok yang dengan teganya Rasa abaikan selama tiga hari belakangan ini.
"Assalamu'alaikum, Ma," lanjut Rasa dengan suara lirih. Lekas menunduk dalam-dalam, tanpa berani menatap wajah Elisa.
Segera Elisa menarik Rasa dalam dekapan. Terlampau erat sampai genggaman tangan Rasa dengan Asta terlepas begitu saja. Tangis Elisa pun mendadak mengisi ruang. Meledak keras hingga menularkan ngilu dalam dada.
"Kamu ke mana aja? Ke mana aja sampai nekat pergi saat hujan petir seperti itu?" Sekuat mungkin Rasa menggigit bibir menahan luapan tangis, tapi sia-sia mendengar suara Elisa yang serak.
"Apa kamu nggak mikir gimana khawatirnya mama saat tahu kamu pergi nggak tahu ke mana? Saat kamu abai sama pesan Zela dan yang lainnya? Hm? Nggak mikir?" sentak Elisa yang mana membuat Rasa kian kesulitan menahan tangis. Gadis itu menyembunyikan wajah di ceruk leher sang mama, seiring dengan kedua tangan yang naik dan mengerat di sisi baju Elisa.
"Mama di sini gelisah. Aktivitas jadi tak tentu arah. Gimana mau terarah, kalau pikiran mama terpusat ke kamu? Selalu mikir. Kamu udah makan belum? Apakah baik-baik aja? Sehat atau nggak? Mama khawatir."
"Cukup, Ma, cukup!" histeris Rasa yang tak kuasa menahan tangis. Mulai sesenggukan sampai air matanya pun menderas. Membasahi area leher sang mama. "Cukup ... Rasa tahu Rasa salah, Ma. Maaf, maaf," lanjutnya dengan perasaan sesal luar biasa.
Keduanya terbuai dalam tangis kerinduan selama beberapa saat, sampai pada akhirnya suasana sedih itu perlahan memudar ketika tawa kecil Elisa merebak. Lekas menciptakan jarak. Mengamati setiap detail wajah Rasa, anak gadis satu-satunya.
"Jelek banget," ejek Elisa sambil terkekeh dan mengacak rambut Rasa gemas. "Dilihatin Asta, tuh. Nggak malu?"
Mendengar namanya disebut, otomatis membuat Asta tersentak. Lelaki itu menggulirkan pandang, pada Elisa yang melirik menggoda, sedang Rasa yang memasang wajah cemberut. Ekspresinya dua kali lebih menggemaskan, dengan bibir yang mengerucut lucu. Persis seperti anak kecil yang merajuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Alter Ego Boyfriend | End
Teen Fiction[SCHOOL | ROMANCE | SLICE OF LIFE | FAMILY] Bahasa: Indonesia Baku dan Non-Baku, Bahasa Jepang, dan Bahasa Jawa Ngapak Rate: (13+) # 1 in Half Fiction # 7 in Masa SMK # 3 in Matematika # 1 in Akuntansi "Tanganku begitu kasar hingga aku tidak bisa me...