| BAB 25
BAGIAN DUATerlampau terlena pada perseteruan panas yang seolah tak berujung, Elisa dan Rudi tidak menyadari ada orang ketiga yang sedari tadi menyaksikan. Baru setelah keramik putih yang mereka pijaki teraliri cairan merah yang tidak terlalu kental, Elisa segera mengalihkan atensi. Matanya, sontak membulat lebar-lebar.
"RASA?!" kaget Elisa. Menularkan keterkejutannya pada Rudi yang turut mengalihkan atensi.
Panik. Elisa segera menghampiri, tetapi Rasa justru memberikan gelengan pelan, seiring dengan langkahnya yang mundur secara teratur. Isakan Elisa menggila saat itu juga, luka yang tersorot di mata cokelat Rasa menghadirkan lara dan pilu yang begitu menyesakkan dada.
Rasa mendengar semuanya. Tepat di mana gadis itu baru saja menginjakkan kaki di rumah dengan keadaan nyaris basah kuyup, telinganya dengan manis disuguhi dengan perdebatan alot yang memberikan jawab dari segala pertanyaannya sedari kecil.
"Rasa ...." Anak itu terisak. Dadanya naik-turun menahan sesak. Bahkan, luka di sekitar area punggung kaki yang Rasa dapatkan tanpa sengaja akibat lemparan piring sang ayah, perihnya tidak lebih menyakitkan dari perih di dada. Panas. Membara.
"Nak, dengerin mama dulu, ya?" bujuk Elisa lembut. "Obatin lukanya dulu, makan, terus obrolin hal yang tadi kamu denger. Oke?"
Mentah-mentah Rasa menggeleng. Gelengannya kian cepat saat Elisa berusaha meraih tangannya, membuat rambut yang sudah lepek oleh air hujan itu, beberapa terpaksa menempel di wajah.
Rasa mengulas senyum tipis. Pandangannya lekas ia alihkan pada sang ayah yang membeku di tempat. Menyeka air mata yang kian menderas dengan punggung tangan, Rasa berkata, "Dulu, bahkan sampai saat ini, Rasa sering bertanya-tanya. Apakah ada yang salah pada diri Rasa hingga Ayah memperlakukan Rasa begitu berbeda? Apakah Rasa melakukan kesalahan tanpa sadar yang membuat Ayah tidak seacuh ini pada Rasa?"
Rasa terisak.
"Rasa iri. Iri sama temen-temen. Iri sama Zela, sama Jihan, Maudy. Ketika ayah mereka melindungi, menghibur, dan memeluk anaknya penuh kasih, kenapa Ayah Rasa nggak gitu? Kenapa Ayah nggak seperti mereka yang membesarkan anaknya dengan penuh cinta? Ayah cuma sering nyalahin Rasa. Sering banding-bandingin Rasa sama orang lain."
Tercekat, Rasa kesusahan menelan ludah. Dadanya sesak, seolah digerogoti oleh sesuatu yang tak kasat mata.
"Nggak apa-apa, Yah." Rasa melanjutkan, napasnya terengah, tak beraturan. "Sekarang, Rasa tahu alasannya. Ayah tidak pernah percaya bahwa, bahwa aku ini anak kandung Ayah, bukan? Iya. Iya. Nggak apa-apa, Yah."
Cepat, Rasa membalikkan badan. Menjatuhkan ransel sekolahnya, menyeret kaki yang terasa perih untuk bisa membuka pintu utama. Elisa segera menahan, tetapi Rasa menyeret kakinya lebih lebar. Membuat luka gores itu kian menganga, darahnya membentuk aliran di sepanjang langkah.
Keduanya sama-sama saling terisak, oleh masalah yang juga sama. Pada akhirnya, Elisa telat menahan, pandangannya memburam begitu melihat tubuh rapuh anak gadisnya mulai berlari menerobos hujan, dengan kaki tertatih-tatih. Sesak pun tak enggak-enggan menyergap dadanya, membuat Elisa pun jatuh terduduk.
Ia belai aliran darah Rasa di lantai keramik, bibir keriputnya bergumam, "Ma-Maafin Mama, Nak."
Dan, Rudi masih terpaku di tempat. Menatap istrinya yang duduk lunglai, lalu beralih menatap pintu utama yang terbuka lebar-lebar, seolah memberikannya bayangan, bagaimana Rasa berlari meninggalkan rumah. Dengan sesak dan perasaan bersalah yang gadis itu tinggalkan.
***
Langit semakin muram, menggelap, bersamaan dengan titik hujan yang kian jatuh menderas. Angin kencang disertai gemuruh petir pun menjadi pemandangan yang sama sekali tidak mengenakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Alter Ego Boyfriend | End
Novela Juvenil[SCHOOL | ROMANCE | SLICE OF LIFE | FAMILY] Bahasa: Indonesia Baku dan Non-Baku, Bahasa Jepang, dan Bahasa Jawa Ngapak Rate: (13+) # 1 in Half Fiction # 7 in Masa SMK # 3 in Matematika # 1 in Akuntansi "Tanganku begitu kasar hingga aku tidak bisa me...