| BAB 35

285 37 0
                                    

| BAB 35
BAGIAN SATU

"Ngapain, sih, kita ke sini?" Baru saja Rasa duduk manis di pinggiran lapangan, Arta sudah menyuarakan kekesalan. "Aku tidak suka menonton sepak bola, Rasa," lanjutnya menegaskan.

Rasa hanya mencebik. Gadis itu melirik, kemudian menepuk-nepuk rerumputan di sampingnya. Mengisyaratkan Arta untuk duduk. "Cuma sesekali doang juga nontonnya. Sini, duduk dulu," bujuknya yang tak kunjung mendapat tanggapan.

Terpaksa, Rasa menarik lengan Arta, menggoyangkannya. Padahal,  niatnya baik. Ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama Arta dengan cara menonton sepak bola, dibanding saling berdiam diri tak ada obrolan.

"Tidak mau," tolak Arta keras kepala.

"Iish, ya, udah! Mending kamu beliin Rasa susu kotak selagi Rasa nonton. Ya?" Rasa menyengir. Menyerahkan satu lembar uang kertas berwarna ungu. Namun, respon yang didapat hanyalah mimik wajah Arta yang semakin datar. Tidak menyenangkan.

"Hmm." Lelaki itu langsung balik kanan, tanpa meraih uang sodoran dari Rasa. Sukses membuat Rasa menaikkan alis, bingung.

Ini Rasa mau ditraktir atau bagaimana?

Entahlah, Rasa tidak tahu. Gadis itu lebih memilih menggulirkan pandang pada para lelaki desa yang saling mengoper bola. Berusaha memasukkan bola pada gawang lawan. Aish, Rasa jadi merindu suasana seperti ini. Di mana dirinya bersorak-sorai mendukung tim RT-nya saat bertanding pada acara Agustusan.

Sayang, tahun ini pertandingan sepak bola ditiadakan. Mengingat tawuran tahun lalu yang nyaris menggemparkan lapangan, sebab anggota tim lawan bermain tidak sehat. Alhasil, cidera kepala tidak terelakkan dari anggota tim RT Rasa, berdarah.

Meski seperti itu, pertandingan sepak bola selalu jadi hal yang dinanti. Jika terus-terusan absen dari kegiatan tahunan, maka akan terasa hambar. Apalagi, banyaknya pedagang kaki lima yang mampu memanjakan lidah sebagai teman tontonan.

"Rasa! Woy, awas!"

Lamunan Rasa seketika ditarik paksa. Matanya cepat membulat begitu bola sepak melayang ke arahnya. Dan, bodohnya lagi, Rasa malah memejamkan mata. Menutup wajah dengan kedua tangan yang dirapatkan.

Dia, punya sikap refleks yang buruk.

Dug!

Rasa sukses berjengit. Makin memejam erat saat bola sepak terdengar beradu. Loh, loh, tapi, kok ... Rasa tidak merasakan sakit apa pun layaknya orang yang terkena benturan bola?

Penasaran, segera Rasa turunkan kedua tangannya dari jangkauan wajah. Dan, pemandangan pertama yang Rasa lihat, adalah sosok lelaki jangkung yang rela memasang badan untuk menghalau bola. Rasa susuri lelaki itu mulai dari ujung kaki ke ujung kepala, yang seketika membuatnya jadi seperti orang dungu.

"Re ... Rega?" Rasa terbata. Tubuhnya langsung lemas. Sama sekali tidak menyangka bahwa sosok yang mau memasang badan untuk dirinya ialah Rega Widjaksono, cinta pertamanya, saat Sekolah Dasar dulu.

Rega masih sama. Masih setampan dulu, meski kulitnya agak menghitam karena mungkin sering terpapar sinar mentari. Kaos jersery Barcelona favorit lelaki itu juga masih sering dipakainya.

Di lain sisi, tanpa Rasa sadari, Arta baru saja kembali. Tatapnya berubah datar, menyorot tepat pada Rasa dan Rega yang masih belum berubah posisi. Ada gemuruh hebat dalam dadanya menyaksikan hal itu, yang membuat Arta berdesis sambil meremat susu kotak hingga bungkusnya robek. Mencecerkan cairan susu.

"Rasa?" Suara itu, Rasa mengenalnya. Segera Rasa dorong tubuh Rega menjauh, dengan kesadaran penuh.

Ya, Tuhan. Baru kemarin Rasa bilang mencintai Arta dan tidak meninggalkannya, tetapi Rasa malah memamerkan hal tidak menyenangkan untuk Arta, walau tidak disengaja.

My Alter Ego Boyfriend | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang