| BAB 23

445 51 6
                                    

| BAB 23
BAGIAN SATU

"Rasa, buka pintunya!"

Rasa terkesiap. Jantungnya seolah nyaris putus dari tempatnya saat itu juga. Matanya bahkan membelalak resah menatap buku tulis yang berserakan hasil imajinasinya. Ia merupakan tipe-tipe penulis yang menuangkan hasil imajinasinya ke buku tulis terlebih dahulu, sebelum di-upload ke salah satu platform.

"Rasa, jangan pura-pura tuli kamu!"

"Iya, Ayah. Sebentar!" balasnya turut berteriak.

Buru-buru Rasa merapikan buku tulis yang mulanya berserakan menjadi tumpukan yang lebih enak dipandang. Lalu, ia beranjak, membuka pintu kamarnya yang sengaja dikunci sampai-sampai digedor ayahnya berkali-kali.

Sembari menarik sejumput rambut ke belakang telinga, Rasa menyingkap gorden yang menghalangi pintu. "Iya. Ada apa, Yah?"

"Minta uang kamu!" Rudi, sang Ayah dari Rasa berdiri dengan angkuh. Tangan kanannya terulur, berusaha meminta lembaran uang dari anak gadisnya dengan cepat.

"Rasa lagi enggak punya uang, Ayah." Gadis itu menggeleng. Detik berikutnya ia berjengit kala sang Ayah kembali menggebrak pintu. Kilatan amarah yang berkobar dari sepasang bola mata Rudi buru-buru membuat Rasa menundukan kepala. Takut.

"Berikan uangnya! Cepat!" titah Rudi tanpa mau dibantah.

"Rasa beneran lagi nggak punya uang." Punya beberapa, tetapi Rasa terlampau enggan memberikan uang tersebut. "Lagian, pasti uang itu buat beli rokok lagi, kan, Yah?" tanyanya, memberanikan diri kembali beradu tatap.

"Aish. Nanti Ayah ganti. Cepat berikan. Mau beli rokok!"

Rasa memilin bibir, sebelum embusan napasnya yang kasar menyapu udara dengan lembut. Sama seperti Aksa, hubungannya dengan sang Ayah sebetulnya tidaklah baik. Rasa seringkali lelah. Malas hanya sekadar melihat sosok pria paruh baya itu.

Bukan tanpa sebab, Ayahnya hanya merupakan mantan tukang becak yang sekarang beralih menjadi seorang buruh harian lepas. Pendapatannya sama sekali tidak menentu, tetapi setiap mendapatkan uang, Ayahnya justru langsung menghabiskannya dengan membeli rokok dan hal-hal yang tidak perlu.

Padahal, rokok tidak ada manfaatnya sama sekali. Tidak bisa dimakan. Tidak bisa juga untuk diminum. Rokok hanyalah sebuah candu untuk memenuhi hasrat dan boomerang bagi si perokok itu sendiri. Dan, Ayahnya, selalu saja kelimpungan jika tidak bisa merokok meski sekadar satu hari.

"Ayah selalu bilang seperti itu, tetapi Ayah. Ayah nggak akan pernah bisa mengganti semua uang yang Ayah pinjam hanya dengan merokok seperti ini." Intens, Rasa menatap Rudi. Gurat lelah tercetak jelas di wajahnya yang mungil.

"Apa Ayah sama sekali nggak pernah kapok selalu terlilit utang? Nggak pernah merasa bersalah selalu jual perhiasan anak-istri, Yah?"

Bahkan, perhiasan-perhiasan yang dulu ibunya beli untuk Rasa, kini hanya tersisa sepasang anting yang selalu Rasa pakai. Juga satu cincin masa kecil yang tidak lagi muat di jari-jemari Rasa.

"Ayah nggak capek kayak gini terus?" Lirih, ia bertanya. Nadanya seolah begitu pasrah.

"Ayah di sini buat minta uang, bukan minta diceramahin, Rasa!"

"Tapi, Rasanya capek, Yah! Capek!"

Suasana mendadak hening. Rudi terdiam ketika dapat menangkap air mata yang mulai merebak di bola mata anaknya. Pria itu tidak tahu, Rasa mati-matian menahan sesak dan air mata yang hampir meluruh membasahi pipi.

"Ayah boleh merokok. Silakan, kalau itu kebutuhan pribadi Ayah yang enggak pernah bisa dihilangkan. Tapi, Ayah juga harus ingat. Ayah nggak lagi sendiri. Ayah punya keluarga yang harus dinafkahi, dicukupi kebutuhannya, dan diberikan cinta serta kasih sayang. Oleh karena itu, please, Ayah nggak bisa terus-terusin egois dengan mementingkan kebutuhan diri sendiri."

My Alter Ego Boyfriend | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang