Aku berdiri, seorang diri
Sepanjang pesisir selatan pulau Jawa
Kutatap hamparan luasnya lautan biru,
Menyatu dengan nabastala
Menatap aksa hingga batasnyaHanya embusan angin yang menemani diri ini
Menatap jauh ke seberang samudera
Kutitipkan bait pada sarayu
Aku selalu percaya,
Perasaan itu akan sampai padanyaAku percaya,
Hanya perlu menunggu sejenak,
Hingga sang mentari beristirahat di ufuk barat
Seruling bambu,
Menjadi penutup dari sajakkuSambil memeluk boneka octopus berukuran small, Rasa mengulum senyum. Kekesalannya raib begitu saja. Sama sekali tidak menyangka kekasihnya ini benar-benar membuatkan puisi senagai hukuman dari aksi merajuknya.
[Sudah, kan, puisinya?]
[Ayo, pap. Aku kangen. Ingin lihat wajah kamu]Senyum Rasa sukses berubah menjadi tawa. Memenuhi sudut ruang kamar yang hening. Lima menit masih setia merebah sembari menatap kolom chat, segera Rasa beranjak duduk. Meletakkan bonaka octopus di samping tubuh.
Astaga. Padahal, baru satu pekan mereka menjalani hubungan jarak jauh, tapi kekasihnya sudah melontarkan kata kangen dengan entengnya.
[Pap. /Pose datar]
[Pap. /Pose senyum][Cantik semua]
[Kamu selalu tampak cantik dengan caramu sendiri. Kamu memiliki daya tarik yang mampu memikatku dan tidak dimiliki gadis lain. Bahkan, saat tertidur pulas pun, kamu masih terlihat imut dan cantik]
[Kamu tahu? Itu yang aku bisikkan semalam di telingamu. Beserta kecupan hangat di keningmu]Rasa memicingkan mata, lekas geleng-geleng setelahnya. Arta sedang melucu, ya?
Dibandingkan tokoh utama novel yang bangun tidur masih dalam keadaan anggun dan menawan, Rasa justru terlihat seperti macan buas dengan rambut awut-awutannya. Terlebih, gaya tidurnya ini yang persis bagai wahana. Alias berantakan!
[Oh, iya. Bagaimana boneka ubur-uburnya? Suka?]
Ah, iya. Boneka octopus ini pemberian dari Asta, sebagai bentuk perpisahan, sekaligus pengingat bahwa kekasihnya memiliki dua kepribadian yang berbanding terbalik. Persis seperti boneka ini, memiliki dua ekspresi. Satu tersenyum, satunya lagi cemberut.
[Boneka gurita, Ganteng]
[Lebih mirip ubur-ubur, Rasa]
Terserah. Tidak ada jauh bedanya dengan stiker kucing imut memakan ikan tanpa kepala, yang Asta dan Arta samakan dengan kucing memakan wortel.
Beginilah hubungannya dengan kekasih alter ego. Selalu saja ada hal-hal kecil yang diributkan. Dan, sejak insiden kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya satu pekan yang lalu, mereka lebih over lagi dalam mengawasinya, bermodalkan kemampuan meraga sukma.
Sementara, di lain sisi, tepatnya di salah satu brankas rumah sakit ternama di kota, terbaring seorang lelaki yang setengah duduk. Satu pekan berdiam di sana, menumbuhkan bulu-bulu halus di rahang. Juga kumis yang kian menebal setelah sekian lama tak terawat.
"Arta Dimitrio." Bibirnya seketika berdesis. Menyuarakan sebuah nama yang mampu membuat otaknya mendidih. Giginya bergemelutuk. Tangan kanannya yang bebas meremat kuat topeng hitam pada genggaman. "Untuk kedua kalinya, kita kembali bertemu. Dan, masih dengan perihal gadis yang sama," kekehnya kemudian.
Rematannya menguat. Kedua sudut bibirnya tertarik, seiring dengan seulas senyum smirk yang terlihat menyeramkan pada wajahnya yang masih membekas lebam keunguan. Di tangan kirinya terpasang gips. Alasan dari keberadaannya di rumah sakit ini. Patah tulang yang lumayan parah. Nyaris membuatnya kehilangan akal sebab satu kakinya juga turut didiagnosa patah tulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Alter Ego Boyfriend | End
Teen Fiction[SCHOOL | ROMANCE | SLICE OF LIFE | FAMILY] Bahasa: Indonesia Baku dan Non-Baku, Bahasa Jepang, dan Bahasa Jawa Ngapak Rate: (13+) # 1 in Half Fiction # 7 in Masa SMK # 3 in Matematika # 1 in Akuntansi "Tanganku begitu kasar hingga aku tidak bisa me...