| BAB 31

326 36 0
                                    

| BAB 31
BAGIAN SATU

Aksa menatap kepergian sepasang sejoli itu dengan gemuruh hebat dalam dada. Tangannya mengepal sempurna sampai buku tangannya memutih seperti orang kehilangan nyawa. Sorot matanya menyiratkan kemurkaan begitu mengetahui bahwa Rasa benar-benar dekat dengan lelaki lain.

Mahen sama sekali tidak berbohong. Pernyataannya benar. Bahkan, Aksa segan mengakui bahwa Arta lebih tampan darinya. Tidak, tidak. Lebih tepatnya, sedikit lebih tampan, bukan sangat tampan.

"Kamu terlalu remeh dengan peringatanku, maka nikmatilah sebuah rasa sakit yang akan kamu dapatkan."

Sejenak, Aksa membeku. Bisikan Arta itu sudah sekian menit berlalu, tapi tetap saja membekas dalam ingatan, entah mengapa. Rasa-rasanya, Aksa tidak asing dengan kalimat itu. Pun tidak asing dengan sorot mata yang Arta tujukan untuknya. Arta, mirip sekali dengan seseorang.

Namun, siapa?

"Aksa Leluhur!" Seruan mendadak menarik kembali kesadaran Aksa. Lelaki itu berbalik dengan ogah-ogahan. Dua detik kemudian, Aksa sukses mundur selangkah sebelum jatuh tersungkur lengkap dengan desisan kesal.

"Woy, lo kenapa? Masa tersepona sama gue sampai segitunya?!" Mahen tergelak. Pemandangan Aksa jatuh tersungkur seperti ini memanjakan matanya seketika. Lelaki itu sampai tertawa terpingkal-pingkal dan memegang perutnya sendiri yang terasa nyeri.

Dihadiahinya Mahen dengan sabetan sepatu yang Aksa layangkan. Membuat tawa Mahen dengan cepat beralih menjadi sebuah keluhan. Mahen elus-elus pahanya yang berkedut sambil menatap Aksa dengan sorot mata geli.

"Beli topeng kek gitu di mana?" tanya Aksa to the point. Lekas berdiri dari posisi jatuhnya. Ia terkaget sendiri ketika Mahen menghampirinya dengan topeng hitam yang melekat di wajah. Mengingatkannya pada seseorang yang telah menghajarnya sampai ia singgah di ranjang pesakitan beberapa hari.

"Ah, ini?" Mahen melepaskan topengnya. Juga mengacak rambutnya yang sudah mulai lebat menjadi lebih berantakan. "Tuh, di depan halte ada yang jualan topeng," todongnya sambil menunjuk pedagang topeng di depan halte. Mengalihkan atensi Aksa untuk tertuju ke sana.

"Lo mau beli juga?" Mahen meledek.

"Idih, kek bocil aja lo mainan topeng!" ejek Aksa spontan. Memukul belakang kepala Mahen dengan tangan ringan.

Mahen tertawa. "Gue beliin buat sepupu kali. Ngidam topeng, tuh, bocil."

Aksa turut tertawa. Sebenarnya, ia tengah terpaksa menutupi perasaan gugupnya dengan candaan receh. Meskipun topeng itu tidak nyaris sama dengan milik lelaki asing dulu, tetap saja warna hitam yang mendominasi pada topeng tersebut berhasil merenggut sedikit keberaniannya.

Namun, yang jadi pertanyaan. Mengapa Aksa tidak bisa mengingat kalimat yang dilontarkan Arta sama persis dengan siapa?

Ah, sialan.

***

"Kak Ar, mau beli es krim!" Rasa berteriak. Menyuarakan keinginannya yang terlampau tiba-tiba hanya karena melihat poster iklan salah satu merek es krim yang cukup melegenda.

"Sudah makan?" Arta justru mengajukan tanya teramat klise ala anak sedang PDKT.

"Iish, nggak mau makan. Maunya es krim!" seru Rasa yang mulai merajuk. Melayangkan cubitan nakal pada pinggang Arta hingga membuat lelaki itu sedikit meringis.

"Kamu sudah makan atau belum? Hm?" Arta melirik spion. Ingin sekali Arta cubit bibir monyong dari pemilik wajah masam yang terpantul di kaca spion itu, tetapi seketika teringat bahwa dirinya masih berkendara. Alhasil, Arta hanya mencubit tangan Rasa yang singgah di pahanya sampai gadis itu mengaduh kesakitan.

My Alter Ego Boyfriend | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang