| BAB 30
BAGIAN DUA"Rasa nggak butuh kasih sayang ayah orang lain. Rasa butuhnya kasih sayang dan kehangatan dari ayah Rasa sendiri. Ayah Rasa, yang di depan Rasa saat ini. Rudi." Mata Rasa menyorot tajam. Namun, Rudi justru menangkap sorot penuh luka batin yang Rasa tunjukan. Membuat rasa bersalah, lagi-lagi menggerogoti hatinya tanpa permisi.
"Memangnya, ayah bisa berubah?" Pertanyaan Rudi, terdengar penuh keputus-asaan.
"Kalau Ayah mau berusaha, Tuhan pasti akan nunjukkin jalan terbaiknya. Nggak ada yang nggak mungkin, Yah."
Rudi menelan salivanya kasar. "A-Ayah sama sekali nggak yakin," cicitnya sambil menundukkan kepala.
"Mantapkan hati Ayah dulu. Semua butuh proses. Nggak ada yang langsung instan gitu aja." Rasa mengulas senyum. Jemarinya tak ragu untuk saling bertaut dengan jari sang Ayah. "Tapi, jangan coba-coba untuk berubah karena manusia, Yah."
Kening Rudi mengerut. Membentuk gelombang tipis seiring dengan pesan Rasa yang berusaha dicerna. Beliau mendongak. "Kenapa?" bingungnya.
"Hati manusia itu rapuh, Ayah. Mudah banget goyah. Makanya, niatkanlah sesuatu karena Tuhan. Berubahlah karena Allah, karena sesungguhnya, Dialah yang maha membolak-balikan hati manusia."
Guna menutupi dirinya yang semakin merasa kecil di hadapan sang anak, Rudi merebakkan tawa. Beliau dekap sebentar tubuh mungil itu, sebelum menghadiahinya acakan pada rambut legam Rasa.
Rudi berharap, bisa benar-benar berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Acara membuat kue bersama yang sempat tertunda karena suasana mendadak melankolis, kembali dilangsungkan. Namun, tidak sampai lima menit, semuanya kembali berantakan. Rudi tidak sengaja menyobek wadah tepung terigu terlalu lebar, hingga langsung tercecer menjadi sedemikian rupa.
Rasa cemberut. Makin-makin cemberut lagi ketika Rudi mengibarkan bendera perang tepung terigu. Tawa pria itu merebak, sedang pekikan Rasa menguar lantang. Tepung-tepung yang harusnya menjadi bahan utama kue, malah mengotori wajah, tubuh, serta lantai yang mendadak licin akibat tertutup tepung terigu.
Pertempuran itu makin berjalan sengit. Sampai keduanya tidak sadar, mereka kompak melayangkan tepung terigu pada sosok Elisa yang baru saja memasuki area dapur.
Butir-butir tepung berjatuhan dari baju Elisa, seiring dengan mata perempuan itu yang terbuka. Menampilkan sorot garang. Rudi dan Rasa lekas saling pandang. Menelan saliva dengan kasar.
"Ayah duluan, Ma!" tuduh Rasa cepat.
"Eh, putrimu duluan, El!" tuduh Rudi balik.
***
"Aku duluan, ya!" Rasa melambaikan tangan. Tampaknya agak buru-buru. Bahkan, ransel yang Rasa gendong di balik punggung, tidak tertutup sempurna.
"Eh, mau ke mana?" Zela menimpali. Tidak biasanya Rasa pulang sendiri, kecuali jika dijemput oleh seseorang. Kebiasaan pulang-pergi selalu bersama membuatnya sedikit curiga.
"Oh?" Rasa setengah berbalik. Cengirannya muncul seiring dengan tengkuk yang digaruk canggung. "Mau COD. Kayak biasa," paparnya sambil mengangkat totebag di tangan kanan.
"Di mana?" Jihan ikut menimbrung.
"Di depan SMA Raksajaya," balas Rasa lugas. Sedetik kemudian langsung tercengang. Ia baru sadar bahwa SMA Raksajaya merupakan tempat di mana Aksa, si mantan kekasih yang menempuh pendidikan di sana.
"Mau ke sana jalan kaki gitu? Heh?!" Zela menyudutkan. Pikirannya tidak sampai ke Aksa.
Zela meraih ransel sekaligus jas organisasi OSIS yang tergeletak di meja. Refleks jaket tersebut ia layangkan pada lengan atas Rasa begitu gadis itu mengangguk mengiyakan atas pertanyaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Alter Ego Boyfriend | End
Teen Fiction[SCHOOL | ROMANCE | SLICE OF LIFE | FAMILY] Bahasa: Indonesia Baku dan Non-Baku, Bahasa Jepang, dan Bahasa Jawa Ngapak Rate: (13+) # 1 in Half Fiction # 7 in Masa SMK # 3 in Matematika # 1 in Akuntansi "Tanganku begitu kasar hingga aku tidak bisa me...