PROLOG

3.1K 212 36
                                    

"Jadi, lo mau ke mana?" Suara di dalam telpon bertanya dengan lamban. Seakan ragu. Tidak yakin dia berhak bertanya. Namun, ada sedikit nada ketus di ujung kalimatnya.

"Kalimantan."

"Gue pernah bilang kan, jangan pergi ke tempat gue ga bisa ngubungin lo." Kali ini si penelpon tidak malu mengeluarkan suara kesalnya.

"Dan gue bilang, gue ga seahli lo buat bersembunyi." Lelaki yang menempelkan handphone pada telinga itu tertawa, merasa lucu mendengar nada kesal dari dalam telpon.

"Ngapain di Kalimantan?"

"Healing."

"Hutan semua di sana. Lo kesasar dan ga bisa balik gimana?"

Senyumannya dia tahan meski orang di telpon tidak bisa melihatnya. "Ada sepupu gue di sana."

"Terus?" Suara itu semakin ketus.

"Dia nawarin gue jadi investor cafenya di sana."

"Lo resign dari jabatan tinggi cuma buat jadi investor cafe?"

"Ga usah takut kalo tiba-tiba biaya tempat tinggal lo di Inggris ga bisa gue bayarin," beritahu Haechan — pemilik suara yang sekarang berdiri di area parkir gedung Bank Swasta di lantai tujuh.

"Bukan itu masalahnya!"

"Duit gue ga bakal abis, Renjun. Gue masih pemilik saham di Bank dan perusahaan minyak di Kalimantan." Dia sombong, tapi kesombongannya memang berdasarkan kenyataan. Matanya melirik teman yang asik mengisap rokok di sebelahnya.

Terdengar hembusan nafas lemah dari telpon. "Bukan itu yang gue cemasin." Cara bicaranya kembali lamban dan ragu.

"Gue ga bakal ngilang." Haechan meyakinkan. "Gue bakal nelpon lo dan ngasih kabar terus menerus sampe lo bosan. Tapi, beberapa hari ke depan kayanya gue bakal ga punya sinyal."

"Ke mana?" Haechan terhibur dengan cara bicara yang mudah berubah.

"Masuk hutan."

"Telpon gue kalo lo udah keluar dari hutan."

"Iya. Ga usah cemas." Meskipun Haechan sangat suka memanggil emosi Renjun, dia harus ingat batas karena takut jika lelaki itu marah yang sesungguhnya marah, dia takut telponnya akan diputus sepihak. Lelaki itu berada di Inggris, jauh sekali pergi ke sana untuk membujuknya jika marah. "Gue perginya sama sepupu gue itu dan beberapa temen di sana."

"Lo punya temen di Kalimantan? Pantes kalo dinas ke sana lama." Tawa Renjun terdengar tidak ikhlas.

"Haha... Lo sekarang pinter ngomel ya."

Tidak terdengar tanggapan dari Renjun. "Njun...?" Haechan memangil.

"Mmm..." Renjun mengeluarkan suara mendengung dari dalam telpon.

"Njun..." Haechan harus menyebut namanya berulang kali saat lelaki itu ragu untuk bicara — sudah kebiasaannya sulit mengutarakan sesuatu.

"Are you really oke after I'm leave?"

"Really fine. Sekarang lo yang terdengar ga baik-baik aja jauh dari gue."

"Gila!" Ucap Renjun dengan dingin.

"Hahaha.... Kontak gue masih bernama gila ga di hape lo?"

"Malah ketawa. Dasar gila!!" Nada bicara Renjun semakin sengit.

"Iya, gue kangen lo," balas Haechan.

Jawab Haechan membuat Renjun kembali terdiam dan menciptakan hening. Bahkan nafas lelaki itu tidak terdengar dari telpon.

"Kok diem?" Rasa khawatir Haechan membuatnya penasaran dengan diamnya lelaki itu.

"Mmm... dude."

"Ya...." sahut Haechan.

"Yes, I miss you."

"Haha... Than is enough." Haechan tersenyum simpul.

"Ugh! I hate you."

"Yeah,  it's mean love, right?" Haechan terkikik dibuatnya.

"Terserah! Gue matiin telponnya ya."

"Oke."

Telpon itu diputus oleh Renjun. Lelaki itu malu setelah mengatakan kalimat manis. Haechan menjauhkan handphone dari telinganya dan menatap layar yang sudah mati dengan tersenyum.

"Gue masih heran kenapa semua orang pada pergi. Nemuin hidupnya masing-masing." Suara Jaemin di sebelahnya membuat Haechan sadar dari euforia singkat.

"Jangan sedih lo gue tinggal," kata Haechan kepada temannya itu.

Jaemin membuang rokoknya dan merentangkan tangan. Haechan menggapinya dengan dahi berkerut. "Ngapain lo"

Tidak mau menunggu, ditariknya Haechan dan dipeluknya lelaki itu. "Kalo gue kangen lo boleh mampir ke sana ga? Kan kalimantan deket. Saat lo kuliah di luar negeri jujur aja gue ga sanggup nyamperin lo."

Haechan membalas pelukkan Jaemin sambil tertawa. "Boleh banget, ntar gue beliin lo tiket pulang pergi."

Jaemin langsung melepas pelukkanya dan mencibir. "Sombong!"

"Wajar kan?"

Jaemin diam saja dan menyalakan batang rokok lainnya yang baru dia keluarkan dari kotak. Pandangnnya lurus ke depan menatap asap rokok yang dia hembuskan.

"Boleh gue ngasih saran ga?" Terdengar Haechan bicara kepada Jaemin dengan nada bicara lebih serius.

Jaemin menoleh.

"Jangan kelamaan mikir, ade gue bisa aja berubah pikiran dan bener-bener lupain lo."

Sebelah alis Jaemin terangkat. "Lo ngancam?"

"Lo takut Winter berpindah hati ke orang lain?" Haechan menebak.

Jaemin memindahkan arah pandangnya tanpa memberi tanggapan.

"Lo serius ga ada perasaan sama ade gue?"

Jaemin mengisap ujung rokoknya dalam, menahannya di dalam rongga dada sebelum menghembuskannya. "Berat, Chan," katanya pelan.

"Apa yang berat?"

"Winter ade lo."

"Terus?" Tuntut Haechan.

"Karena Winter ade lo, gue berharap gue adalah cowo baik-baik biar pantas buat dia."

"Bullshit!" Sela Haechan nyaring.

"Serius, Chan. Itu yang terus gue pikirkan."

"Lo takut gue ga nerima lo jadi ipar?"

Terdengar lucu di telinga Jaemin. Tawanya terdengar sumbang. Lalu, pandangannya kosong ke depan.

"Gue berharap saran gue, lo pikirin baik-baik." Haechan menepuk bahu Jaemin. "Perasaan Winter bukan hak gue ngatur. Yang gue tau, Winter sama keras kepalanya kaya gue. Jangan sampai dia benci sama lo gara-gara lo kelamaan mikir."

🍃

Hi!
Anggap aja ini cuplikan amat sangat singkat (?)

WALKING AROUND [2nd Book]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang