"Abang yang gue kenal..."
•
•
•
•
•"Kenapa secepat ini, Mas?" Leeteuk bertanya, orang yang dulunya menjabat sebagai Kepala Audit itu kini menggantikan posisi Haechan sebagai Pimpinan di kantor Cabang Utama di sebuah bank swasta terbesar di negara ini. "Saya pikir obrolan kita waktu itu tentang permintaan menggantikan kamu sebagai Pimpinan masih lama baru direalisasikan."
Haechan menggaruk ujung hidungnya. Tersenyum simpul selagi memikirkan jawaban.
"Seminggu yang lalu saya dikasih tahu orang HRD, kamu menyerahkan surat pengunduran diri." Leeteuk melanjutkan kalimatnya.
Sekarang kursi yang dulu selalu diduduki Haechan berganti pemiliknya. Dia bukan lagi seorang Pimpinan. Dia hanya pemilik gedung. Dulu, selalu rapi pakaiannya kala duduk di sana, berbanding terbalik dengan penampilannya sekarang: kaos oblong dan celana training saja—seperti pengangguran pada umumnya. Bahkan cukup mengenakan sandal rumah sebagai alas kaki.
"Lalu, saya dikasih kabar bahwa saya harus menggantikan kamu sebagai Pimpinan," ujar Leeteuk. "Kabar itu di telinga saya terkesan buru-buru, Mas."
Haechan tersenyum simpul.
"Saya pikir rencana kamu mengundurkan diri dari jabatan di kantor cabang karena mau kembali ke kantor pusat. Saya kaget mendengar kamu justru mau pindah ke Kalimantan."
Haechan adalah anak seorang Komisaris dari bank swasta terbesar, pemilik sebagian saham, pemilik gedung tingkat tujuh yang dijadikan kantor Cabang Utama—sebelum resmi mengundurkan diri dulunya dia juga seorang Pimpinan di kantor itu. Di lantai tujuh gedung itu, selain dijadikan parkiran mobil karyawan, sebagian luasnya dijadikan ruangan yang adalah tempat tinggalnya. Berangkat ke kantor hanya perlu turun satu lantai menggunakan lift.
"Di Kalimantan ada usaha lain, Mas?"
Tidak satu pun pertanyaan dijawab.
"Atau, kamu pergi jauh untuk menghindari sesuatu?" Leeteuk menebak.
Seketika tawa renyah Haechan terlantun singkat—dia harus menyudahi diamnya dan menjawab beberapa pertanyaan itu. Tidak sopan terus membiarkan lelaki itu bertanya dan dia diam saja. "Cari suasana baru, Pak."
"Jawaban kamu sama artinya membenarkan tebakan saya," kata Leeteuk.
"Yang mana?" Kedua alis Haechan bertaut.
"Menghindari sesuatu."
Lagi, Haechan tersenyum tanpa menjawab. Niatnya untuk menjawab pertanyaan dengan kalimat yang lebih panjang, tenggelam.
"Saya kan pernah muda, Mas. Tindakan pergi jauh untuk menghindari sesuatu itu memang perlu. Terkadang."
Haechan yang masih setia dengan senyuman simpulnya, mengalihkan arah pandangnya menghindari tatapan Leeteuk.
"Saran saya, tindakan menghindarnya jangan kelewat batas. Pergi teramat jauh, melupakan tujuan hidup, menyia-nyiakan umur muda." Haechan baru berumur tiga puluh. "Sayang masa mudanya, Mas. Kalau menghindarnya dengan melakukan hal bagus sih ga masalah. Menyibukkan diri dengan kegiatan positif, itu malah bagus."
"Tenang, Pak," sahut Haechan. "Perginya aku ke sana ga cuma untuk menghindari sesuatu. Ada beberapa kerjaan baru yang harus diurus."
"Jadi, benar dugaan saya?"
Haechan terkekeh. Kepalanya mengangguk samar.
"Sudah sore, Mas," seru Leeteuk kemudian, diliriknya jam di pergelangan dan menyadari hari sudah teramat sore. Haechan menemuinya di saat jam kantor berakhir. "Sebaiknya saya pulang. Kamu juga perlu siap-siap buat berangkat besok."