"Benar kata Dilan, rindu itu berat..."
•
•
•
•
•Pulangnya terpaksa.
Dengan mengenakan baju yang sama, Haechan pergi ke Jakarta. Kaos hitam dan celana pendek. Mengenakan sendal jepit. Dia tidak diizinkan menyebut alasan barang sekata pun untuk berpindah dari tatapan Winter.
"Mandi dulu deh gue," Haechan memohon.
Bukan membuka suara, Winter menjawab kakaknya dengan tatapan tajam. Matanya merah setelah menangis.
"Lo ga malu jalan sama gue dengan muka baru bangun gini?"
Winter mengeluarkan plastik berisi masker dari tas di bahunya. Mengeluarkan satu masker dari sana dan memasangkannya ke wajah Haechan.
Haechan mendesah. "Ya Tuhan ...."
"Cepat!" desak Winter. Bersedekap. Satu kakinya mengetuk-ngetuk lantai. Mengintimidasi dengan tatapan.
"Serius lo nyuruh gue pulang dengan tampilan kayak gini?" tanya Haechan. Dia mencoba meminta bantuan kepada Kun. Diliriknya kakaknya itu.
"Lo mau gue nangis lagi?" ujar Winter. "Gue bisa nangis lebih nyaring dari yang tadi." Haechan memeluk Winter. Berjanji ikut pulang. Mengajak masuk ke kamar kos milik Kun. Saat di dalam, dia mencoba bernegosiasi. Mereka sama keras kepalanya, tapi Winter tahu kakaknya itu tidak akan sanggup melihat adiknya menangis sekali lagi.
"Cepat Kakak ...," ucap Winter geram.
Haechan berdiri kaku di depan adiknya. Hendak melangkah menuju kamar mandi saja dia takut Winter akan berteriak. "Oke, gue pulang," cetusnya. Mencondongkan tubuh ke arah kanan, tapi tangan Winter langsung mencegat dia bergerak lebih jauh. "Izinin gue ngambil dompet sama hape aja. Please ...."
Winter melepas cengkeraman di kaos Haechan. Kakaknya itu terus dia tatap tajam memperhatikan setiap gerakkannya. Mendekati nakas di samping ranjang. Meraih handphone putih dan dompetnya di sana. Kakaknya itu mengacungkan dua benda itu ke udara, memperlihatkan kepada dirinya bahwa dia tidak berbohong.
"Ke bandara naik apa?" tanya Haechan kepada Winter.
Adiknya itu berdecak. Tubuhnya mengarah ke Kun dan menyunggingkan senyuman. Mengubah ekspresinya menyerupai anak kucing sedang meminta makan. "Mau anterin kita ke bandara, kan?" tanyanya sekaligus memohon.
"Pakai mobil gue?" sela Haechan.
"Mau naik taksi?" tanya Winter. "Yang ada kita bisa telat, terus lo senang ditinggal pesawat."
Haechan memutar bola matanya.
"Ya, ka ...." Winter memohon ke arah Kun.
"Gue sih ga bisa nolak Winter," ujar Kun. Berdiri dari tempatnya memperhatikan dua adik-kakak itu berargumen. "Lo sendiri tau adik lo gimana kalau ditolak."
Haechan mendengus. "Oke. Gue nyerah," ucapnya gusar.
Mudah bagi Winter mengatur perjalanan pulangnya Haechan. Aplikasi tiket penerbangan di dalam handphone hanya perlu menjentikkan jari. Nominal bukan permasalahan baginya.
Winter tahu tentang kepindahan kakaknya ke Kalimantan dari seminggu lalu. Dia juga tahu tentang rencana kakaknya ikut mendaki memasuki pegunungan hutan hujan tropis. Dia dan Chenle sekarang berada di dalam satu kapal yang sama. Mereka berbagi informasi. Sering membicarakan Haechan dan mengkhawatirkan banyak hal tentang lelaki itu. Awalnya tidak ada pikiran buruk, Chenle meyakinkan kakak mereka akan baik-baik saja meski mereka berdua tahu apa yang sedang dirasakan lelaki itu. Pergi jauh untuk menemukan suasana baru. Mencoba sibuk untuk lupa ketidaknyamanannya ditinggal Renjun.