"Sampai ketemu 2taun 8bulan kemudian..."
•
•
•
•
•Di sini Haechan sekarang, di gedung tempatnya menjabat sebagai Pimpinan kantor Cabang Utama. Bukan kembali untuk bekerja, melainkan pulang ke rumahnya—gedung bank adalah miliknya: lantai teras dijadikan ruangan tempat tinggal. Berangkat dengan pesawat penerbangan jadwal pertama dan tiba di kota itu menjelang siang. Bukan lagi seorang karyawan, dia masuk ke rumah melalui pintu di area parkir mobil di lantai tujuh. Kakinya menuju sofa di tengah ruangan, lalu menghempaskan tubuh di sana untuk beristirahat. Meski ditinggalkan, rumah itu tetap terasa nyaman—seorang ART diperkerjakan untuk merawat kebersihannya.
Bip, bip, bib ...Seseorang memencet password pada kunci pintu digital. Haechan tak perlu menengok siapa yang masuk tanpa permisi, itu Jaemin, dia yang memanggil lelaki itu untuk datang.
"Ngapain ke sini? Ada urusan? Kafe lo di sana lancar?" tanya Jaemin bertubi-tubi.
"Jaem," gumam Haechan. Dia bisa merasakan Jaemin duduk di sebelahnya, matanya sedang terpejam.
"Paan?" Jaemin menyahut malas.
"Gue rindu," ucap Haechan.
"Akhirnya ...," sambut Jaemin bersenandung. "Akhirnya lo punya perasaan ke gue. Akhirnya gue dihomoin juga."
Plak! Bantal sofa melayang menghantam tubuh Jaemin.
"Sinting! Main pukul aja," bentak Jaemin.
"Gue serius," ulang Haechan.
"I miss you too, baby."
Haechan membuka mata, duduk tegak dan meraih bantal sofa lainnya ingin dia lempar Jaemin.
"Galak banget!" teriak Jaemin, siapa tahu ada yang mendengarnya dan datang menolong sebelum bantal itu memukulnya. "Love language lo main kasar , ya, sekarang?!"
"Maksud gue, Renjun," beritahu Haechan. Bantal di tangannya tak jadi digunakan memukul, melainkan dia peluk.
Ekspresi mencibir Jaemin seketika terpampang. "Rindu? Ya bilang ke orangnya. Malah curhat ke gue. Ga ada yang bisa dijadiin teman curhat di sana? Kan ada abang sepupu lo."
"Ga bisa." Haechan menghela napas berat. "Curhat ke Bang Kun? Yang ada gue diketawain."
"Lah?!" ujar Jaemin, terkekeh. "Lo cerita ke gue—sama—bakal gue ketawain sekaligus gue nyinyirin."
"Bodo amat," Haechan menanggapi. "Seengganya lo kenal Renjun. Lagian nyinyiran lo suka bikin gue sadar."
"Kalian berantem?" tebak Jaemin. "Eh, seingat gue lo berdua bucinnya suka adu mulut, kan?" tanyanya. "Masih?"
"Dia ga boleh tau gue ga baik-baik aja."
Lagi-lagi tampangnya mencemooh secara terang-terangan. "Gue sangat yakin Renjun tau lo ga baik-baik aja," kata Jaemin.
"Gue pernah kepergok mimpi buruk—"
"—Mimpi apaan? Kok Renjun tau lo mimpi buruk? Dia liat lo lagi tidur? Renjun kan di Inggris," potong Jaemin.
"Mimpiin dia ngilang. Akhir-akhir ini gue sering ngulang kejadian dia ngilang saat tidur," ucap Haechan pelan. "Yah, Renjun ngawasin gue tidur. Perbedaan waktu ada untungnya—ternyata ...We always look at each other every night."
"By phone?" tanya Jaemin, wajahnya mengambil kuda-kuda untuk mencemooh. Haechan mengangguk. "Idih!" Bibirnya mencibir. "Udah kayak orang pacaran aja lo berdua."
"Jaem," geram Haechan.
"Iya iya, lo berdua ga pacaran, tapi udah macam-macam," ucap Jaemin buru-buru. "Katanya udah deep banget, eh malah dibiarin pergi. Aneh!"